{"id":8147,"date":"2015-07-03T21:01:42","date_gmt":"2015-07-03T14:01:42","guid":{"rendered":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/?p=8147"},"modified":"2022-02-09T10:44:19","modified_gmt":"2022-02-09T03:44:19","slug":"data-metode-ilmiah-bias-statistik","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/data-metode-ilmiah-bias-statistik","title":{"rendered":"Gimana Caranya Mengambil Kesimpulan yang Rasional?"},"content":{"rendered":"<p style=\"border-width: 0px 0px 1px; border-style: none none solid; border-color: transparent transparent #dedede; padding: 1em; font-size: 15px; background-color: #b9dae9;\">Apa itu berpikir rasional? Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu pemikiran itu rasional? Berikut adalah penjelasan bagaimana kita bisa berargumen dan mengambil kesimpulan yang rasional.<\/p>\n<p><em>Lo<\/em> pasti pernah <em>lah ya<\/em>, lagi ngobrol-ngobrol santai sama temen, terus tiba-tiba fokus ngomongin suatu topik, <em>eh<\/em> ujung-ujungnya topik itu memancing perdebatan antara <em>lo<\/em> berdua. <em>Lo<\/em> punya argumen untuk yakin bahwa pandangan <em>lo<\/em> bener, tapi temen <em>lo<\/em> juga. Biasanya, kalau ada kejadian kayak gitu, gimana <em>lo<\/em> dan temen <em>lo<\/em> menyikapinya?<\/p>\n<p><em>Well<\/em>, tentunya banyak perdebatan yang pada intinya memang nggak bisa ketemu “ujung”nya (baca: memang <em>lo<\/em> harus terima bahwa opini <em>lo<\/em> berdua beda). Contoh, kalau <em>lo<\/em> lagi debat tentang siapa cewek yang paling cakep di sekolah <em>lo<\/em>. Debat dengan topik itu mau pakai argumen apa juga, yang namanya selera ya urusan pribadi. Meskipun begitu, banyak juga perdebatan yang sebenernya bisa dicari jalan keluarnya, terutama kalau yang lo perdebatkan adalah suatu fakta. Contohnya gimana <em>tuh<\/em>?<\/p>\n<p>Misalnya, ada dua orang yang lagi ngobrol santai tentang rokok, entah gimana mulainya, pokoknya akhirnya sampai pada percakapan begini:<\/p>\n<ul>\n<li>Ahmad : “Ah enggak juga. Kakek buyut gue itu perokok berat, <em>Bro<\/em>. Lo tau dia meninggal umur berapa?”<\/li>\n<li>Ben \u00a0 \u00a0 \u00a0: “Berapa?”<\/li>\n<li>Ahmad : “95 tahun!”<\/li>\n<li>Ben \u00a0 \u00a0 \u00a0: “Tua juga yah. Kakek gue meninggal umur 70, padahal nggak ngerokok.”<\/li>\n<li>Ahmad : “Nah, makanya, sebenernya nggak terlalu ngaruh juga kan rokok sama umur.”<\/li>\n<\/ul>\n<p><em>*Ahmad dan Ben adalah tokoh fiktif<\/em><\/p>\n<p>Pernah denger argumen kayak gitu, nggak, <em>sih<\/em>? Gue sih sering buanget. Nggak jarang juga argumen itu jadi pembenaran buat para perokok untuk percaya kalau rokok itu sebenernya nggak terlalu buruk bagi kesehatan. Tapi sekarang coba pikir lagi, kalau gitu, ngapain juga pemerintah dan banyak LSM buang-buang duit sampe milyaran untuk\u00a0kampanye menurunkan konsumsi rokok? Bener\u00a0nggak rokok itu buruk untuk kesehatan?<\/p>\n<p><em>Nah<\/em>, di artikel ini, gue sebenernya bukan mau ngomongin rokoknya, tapi yang mau gue omongin adalah tentang<strong> bagaimana\u00a0cara kita berargumentasi dengan baik; gimana menggunakan data, menganalisis, untuk bisa mengambil kesimpulan dengan benar.<\/strong> Dengan kata lain, gimana cara menggunakan <em>scientific reasoning<\/em> untuk mengambil kesimpulan. Jadi, metode ini bukan cuma digunakan ketika debat soal rokok, tapi juga bisa lo pakai untuk berbagai persoalan lainnya. Pada tulisan-tulisan blog Zenius tentang mitos yang beredar di tengah masyarakat, suka banyak juga yang nanyain, gimana cara bedain mitos atau <em>pseudosains<\/em> dengan fakta. Nah, mungkin tulisan ini juga bisa ngebantu menjawab pertanyaan lo. <em>So<\/em>… lanjut baca terus yah.