Umbrella Movement mencetak sejarah baru dalam revolusi politik di Hong Kong. Emang, apa sih Umbrella Movement itu? Yuk, simak ceritanya!
26 September 2014, pukul 9.30 malam. Sekitar 1.500 orang berkumpul di Admiralty, jantung kota Hong Kong. Ada yang duduk di jalan, ada pula yang berdiri. Sebagian besar dari mereka membawa spanduk bertuliskan “We Are The Future”.
Pandangan mereka sedang mengarah ke seorang remaja yang berbicara di atas panggung. “Sistem politik Hong Kong saat ini sudah menunjukkan peringatan merah,” ujar remaja 18 tahun yang bernama Joshua Wong itu.
“Gue nggak peduli seberapa berkorbannya gue nanti. Kita harus menyelesaikan misi ini!” tegasnya.
Ajakan itu mengobarkan semangat ribuan orang yang datang. Wong, para anggota gerakan Scholarism yang dipimpin, dan ribuan orang lainnya langsung menyerbu Civic Square, tempat yang menjadi arena berkumpul di pusat kota. Wong lari dan memanjat pagar Civic Square.
Situasi jadi nggak terkendali. Pasukan polisi datang. Polisi mulai menangkap para demonstran, termasuk Joshua Wong.
Malam itu menjadi awal mula gerakan Umbrella Movement, 79 hari yang menciptakan sejarah baru di Hong Kong.
Daftar Isi
Satu Negara, Dua Sistem
Semua bermula dari Inggris yang sudah menguasai Hong Kong selama 157 tahun. Sebelumnya, terjadi Perang Opium antara Inggris dan Tiongkok. Jadi, pada tahun 1800-an, Tiongkok melakukan ekspor produk-produknya ke Eropa dan Amerika Serikat, meskipun nggak suka impor barang. Produk dari luar hanya masuk melalui tempat-tempat tertentu.
Padahal, Tiongkok jadi pasar yang menjanjikan buat berdagang. Inggris pun mencoba memasarkan opium, salah satu narkoba, ke Tiongkok. Perdagangan opium itu bikin rakyat Tiongkok kecanduan. Kaisar Daoguang yang saat itu memerintah Tiongkok, menghancurkan semua stok opium yang dijual.
Inggris nggak terima sama perlakuan Kaisar Daoguang. Inggris mengirim armada perang ke Tiongkok. Perang berakhir pada tahun 1842, dan Tiongkok kalah. Melalui Perjanjian Nanking, Tiongkok harus nyerahin Pulau Hong Kong ke Inggris.
Hingga akhirnya, pada tahun 1997, Inggris mengembalikan Hong Kong ke Tiongkok. Hong Kong resmi berada di bawah naungan Tiongkok. Perubahan dari Kapitalis ke Komunis bikin penduduk Hong Kong jadi merasa asing sama Tiongkok.
Setelah proses pengembalian selesai, Pemerintah Tiongkok di Beijing menerapkan kebijakan “satu negara, dua sistem”, yang sudah diatur dalam The Sino-British Joint Declaration tahun 1985. Kebijakan ini dicetuskan oleh Deng Xiaoping, pemimpin tertinggi Tiongkok saat itu.
“Biar kita bisa hidup tenang dengan cara masing-masing, gue ngasih otonomi buat kalian. Masalah demokrasi, HAM, hukum, gue serahkan ke kalian. Yang penting, urusan luar negeri dan pertahanan, biar Beijing yang mengurus,” kata Deng kepada Pemerintah Hong Kong.
Hong Kong juga berhak memilih kepala eksekutif (kepala pemerintahan) dan berhak mengajukan diri untuk dipilih. Hal itu sudah diatur dalam Hong Kong Basic Law. Beijing berjanji, peraturan ini bakal berlaku mulai tahun 2005.
Tahun 2005 tiba. Nggak ada tanda-tanda pemilu di Hong Kong. Rakyat bingung dan digantung. Dua tahun kemudian, lembaga legislatif Tiongkok, NPC Standing Committee (NPCSC), melakukan amandemen Basic Law.
“Sorry guys, gue telat speak up dua tahun. Pemilu kepala eksekutif jadinya berlaku mulai tahun 2017 ya,” kata NPCSC.
Rakyat Hong Kong jadi curiga. Padahal, 2012 ada pergantian periode. Kenapa tahun 2012 dilewatin? Mereka mulai nggak percaya sama Tiongkok.
Hingga akhirnya, pada tahun 2012, CY Leung dipilih jadi kepala eksekutif Hong Kong. Dia dipilih sama Komite Pemilihan Pemerintah Beijing, bukan rakyat Hong Kong sendiri.
“Hmmm, kayaknya Tiongkok makin lama mengontrol Hong Kong nih,” batin rakyat Hong Kong saat itu.
Baca juga: China, Tjina, Cina, Tiongkok, Manakah yang Benar?
Pemicu Umbrella Movement
Firasat rakyat Hong Kong terbukti. Pada 31 Agustus 2014, NPCSC ngumumin perubahan baru tentang Pemilu 2017, warga Hong Kong masih punya hak pilih universal. Namun, ada syaratnya.
