Sobat Zenius, perjalanan Indonesia sebagai negara demokrasi, ternyata cukup panjang dan berliku, lho. Salah satu tonggak penting dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah ketika diterapkannya sistem Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959, yaitu pada era pemerintahan Presiden Soekarno.
Namun, dalam perjalanannya ternyata banyak penyimpangan yang terjadi. Nah, di dalam artikel ini, gue akan bahas lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk penyimpangan era Demokrasi Terpimpin.
Daftar Isi
Apa itu Demokrasi Terpimpin?
Demokrasi Terpimpin merupakan sistem pemerintahan yang mana kekuasaan pengambilan keputusan dan kebijakan sepenuhnya berada di tangan presiden. Dengan kata lain, kekuasaan Presiden Soekarno pada saat itu sangat absolut. Kalau elo mau membaca lebih lanjut tentang Demokrasi Terpimpin, elo bisa baca dulu di artikel ini.
Demokrasi terpimpin digunakan karena sistem pemerintah sebelumnya (demokrasi parlementer) dianggap tidak berhasil menjaga kestabilan politik. Ini bisa dilihat dari pergantian kabinet yang terlalu sering.
Pada masa demokrasi parlementer, setiap partai mempunyai kepentingan masing-masing dan ambisi berkuasa. Partai-partai ini menolak segala keputusan yang ditetapkan oleh partai penguasa. Akibatnya, setiap partai yang berkuasa mendapat mosi tidak percaya.
Selain itu muncul berbagai gerakan pemberontakan di daerah-daerah juga mendorong runtuhnya sistem demokrasi parlementer. Salah satu bentuk dari pemberontakan tersebut adalah peristiwa PRRI pada 15 Februari 1958 di Sumatera dan Permesta pada 17 Februari 1958 di Sulawesi.
Hadirnya pemberontakan ini adalah sebagai akibat dari ketidakpuasan pemerintah daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan tersebut seringkali hanya menguntukan pusat pemerintahan, khususnya Jawa dibandingkan daerah-daerah luar Jawa.
Sehingga, Presiden Soekarno mulai menerapkan sebuah sistem baru yang disebut Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Nah, sistem ini dianggap solusi dari krisis yang telah berlangsung sepanjang pemerintahan dengan sistem demokrasi parlementer. Menurut Soekarno, sistem ini juga sesuai dengan kepribadian nasional karena didasarkan pada sifat “gotong royong.”
Namun, pada pelaksanaannya, sistem ini tidak sesuai dengan ketetapan undang-undang. Menurut Ricklefs dalam bukunya “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”, Soekarno hanya menjadi pemimpin yang diktator. Ia juga menambahkan, banyak kebijakan-kebijakan Soekarno tidak relevan dengan keadaan bangsa saat itu.
Lantas, apa saja yang menjadi bentuk penyimpangan demokrasi terpimpin? Simak, ya!
Bentuk-Bentuk Penyimpangan Demokrasi Terpimpin
Pembubaran DPR
Pada tahun 1960, PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), melakukan penolakan terhadap RAPBN (Rancangan Anggara Pendapatan Belanja Negara) 1960, karena dianggap sebagai pameran kekuatan.
Nah, pameran kekuatan tersebut berkaitan dengan unjuk kekuatan dalam rangka membebaskan Papua Barat dari Belanda. Soekarno mengajukan anggaran sebanyak 44 miliar, tetapi DPR hanya menyetujui 36 miliar.
Penolakan tersebut berujung pada dikeluarkannya Penetapan Presiden No.3 tahun 1960 oleh Soekarno tentang pembubaran DPR.
Soekarno pun membentuk lembaga legislatif baru bernama DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong). Sontak, atas dorongan Hatta dan beberapa tokoh militer, serta para anggota PSI dan Masyumi, mereka membentuk Liga Demokrasi guna menentang kebijakan Soekarno tersebut.
Untuk membendung kekuatan Liga Demokrasi. Presiden Soekarno segera membentuk Front Nasional, melalui Perpres No.13 tahun 1959. Pembentukan, Front Nasional dimaksudkan untuk memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita UUD 1945 menurut pandangan Soekarno.
Kemunculan Front Nasional dan pelarangan aktivitas Liga Demokrasi, membuat perjuangan yang dibawa oleh PSI dan Masyumi, serta partai-partai lainnya menjadi sirna.
Presiden Soekarno pada akhirnya menetapkan anggota DPR-GR, sebanyak 283 kursi. Hampir 154 kursi jatuh kepada Partai Golongan Karya dan 15-24% jatuh kepada tangan PKI. Sementara PSI dan Masyumi tidak mendapat jatah kursi di dalam parlemen.
Hingga pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres No. 200 tahun 1960 mengenai pembubaran Masyumi. Ia juga mengeluarkan Kepres No. 201 tahun 1960 mengenai pembubaran PSI.
Alasan pembubaran kedua partai tersebut adalah permusuhan antara pemimpin partai dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Soekarno. Kedua partai tersebut diduga terlibat dalam pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)
Tentu, kebijakan ini bertentangan dengan UUD 1945, karena Indonesia menganut konsep trias politica. Dalam hal ini, Presiden tidak mempunyai kewenangan untuk membubarkan DPR karena Presiden merupakan lembaga eksekutif, sedangkan DPR merupakan lembaga legislatif.
Baca Juga:
Pengintegrasian Lembaga-Lembaga Negara
Melalui Keputusan Presiden No. 94 tahun 1962, Presiden Soekarno memutuskan mengintegrasikan atau menyatukan beberapa lembaga tertinggi negara. Beberapa lembaga tersebut antara lain MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementera), DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong) , DPA (Dewan Pertimbangan Agung), Mahkamah Agung (MA).
