Gimana perjalanan ilmuwan wanita buat eksis di dunia sains sampai sekarang? Yuk, simak cerita selengkapnya!
Waktu gue SMA, gue sempat ingin jadi intelijen yang mecahin kasus dan nangkap penjahat. So, gue latihan fisik buat persiapan mendaftar Badan Intelijen Negara (BIN).
Namun, bapak gue yang notabene adalah polisi, justru nggak ngebolehin gue buat mendaftar di posisi yang 11:12 sama dia. “Kamu kan perempuan. Itu kerjaan laki-laki. Udah, nggak usah aneh-aneh,” kata Bapak.
Meskipun gue pada akhirnya emang nggak jadi mendaftar BIN (bukan karena dilarang Bapak), tapi gue selalu mikir, “Emang kenapa kalau perempuan kerja di tempat yang biasa buat laki-laki?”
Seperti yang akan gue certain kali ini, yaitu perempuan yang jadi ilmuwan. Kalau elo search di Google, “best scientists in the world”, sebagian besar wajah yang nongol di halaman pencarian teratas diisi sama laki-laki, kayak Isaac Newton, Albert Einstein, sampai Stephen Hawking.
Padahal, banyak ilmuwan wanita yang berkontribusi besar, bahkan mengubah dunia sains. Perjalanan mereka buat eksis di dunia sains juga nggak semulus laki-laki.
So, begini ceritanya…
Ilmuwan Wanita Era Mesir Kuno
Sebenarnya, ilmuwan wanita udah ada sejak zaman Mesir Kuno (3.100 tahun Sebelum Masehi). Saat itu, para arkeolog udah nemuin obat-obatan dan tanaman herbal. Kemudian, munculah ilmu kedokteran yang menggunakan obat-obatan dan tanaman herbal buat nyembuhin penyakit.
Di era Mesir Kuno, perempuan udah dikasih posisi penting. Bahkan, ada juga perempuan yang jadi Firaun (gelar penguasa Mesir). Peran perempuan di Mesir ini nggak terkecuali di dunia medis.
Peseshet adalah sosok perempuan yang terkenal di kedokteran Mesir. Dia dikasih gelar “pengawas dokter perempuan”.
Dalam buku berjudul Women Who Built Our Scientific Foundations (2014), Peseshet ngurusin sekolah kedokteran khusus perempuan bernama Sais. Di sana, perempuan dididik buat jadi bidan. Perannya itu bikin Peseshet jadi tokoh penting dalam kedokteran Mesir Kuno.
Baca juga: Hari Perempuan Sedunia: 3 Perempuan Hebat dan Pengaruhnya
Ilmuwan Wanita Era Yunani Kuno
Beda sama era Mesir Kuno yang ngasih kebebasan buat perempuan di dunia medis, Yunani Kuno (700-480 SM) justru mendiskriminasi perempuan. Waktu itu, pemerintah melarang perempuan buat melakukan praktik kedokteran.
Dalam bukunya yang berjudul Fabulae, penulis Romawi bernama Gaius Julius Hyginus menceritakan kisah Agnodice. Agnodice adalah perempuan asal Athena yang ingin masuk sekolah kedokteran. Karena hukum di Yunani melarang perempuan buat belajar kedokteran, Agnodice memutar otak.
Agnodice motong rambutnya dan menyamar jadi laki-laki. Dia kemudian pergi ke Alexandria, Mesir, buat belajar kedokteran. Setelah lulus, Agnodice balik ke Athena buat mempraktikkan apa yang udah dipelajari.
Pasien pertamanya adalah seorang perempuan yang mau ngelahirin. Waktu Agnodice nawarin bantuan, perempuan itu menolak karena menganggap Agnodice adalah laki-laki. Akhirnya, Agnodice menunjukkan identitas aslinya sebagai perempuan. Si ibu hamil akhirnya mengizinkan Agnodice buat ngebantu dia melahirkan.
Makin lama, makin banyak perempuan hamil yang periksa dan ngelahirin dengan bantuan Agnodice. Para dokter laki-laki jadi curiga. “Gue sama Agnodice sama-sama cowok, tapi kok dia lebih laris ya?” batin mereka saat itu.
Identitas Agnodice sebagai perempuan tulen akhirnya terungkap. Para dokter pria nggak terima dan membawa Agnodice ke pengadilan. Mereka menuduh Agnodice melakukan tindak korupsi dan udah ngelanggar aturan pemerintah.
Mendengar Agnodice dibawa ke pengadilan, para emak-emak yang pernah dibantu Agnodice nggak terima. Sebagian dari mereka merupakan istri pejabat. Mereka pun protes ke suami-suami mereka yang ikut mengadili Agnodice dan meminta Agnodice dibebaskan.
Berkat the power of emak-emak, para pejabat kota mengubah undang-undang dan ngebebasin warga negara perempuan buat belajar kedokteran. Kisah Agnodice ini jadi awal mula sejarah kebidanan dan dibebaskannya perempuan buat melakukan praktik kedokteran di Zaman Kuno.
Baca juga: Peran Perempuan yang Terlupakan di Balik Revolusi Prancis 1789
Abad Pencerahan dan Kemajuan Ilmuwan Wanita
Abad ke-17 sampai 18 disebut sebagai Abad Pencerahan (Age of Enlightenment). Di era ini, ilmu pengetahuan kembali berkembang pesat di Eropa, seperti politik, filsafat, hingga sains. Banyak para pemikir yang menghasilkan berbagai buku, esai, dan temuan ilmiah.
Perkembangan ilmu pengetahuan di Abad Pencerahan juga mendorong perempuan buat berkontribusi di dunia sains. Cara terampuh yang dilakukan perempuan buat mendalami sains adalah dengan menjalin koneksi.