<\/p>\n<p><a href=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-content\/uploads\/2015\/07\/5-Metode-Statistik.png\"><img decoding=\"async\" loading=\"lazy\" class=\"aligncenter size-full wp-image-20582\" src=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-content\/uploads\/2015\/07\/5-Metode-Statistik.png\" alt=\"\" width=\"700\" height=\"368\" title=\"\"><\/a><\/p>\n<h1>Mencari Argumen dan Kesimpulan yang Rasional<\/h1>\n<p><a href=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-content\/uploads\/2015\/06\/scientific-method.png\"><img decoding=\"async\" loading=\"lazy\" class=\"size-full wp-image-8149 aligncenter\" src=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-content\/uploads\/2015\/06\/scientific-method.png\" alt=\"scientific method\" width=\"464\" height=\"765\" title=\"\"><\/a><\/p>\n<p>Kalo lo merhatiin guru dengan baik waktu awal belajar pelajaran IPA (biologi, fisika, atau kimia) di bangku SMP atau SMA, kemungkinan besar\u00a0<em>lo\u00a0<\/em>pernah diperkenalkan dengan diagram\u00a0di atas — atau lebih\u00a0sering disebut sebagai <strong>metode ilmiah<\/strong>. Selama ini, mungkin <em>lo\u00a0<\/em>ga terlalu memedulikan metode ilmiah karena paling <em>kepake<\/em> buat apa sih, paling buat bikin kerangka di tugas laporan\/makalah laboratorium, di ulangan palingan cuma keluar 1–2 soal, atau ya paling <em>kepake<\/em> banget pas <em>ngerjain<\/em> skripsi di zaman kuliah. Seolah-olah ini cuma sepotong konsep yang ngga lebih dari sepenggal\u00a0materi pelajaran yang bisa jadi keluar di ujian.<\/p>\n<p>Tapi, lo tau ga <em>sih<\/em>, kalo langkah-langkah dalam metode ilmiah ini bisa digunakan\u00a0dalam kehidupan kita sehari-hari untuk menjadi lebih rasional dalam berpikir atau bertindak? <em>Wah<\/em>, apa hubungannya, emang, metode ilmiah dengan berpikir rasional? Apakah penggunaannya bisa praktis dalam kehidupan sehari-hari?<\/p>\n<p><em>Okay<\/em>, mungkin kita coba lanjut aja dengan contoh rokok sebelumnya. Misalnya, <em>lo<\/em> adalah Ben yang sedang berdiskusi\u00a0dengan Ahmad untuk\u00a0menentukan sikap terhadap\u00a0rokok, di mana hal itu terkait pada fakta apakah rokok betul-betul signifikan memberi pengaruh buruk bagi kesehatan.\u00a0Nah, apa yang perlu coba diupayakan dalam setiap diskusi sebelum beralih jadi debat kusir?\u00a0Di bawah ini, gue akan meng-<em>highlight\u00a0<\/em>langkah-langkah yang penting dan penggunaan praktis metode ilmiah.<\/p>\n<h3><strong>1. Ajukan Pertanyaan<\/strong><\/h3>\n<p>Ketika <em>lo<\/em> berdebat (baik dengan diri sendiri ataupun orang lain), sebenernya <em>lo<\/em> bisa menyederhanakan topik perdebatan <em>lo<\/em> menjadi suatu kalimat yang jelas. Misalnya, dalam perdebatan rokok di atas, <em>lo<\/em> bisa sederhanain\u00a0menjadi pertanyaan,\u00a0<strong>“Bener ga, sih, rokok itu buruk untuk kesehatan?”<\/strong><\/p>\n<h3><strong>2. Merumuskan Hipotesis<\/strong><\/h3>\n<p>Dari pertanyaan yang <em>lo<\/em> ajukan, <em>lo<\/em> bisa rumuskan jawaban\/dugaan sementara (hipotesis). Jawaban sementara dari pertanyaan di atas bisa jadi adalah\u00a0“Rokok itu nggak bagus untuk kesehatan”.