Kebijakan ini tentu merupakan salah satu penyimpangan. Karena Indonesia merupakan negara yang menganut konsep trias politica atau pemisahan kekuasaan di masing-masing lembaga.
Dengan kata lain, tentu setiap lembaga mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing. Dalam hal ini, MPRS dan DPR yang merupakan lembaga legislatif yang bertugas untuk menyusun undang-undang.
Kemudian DPA merupakan lembaga eksekutif. Sebagai lembaga eksekutif, DPA berfungsi sebagai memberikan pertimbangan dan mengajukan usul, terhadap kebijakan pemerintah di bawah Presiden.
Sedangkan, MA termasuk merupakan lembaga yudikatif. Sebagai lembaga yudikatif, MA berfungsi sebagai pengawas tugas kehakiman, sekaligus sebagai pengadil terhadap seseorang yang melanggar undang-undang
Dengan dikeluarkannya Kepres no.94 tahun 1962, ketua dari masing-masing lembaga tersebut justru diangkat menjadi menteri. Hal ini membuat, independensi dari setiap lembaga menjadi kacau karena intervensi Soekarno.
Kedekatan dengan Blok Timur
Perjuangan Mengembalikan Kemerdekaan Irian Barat
Kebijakan politik luar negeri era Demokrasi Terpimpin juga cukup agresif. Perjuangan Soekarno untuk mengembalikan Irian Barat membutuhkan bantuan dari Blok Timur. Menurut Soekarno, Blok Barat kala itu tidak memberikan perhatian yang cukup besar, terhadap perjuangan Indonesia mengembalikan Irian Barat.
Baca Juga:
Pembebasan Irian Barat: Sejarah, Trikora, hingga Peran UNTEA
Kedekatannya Soekarno dengan Blok Timur, semakin memuncak kala Soekarno membagi dua dunia menjadi Nefos (New Emerging Force) dan Oldefos (Old Established Forces). Nefos merupakan negara-negara yang baru berdiri dan menentang segala bentuk imperialisme dan kolonialisme.
Sedangkan, Oldefos dianggap merupakan negara-negara yang condong terhadap praktik imperialisme dan kolonialisme. Dalam hal ini, Nefos diibaratkan sebagai negara-negara blok timur, berbeda dengan Oldefos yang dianggap sebagai negara-negara barat.
Pembentukan Ganefo
Pembagian dunia dunia ini menjadi latar belakang dari lahirnya Ganefo (Games Of The New Emerging Forces). Ganefo merupakan sebuah event olahraga internasional yang anggotanya banyak terdiri dari negara-negara Asia-Afrika dan berpaham komunis.
Pembentukan Ganefo merupakan aksi balasan Indonesia terhadap sanksi yang diberikan IOC (International Olympic Committee) yang merupakan event olahraga bentukan negara-negara barat. Pada saat itu, Indonesia menolak partisipasi Taiwan dan Israel ke dalam Asian Games IV. Penolak tersebut didasari atas dasar menjaga hubungan baik Pemerintah Indonesia dengan Republik Rakyat China dan negara-negara Arab saat itu.
Hadirnya Ganefo, tidak hanya menjadi sebuah event olahraga tandingan bentukan IOC. Ganefo juga menjadi alat politik Soekarno untuk menyatukan negara-negara Asia-Afrika yang sebelumnya merupakan bangsa terjajah. Selain itu, Ganefo juga membuat kedudukan Indonesia di dunia internasional semakin tinggi.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Bentuk lainnya dari penyimpangan era Demokrasi Terpimpin adalah Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Menurut Soekarno, pembentukan Malaysia merupakan bentuk neo-imperialisme di kawasan Asia Tenggara.
Letak kekuasaan Inggris yang strategis, menurut Soekarno dapat membuat posisi Indonesia sebagai negara merdeka sangat terancam. Selain itu, menurut Soekarno konfrontasi ini adalah bentuk perlawanan terhadap neo-kolonialisme di Asia Tenggara.
Konflik ini memuncak ketika masuknya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan di PBB pada 7 Januari 1965. Hal tersebut yang membuat Indonesia akhirnya keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965.
Baca Juga:
Alasan Indonesia Keluar dari Keanggotaan PBB
Untuk menandingi PBB, akhirnya dibentuklah suatu badan CONEFO (Conference of New Emerging Force). Badan ini pun didirikan sebagai kekuatan baru, menghadapi pengaruh blok Barat yang sekian besar di dalam PBB. Pembentukan badan ini pun mendapat dukungan dari beberapa negara berkembang dan negara komunis.
Penutup
Sip, itu dia penjelasan dari gue seputar bentuk-bentuk penyimpangan dari Demokrasi Terpimpin. Ternyata menarik yaa sobat zenius, bagaimana perjalanan sistem pemerintahan Indonesia. Tentu sebuah sistem pasti mempunyai kekurangan, tetapi dengan kekurangan tersebut kita dapat memperbaikinya untuk kedepan.
Oh yaa, kalau elo mau belajar materi ini lebih dalam, jangan lupa untuk klik banner di bawah ini.
Zenius punya beberapa paket belajar yang bikin belajar nggak sekedar menghafal tapi belajar konsepnya sampai paham. Yuk, langsung aja klik banner di bawah ini!
Terima kasih sudah membaca artikel ini, semoga bermanfaat dan selamat belajar!
Penulis : Luis Moya
Sumber
Arta, K. S. (2022). Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1966. Jurnal Candra Sangkala., Vol. 4., No. 1, 1-9.
Leave a Comment