Ilmuwan wanita era Abad Pencerahan yang legendary adalah Margaret Cavendish. Meskipun waktu itu Cavendish jadi bangsawan hits di Inggris, dia ikut ngerasain keterbatasan perempuan di dunia sains. So, Cavendish menggunakan kedudukannya buat menjalin koneksi dan membangun karir.
Dalam buku berjudul The Palgrave Handbook of Women and Science since 1660 (2021), Cavendish menjalin koneksi dengan para ilmuwan laki-laki dari Royal Society of London, komunitas akademisi sains nasional di Inggris. Cavendish mendapatkan banyak pengetahuan tentang filsafat dari mereka.
Cavendish juga ikut dalam debat filsafat alam di komunitas dan menuangkan pemikirannya melalui puisi dan berbagai karya sastra. Nggak kayak para penulis perempuan lain yang menggunakan nama pena laki-laki, Cavendish pakai namanya sendiri dalam karya-karyanya. Itu menjadikannya sebagai filsuf terkenal pada zamannya.
Selain terlibat dalam diskusi ilmiah kayak Cavendish, perempuan Abad Pencerahan juga berkontribusi dalam menerjemahkan teks ilmiah. Satu di antaranya adalah Margaret King. King ngembangin koneksi dengan mentor laki-laki buat nulis teks medis, khususnya ilmu kebidanan.
Waktu itu, posisi bidan kebanyakan diisi sama laki-laki. Perempuan masih dianggap amatir dan nggak aman jadi bidan. King mau membuktikan kalau perempuan nggak kalah skillful sama laki-laki. Dia fokus mempelajari teori tentang kedokteran dan pengasuhan anak.
Akhirnya, teks medisnya yang berjudul Advice to Young Mothers on the Physical Education of Children (1823) jadi salah satu kumpulan teks buatan perempuan. Ketenarannya setara sama teks medis profesional dan sastra di Eropa.
Ilmuwan Wanita Abad 19-20
Kemajuan ilmuwan perempuan Abad Pencerahan terus berlanjut sampai abad seterusnya. Memasuki abad ke-19, perempuan di Eropa dan Amerika Serikat secara aktif mengampanyekan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki. Hingga akhirnya, pada awal abad ke-20, perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Inggris ngasih kesempatan perempuan buat menempuh pendidikan tinggi.
Peran perempuan dalam dunia sains makin menonjol waktu Perang Dunia 2 (1939-1945). Satu di antaranya adalah ahli kristalografi bernama Isabella Karle. Waktu Jerman diketahui lagi ngembangin nuklir buat Perang Dunia 2, AS langsung bikin proyek nuklir tandingan bernama Manhattan Project. Karle jadi ilmuwan yang ikut ngembangin plutonium (bahan bakar nuklir) di Manhattan Project.
Ada juga Grace Murray Hopper, ilmuwan matematika wanita sekaligus perwira Angkatan Laut AS. Dia jadi salah satu programmer modern pertama yang punya kontribusi besar dalam pengembangan bahasa komputer. Saat Jepang menyerang Pearl Harbor, Hopper juga membantu AS dalam perang.
Kontribusi Karle dalam ngembangin nuklir dan Hopper di Angkatan Laut nunjukin kalau perempuan juga bisa ngasih dampak besar di bidang yang didominasi oleh laki-laki.
Tahun 1960-an jadi puncak gerakan perempuan di dunia. Elo bisa baca sejarah gerakan perempuan di dunia di sini ya. Waktu itu, metode “keluarga berencana” udah diperkenalkan. So, para perempuan bisa lebih leluasa buat ngurus keluarga dan ngembangin karir mereka.
Jadinya, lebih banyak perempuan yang menempuh pendidikan tinggi. Kalau dulu perempuan belajar jadi dokter dan perawat, di era ini mereka memilih karir di bidang matematika, fisika, kimia, teknologi, hingga bisnis.
Ilmuwan Wanita Abad 21 hingga Sekarang
Pada awal abad ke-21, hampir 50 persen gelar kedokteran dan doktor dalam ilmu biomedis diberikan kepada perempuan. Angka itu beriringan dengan jumlah perempuan yang memasuki perguruan tinggi.
Namun, jumlah ilmuwan perempuan yang menerima penghargaan seperti Hadiah Nobel masih lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Selama 120 tahun, hanya 58 ilmuwan wanita yang mendapatkan Hadiah Nobel, dengan Marie Curie sebagai satu-satunya perempuan yang dua kali meraih Nobel. Penghargaan sekelas Nobel buat para ilmuwan perempuan jadi bentuk pengakuan atas kontribusi mereka terhadap kemajuan sains.
Ternyata kalau flashback sejarahnya, perjalanan ilmuwan perempuan buat berkontribusi di dunia sains kayak roller coaster. Ada yang harus menyamar dulu jadi laki-laki, mencari mentor laki-laki, ada juga yang men-challenge dirinya sendiri buat menunjukkan kemampuan perempuan yang nggak kalah hebat sama laki-laki.
Meskipun dimentori laki-laki, para ilmuwan wanita tersebut nggak berada di posisi bawahan dan jauh dari pasif. Mereka justru aktif nyumbangin gagasan, bikin karya, sampai menciptakan perubahan di dunia sains. Tepuk tangan buat seluruh ilmuwan wanita di dunia!
Menurut elo, siapa sih ilmuwan wanita terhebat di dunia? Kasih tahu gue di kolom komentar, ya!
Baca Juga Artikel Lainnya
Maya Angelou, Perempuan Inspiratif dengan Kisah Hidupnya yang Pahit
Ini lho Standar Kecantikan dari Waktu ke Waktu dan Bahayanya
Beauty Standard – Gimana sih Standar Kecantikan Indonesia dan Dunia?
Referensi
Leave a Comment