\u00a0Tapi, kalo kita pake pernyataan ini sebagai hipotesis, gimana cara ngukurnya? “Ga bagus untuk kesehatan” itu luas maknanya. Coba ganti jadi yang lebih keukur, misalnya hipotesisnya dengan <em>statement<\/em> seperti ini:<\/p>\n<blockquote>\n<h4 style=\"text-align: center;\"><em>Rokok itu mengurangi angka harapan hidup<\/em><\/h4>\n<\/blockquote>\n<p>Nah, ini jelas. Untuk ngukurnya pun gampang.\u00a0Jadi, nanti pada kesimpulan akhirnya\u00a0akan ada dua kemungkinan:<\/p>\n<ul>\n<li>Hipotesisnya benar, yaitu rokok mengurangi umur<\/li>\n<li>Hipotesisnya salah, yaitu tidak benar bahwa rokok mengurangi umur<\/li>\n<\/ul>\n<h3><strong>3. Uji dengan Eksperimen (Saatnya <em>Googling<\/em> Hasil Penelitian!)<\/strong><\/h3>\n<p>Langkah selanjutnya menurut metode ilmiah adalah menguji hipotesis yang dirumuskan sebelumnya dengan eksperimen. Masalahnya,\u00a0mungkin nggak terlalu praktis aja, sih, kalo\u00a0semua pertanyaan harus diuji dengan\u00a0eksperimennya oleh diri kita sendiri. Ya, kemungkinan\u00a0besar kita semua ngga punya <em>resource<\/em> dan<em>\u00a0expertise<\/em>\u00a0yang dibutuhkan<em>.<\/em> Misal, lo pengen tau, nuklir sebagai sumber energi alternatif, bahaya apa enggak <em>sih<\/em>? Ya susah juga kalo lo pengen melakukan eksperimen nuklir sendiri. <em>Hehehe<\/em>.<\/p>\n<p>Tapi tenaang, kita ngga perlu jadi ilmuwan di suatu bidang dulu baru bisa menentukan sikap atas suatu isu. Para ilmuwan enggak asosial dengan dunianya sendiri kok. Mereka banyak mempublikasikan penelitian mereka (dalam bentuk buku, jurnal, pemberitaan, dan sebagainya.) untuk kepentingan khalayak. Sebetulnya, ketika kita udah paham tentang\u00a0prinsip atau dasar-dasar berpikir ilmiah serta\u00a0<em>critical and rational thinking,\u00a0<\/em>kita bisa\u00a0menyaring informasi (mana yang bisa dipercaya\/nggak) dengan memanfaatkan teknologi yang ada sekarang, yaitu Mbah Google.\u00a0<em>\u00a0<\/em><\/p>\n<p>Nah, ini dia nih. Google memang punya jawaban atas berbagai macam pertanyaan, tapi apakah jawabannya selalu bener? Apakah jawabannya selalu <em>scientific?<\/em> Belum tentu juga kan. Gue juga sering googling-googling tapi ujung-ujungnya cuma nemu tips-tips doang, dan\u00a0ternyata isinya juga belum tentu 100% tepat. Nah, tapi kalau lo udah punya “hipotesis” di pikiran lo, <strong>lo bisa mulai googling untuk secara spesifik mencari orang yang udah pernah menguji apakah hipotesis yang lo punya itu bener atau salah<\/strong>. Ketika gue Googling tentang rokok ini, terus <em>browsing-browsing<\/em> ke mana-mana juga, gue menemukan salah satu link ini:<\/p>\n<p><strong><a href=\"http:\/\/www.bmj.com\/content\/328\/7455\/1519\" target=\"_blank\" rel=\"noopener nofollow\">Mortality in relation to smoking: 50 years’ observations on male British doctors<\/a><\/strong><\/p>\n<p>Coba buka aja. Itu laporan hasil penelitian (2004) terhadap puluhan ribu\u00a0dokter yang merokok dan yang nggak merokok 100 tahun yang lalu yang diteliti selama\u00a050\u00a0tahun terakhir (1951–2001) di Inggris. Laporannya rada panjang kalau lo mau baca teliti, tapi rangkuman seluruh laporan itu bisa tergambarkan dalam diagram berikut ini:<\/p>\n<p><a href=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-content\/uploads\/2015\/07\/merokok.jpg\"><img decoding=\"async\" loading=\"lazy\" class=\"size-full wp-image-8154 aligncenter\" src=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-content\/uploads\/2015\/07\/merokok.jpg\" alt=\"merokok\" width=\"640\" height=\"335\" srcset=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-content\/uploads\/2015\/07\/merokok.jpg 640w, https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-content\/uploads\/2015\/07\/merokok-300x157.jpg 300w\" sizes=\"(max-width: 640px) 100vw, 640px\" title=\"\"><\/a><\/p>\n<p>Bisa bacanya? Dari\u00a0grafik di atas, kita bisa dapatkan beberapa temuan menarik:<\/p>\n<ul>\n<li>Pada dokter yang lahir antara 1851–1899 (berarti masa lansianya dihabiskan pada era 70an). Lihat grafik kiri atas, hanya 68% perokok yang bisa <i>survive\u00a0<\/i>hidup hingga usia 70, sedangkan nonperokok yang\u00a0bisa <i>survive\u00a0<\/i>hidup hingga usia 70 mencapai 82%<\/li>\n<li>Pada dokter yang lahir antara 1900–1930\u00a0(berarti masa lansianya dihabiskan pada era 90an). Lihat grafik kiri bawah, ada 26% nonperokok yang bisa tembus hidup sampe umur 90 tahun, sedangkan perokok, cuma 5%!<\/li>\n<li>Kita lihat lagi grafik sebelah kanan, setelah usia 70 tahun, terjadi perbedaan yang cukup signifikan, yaitu harapan hidup nonperokok 10 tahun lebih tinggi daripada perokok.<\/li>\n<\/ul>\n<h3><strong>4. Ambil Kesimpulan<\/strong><\/h3>\n<p>Nah, jelas <em>lah<\/em>, ya, bahwa dari penelitian tersebut, hipotesisnya benar! Jadi, rokok memang berpotensi kuat untuk mengurangi\u00a0angka harapan hidup dalam <em>sample<\/em> yang banyak — dan kemungkinan besar hasil tersebut juga berlaku bagi tubuh lo.\u00a0Sekarang coba kita balik lagi ke argumen yang diajukan Ahmad tentang satu sampel doang, yaitu kakeknya.<\/p>\n<blockquote>\n<h4>Ahmad : “Ah enggak juga. Kakek buyut gue itu perokok berat, dia baru meninggal di umur 95 tahun!”<\/h4>\n<\/blockquote>\n<p>Kalo lo perhatiin, argumen dia gak bisa dijadikan standar acuan sama sekali dalam mengambil kesimpulan, karena sampel yang dia pilih cuma satu doang, itu pun cuma dari lingkungan sekitar dia. Seringkali, argumen seperti ini disebut juga dengan bias selektif atau<em> cherry picking<\/em> (baca: ngambil sampel yang cuma mendukung statement yang dia inginkan), karena pihak tersebut mengambil sampel yang tidak merepresentasikan fenomena secara keseluruhan, tapi menjadikan data\u00a0tersebut seperti seolah-olah bisa menggambarkan keseluruhan hubungan sebab-akibat.<\/p>\n<p>Padahal, ketika pengaruh\u00a0rokok pada\u00a0kesehatan ini dibawa pada populasi yang lebih luas, kemungkinan kakek Ahmad masuk ke 5% perokok yang bisa tembus usia 90 tahun. Padahal, kalo dibandingkan dengan orang tua seangkatannya, lebih banyak nonperokok yang bisa\u00a0<em>survive\u00a0<\/em>hingga usia 90 tahun, yaitu 26%. Oke, sampe di sini, lo udah bisa mengambil kesimpulan\/sikap yang rasional terkait contoh kasus rokok dan bisa meminjam hasil penelitian yang dibahas di artikel ini jika lo dihadapkan pada perdebatan serupa.<\/p>\n<h3><strong>5. Diuji Berkali-kali<\/strong><\/h3>\n<p>Penelitian seperti ini nggak boleh cuma satu kali, tapi harus berkali-kali, harus diulang beberapa kali di konteks lainnya. Kenapa?\u00a0Setiap penelitian,\u00a0<a href=\"https:\/\/www.zenius.net\/lp\/c4268\/hipotesis-dan-pengambilan-kesimpulan\">biasanya batasan error-nya diset 5%<\/a>. Jadi, bisa aja pas lagi meneliti itu kita\u00a0lagi sial (atau beruntung) dan dapet yang di 5%nya itu. Dengan mengulang penelitian berkali-kali, kemungkinan errornya ini juga akan berkurang. Selain itu, kita bisa uji juga penelitian serupa pada konteks yang berbeda-beda. Sebagai contoh, objek penelitian di atas adalah dokter. Kira-kira pengaruhnya akan sama aja nggak kalau diuji pada profesi lainnya? Diuji pada pengacara, programmer, atau lainnya, misalnya. Terus, penelitian di atas dilakukan di Inggris. Kira-kira apakah pengaruhnya juga sama kalau dilakukan di Indonesia? Australia? Untuk kasus rokok, biasanya hasilnya sama di manapun. Bahkan, nggak jarang suatu penelitian itu berlaku untuk konteks tertentu, tapi nggak berlaku untuk konteks lainnya, sehingga nggak bisa digeneralisasi begitu aja.<\/p>\n<h3><strong>6. Pentingnya Kelompok\u00a0Kontrol<\/strong><\/h3>\n<p>Jangan lupa juga bahwa dalam setiap penelitian itu harus ada yang namanya\u00a0<strong>kelompok kontrol (<em>control group<\/em>)<\/strong>. Pada contoh di atas, kita membagi menjadi dua group: Group perokok dan group bukan perokok. Nah, kalau kita ingin menguji efek rokok terhadap kesehatan, caranya ya seperti di atas itu:<\/p>\n<ul>\n<li>Dokter yang\u00a0perokok menjadi kelompok\u00a0eksperimen (<em>experiment group<\/em>)<\/li>\n<li>Dokter yang\u00a0bukan perokok menjadi kelompok\u00a0kontrol (<em>control group<\/em>)<\/li>\n<\/ul>\n<p>Tanpa adanya kelompok\u00a0kontrol ini, kita nggak tau seberapa signifikan efek rokok terhadap kesehatan. Dengan adanya kelompok\u00a0kontrol, kita bisa menggunakannya sebagai pembanding. Pada contoh di atas misalnya, kita tahu bahwa ternyata angka harapan hidup perokok (\u21d0ini eksperimen grupnya) berkurang 10 tahun dibanding bukan perokok (\u21d0ini kontrol grupnya). Itu sebabnya ketika Zenius membuat penelitian tentang efektivitas belajar dari para pengguna\u00a0zenius, kita juga mengambil sampel siswa yang <em>nggak memakai Zenius<\/em> sebagai variabel kontrol. Cek penelitiannya di <a href=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/persepsi-kebiasaan-belajar-siswa-indonesia\" target=\"_blank\" rel=\"noopener\">infografik ini<\/a> kalau mau tau.<\/p>\n<p style=\"text-align: center;\">****<\/p>\n<p>Kesadaran kita tentang melihat kelompok kontrol ini kesannya sepele, tapi sebenernya sangat membantu kita untuk berpikir rasional dan menghindari bias, lho. Contohnya gini deh, lo mungkin\u00a0pernah dengar pernyataan-pernyataan berikut dari orang di sekitar lo:<\/p>\n<blockquote>\n<p style=\"text-align: center;\">Hasan: “Kalau gue nonton tim sepakbola kesayangan gue sambil pake<em> jersey<\/em>\u00a0bolanya, tim kesayangan gue lebih mungkin menang!”<\/p>\n<\/blockquote>\n<p style=\"text-align: center;\">atau<\/p>\n<blockquote>\n<p style=\"text-align: center;\">Siti: “<em>Duh<\/em>, kalo perasaan gue lagi ga enak begini, pasti bentar lagi ada kejadian aneh-aneh deh.”<\/p>\n<\/blockquote>\n<p><em>*Hasan dan Siti adalah tokoh fiktif<\/em><\/p>\n<p>Kira-kira kebayang ngga, gimana cara membuktikan apakah kedua pernyataan di atas valid atau enggak? Lo bisa coba cari kunci caranya dari ilustrasi contoh tentang rokok di atas. Ahmad mengira rokok itu ngga berbahaya bagi kesehatan karena melihat kakeknya seorang yang bisa tutup usia 95 tahun, sedangkan\u00a0beliau adalah perokok. Padahal, kalo kita ambil statistik pada populasi yang lebih luas, kakek Ahmad cuma masuk persentase kecil dan tidak mewakili populasi yang luas.<\/p>\n<p>Nah, dua pernyataan di atas adalah contoh dari bias selektif juga. Penutur biasanya hanya\u00a0<em>cherry picking<\/em>\u00a0kejadian yang sejalan dengan premis\/<em>belief<\/em>\u00a0awal mereka dan mengabaikan\u00a0sampel-sampel yang gak sesuai dengan keinginan mereka. Memang adakalanya\u00a0manusia\u00a0cenderung mencari asosiasinya pada hal atau benda terdekat, apalagi kalo fenomena itu membekas secara emosional.\u00a0<em>“Oh minggu\u00a0kemarin menang, gue lagi pake jersey bola, dua minggu lalu\u00a0juga begitu”<\/em>,<em>\u00a0“Terakhir, gue punya perasaan ga enak, ternyata benar ban mobil gue pecah.”<\/em>\u00a0Tapi valid ngga, sih, kalo kita pake skala yang lebih luas?<\/p>\n<p>Hasan bilang kalau dia nonton sepak bola pakai jersey bolanya, maka peluang timnya menang akan menjadi lebih besar. Nah, pendapat ini bisa banget kita uji dan BANDINGKAN dengan <em>control group<\/em>-nya. Tinggal suruh aja si Hasan 50 kali nonton bola dengan menggunakan baju jerseynya itu (\u21d0 ini eksperimennya), terus 50 kali lagi tanpa menggunakan baju jersey (\u21d0 ini kontrolnya). Dengan catatan, memilih 50 pertandingannya itu harus menggunakan <a href=\"https:\/\/www.zenius.net\/lp\/c4258\/sampling\">aturan sampling yang bener<\/a>. Dari hasil penelitian itu, nanti bisa kelihatan kan nanti apakah menggunakan baju jersey bisa meningkatkan peluang timnya menang atau enggak. \ud83d\ude42<\/p>\n<p>Begitu juga dengan Siti. Cara mengujikannya bisa begini, Siti harus mau mencatat tiap kali dia dapat perasaan ngga enak selama satu tahun. Misalnya, selama satu tahun dia punya perasaan ngga enak selama 100 kali. Apakah di setiap dia dapat perasaan ngga enak, selalu diikuti kejadian yang merugikan? Ternyata, cuma 20 kali yang kejadian. Yah,\u00a0<em>success rate<\/em>-nya cuma 20%. Kurang bisa digunakan untuk generalisasi. Bahaya juga jika digunakan sebagai pembenaran firasat. Lagipula, harus dicatat pula rentang waktu dari awal Siti merasakan perasaan ngga enak sampe beneran kejadian peristiwa merugikan. Apakah dalam hitungan jam? Kalo baru kejadian satu minggu kemudian, yah, itu namanya mah mencocok-cocokkan doang yaaa :p <em>\u00a0<\/em><\/p>\n<h1><em>Story vs Statistics<\/em><\/h1>\n<p>Nah, dari beberapa contoh yang udah gue uraikan panjang lebar di atas, semuanya mengarah pada satu hal, yaitu\u00a0<strong>pentingnya statistik<\/strong>. Statistik sangat penting untuk kita pakai sebagai alat untuk mengambil kesimpulan yang rasional. Bedakan antara berargumen dengan statistik dengan berargumen melalui cerita. Cerita memang kadang lebih menarik, seperti cerita tentang kakeknya Ahmad yang perokok tapi bisa mencapai umur 95 tahun. Cerita seperti ini biasanya lebih menarik karena menyentuh sisi emosional kita sebagai manusia. Tapi, cerita aja nggak bisa dijadikan bahan untuk mengambil kesimpulan secara rasional.<\/p>\n<p>Mengikuti emosi adalah bagian dari sifat manusia, tapi perasaan bisa berbohong, itulah sebabnya mengapa fakta dan\u00a0pertimbangan sistematis yang\u00a0menghasilkan keputusan rasional lebih baik untuk diikuti, terutama dalam proses lo mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup lo. Hal ini mungkin terkesan sepele, tapi manfaatnya banyak banget kalo lo disiplin dalam berpikir menggunakan metode ilmiah, mulai saat lo harus mengambil keputusan, menentukan sikap terhadap isu sosial atau politik, serta hal-hal krusial lain terkait kepentingan lo ke depannya.<\/p>\n<p>Nah, berdasarkan contoh-contoh yang udah gue kasih di atas,\u00a0lo mungkin bisa bantu gue kasih\u00a0contoh kesalahan berpikir lain yang sering banget digunakan oleh orang terdekat untuk jadi pembenaran yang ngga masuk akal. Kalo ada yang kepikiran, cantumkan di komen di bawah ya, biar kita bisa diskusikan bareng-bareng!<\/p>\n<p style=\"text-align: center;\">****<\/p>\n<p>PS. Zenius juga sempat mengulas topik berpikir rasional ini dalam format video animasi, kamu bisa tonton videonya di bawah ini:<br \/>\n<iframe loading=\"lazy\" src=\"https:\/\/www.youtube.com\/embed\/DOX2gZp6D2U?rel=0\" width=\"560\" height=\"315\" frameborder=\"0\" allowfullscreen=\"allowfullscreen\"><\/iframe><\/p>\n<h1 style=\"text-align: center;\"><b>\u2014\u2014\u2014\u2014\u2014\u2014\u2014\u2014\u2014CATATAN EDITOR\u2014\u2014\u2014\u2014\u2014\u2014\u2014\u2014\u2014<\/b><\/h1>\n<p>Yup, langsung aja tinggalin komen di bawah buat jawab tantangan Fanny. Kalo mau ngobrol atau nanya\u00a0sama Fanny\u00a0lebih lanjut tentang bias statistik,\u00a0langsung\u00a0juga\u00a0tinggalin <em>comment<\/em> di bawah artikel ini, ya.\u00a0Buat yang penasaran dengan bahasan tentang bias-bias lain yang umum kita buat dalam pengambilan keputusan sehari-hari, bisa baca juga artikel zenius tentang:<\/p>\n<ul>\n<li>\n<h4><a href=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/ramalan-bintang-astrologi-zodiac\" target=\"_blank\" rel=\"noopener\">Ramalan Astrologi: Beneran atau Omong Kosong doang?<\/a><\/h4>\n<\/li>\n<li>\n<h4><a href=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/ospek-penting-tujuan-manfaat-orientasi-kuliah\" target=\"_blank\" rel=\"noopener\">OSPEK, Penting Ngga, <em>Sih<\/em>?<\/a><\/h4>\n<\/li>\n<li>\n<h4><a href=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/cara-suka-pelajaran-yang-dibenci\" target=\"_blank\" rel=\"noopener\">Gimana cara mengatasi pelajaran yang paling kita benci?<\/a><\/h4>\n<\/li>\n<li>\n<h4><a href=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/pentingnya-berpikir-kritis\" target=\"_blank\" rel=\"noopener\">Pentingnya Berpikir Kritis<\/a><\/h4>\n<\/li>\n<li>\n<h4><a href=\"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/pola-pikir-ilmuwan-bias-konfirmasi\" target=\"_blank\" rel=\"noopener\">Kenapa semua orang perlu berpikir seperti seorang ilmuwan?<\/a><\/h4>\n<\/li>\n<\/ul>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"<p>Apa itu berpikir rasional? Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu pemikiran itu rasional? Berikut adalah penjelasan bagaimana kita bisa berargumen dan mengambil kesimpulan yang rasional. Lo pasti pernah lah ya, lagi…<\/p>\n","protected":false},"author":22,"featured_media":20582,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":[],"categories":[138,1058,137],"tags":[453,606,363],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/8147"}],"collection":[{"href":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-json\/wp\/v2\/users\/22"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=8147"}],"version-history":[{"count":45,"href":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/8147\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":50644,"href":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/8147\/revisions\/50644"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-json\/wp\/v2\/media\/20582"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=8147"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=8147"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.zenius.net\/blog\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=8147"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}