“Elo boleh memilih kepala eksekutif sendiri, tetapi siapa kandidatnya, biar Komite Nominasi yang memilih dan menyeleksi. Cuma 2-3 orang yang bakal lolos. Kalian tinggal pilih saja kandidatnya nanti,” kata NPCSC.
Para aktivis demokrasi kecewa berat. Mereka merasa dikhianati dan dikasih harapan palsu. “Katanya dikasih hak buat memilih kandidat sendiri sama boleh ngajuin diri, kok malah kandidatnya dipilih situ? Mana Komite Nominasi isinya orang pemerintah Beijing semua lagi,” protes mereka. Mereka ngerasa, warga Hong Kong nggak dihargai.
Kemarahan mereka semakin beralasan ketika ekonomi di Hong Kong memburuk. Harga rumah jadi mahal banget, dan kegiatan ekonomi dikuasai pebisnis dari Tiongkok daratan. Millennial Hong Kong jadi hopeless sama masa depan mereka, kalau situasi kayak gini dibiarkan.
Kesabaran warga Hong Kong udah habis, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu.
Baca juga: Ribuan Tahun Berbentuk Kekaisaran, Bagaimana Tiongkok menjadi Negara Komunis?
Lahirnya Umbrella Movement
Setelah NSCPC ngumumin keputusan itu, Joshua Wong mulai bergerak. Wong beserta para anggota gerakan sosial yang dipimpin, Scholarism, mengorganisir pelajar dan mahasiswa di seluruh Hong Kong buat turun ke jalan. Benny Tai, pemimpin gerakan Occupy Central with Love and Peace, juga ikut bergabung.
Ribuan mahasiswa dari 20 sekolah dan universitas di Hong-Kong bolos kelas. Mereka turun ke jalan demi memperjuangkan hak pilih mereka. Para aktivis demokrasi juga ikut bergabung.
Hingga akhirnya, 26 September 2014, 1.500-an orang berkerumun di Admiralty, kayak yang gue ceritain di awal. Para pelajar dan mahasiswa menguasai jalanan utama Hong Kong selama 4 hari.
Awalnya, nggak ada kekerasan. Mendadak, 28 September dini hari, polisi nembakin 87 putaran gas air mata ke demonstran!
Semua pada kocar-kacir. Mereka langsung nyebar dari Admiralty ke Causeway Bay, Kowloon Peninsula, sampai Mong Kok. Para demonstran nyari cara buat bertahan dari serangan gas air mata. Sejak itu, mereka memakai payung buat berlindung dari gas air mata dan semprotan merica oleh polisi.
Dari sinilah gerakan tersebut dinamakan Umbrella Movement. Umbrella Movement dimulai pada 28 September 2014.
Jalannya Umbrella Movement
Sekitar 1,32 juta penduduk Hong Kong ikut serta dalam Umbrella Movement. Payung menyimbolkan tiga hal bagi mereka: sarana ekspresi, privasi, dan perlindungan diri. Sebagian demonstran menghias payung mereka sebagai ekspresi protes, memakai payung buat nutupin wajah mereka dari pers, dan melindungi mereka dari gas air mata.
Selama Umbrella Movement, rakyat Hong Kong camping di jalanan. Kalau ada kerusuhan terjadi, paramedis standby buat ngasih pertolongan pertama. Para dosen mengisi kelas di jalan. Mahasiswa ngebantu anak sekolahan buat ngerjain PR.
Setiap kali persediaan makanan menipis, mereka menggunakan kekuatan media sosial buat nyari bantuan. Kalau jalanan kotor, mereka juga ngebersihin sendiri.
Pada minggu kedua, massa makin banyak. Jalanan utama Hong Kong jadi lautan manusia. Arus transportasi terhambat.
Kemudian, munculah kelompok Anti-Occupy Central. Mereka dicurigai sebagai suruhan pemerintah buat membubarkan massa. Mereka tiba-tiba menyerang para demonstran di Mong Kok.
Setelah 3 mingguan, pemerintah Hong Kong akhirnya menghadap demonstran pada 21 Oktober 2014.
“Jadi, mau kalian apa?” kata perwakilan pemerintah Hong Kong saat itu.
“Kita cuma mau NPCSC nyabut putusannya yang nggak ngasih kita hak buat memilih kandidat sendiri. Nggak usah PHP lagi sekarang, kasih waktu yang jelas kapan permintaan kita bisa dikabulkan,” jawab perwakilan mahasiswa.
“Oke, bisa diatur. Entar gue omongin ke pemerintah Beijing ya, soalnya mereka yang berhak buat nentuin itu,” kata tim pemerintah Hong Kong.
“Nggak bisa, kita udah capek digantungin terus. Jawaban elo nggak ada komitmen sama sekali kayak mantan gue,” ujar perwakilan mahasiswa.
Para demonstran tetap ngelanjutin Umbrella Movement. Mereka memperluas wilayah yang diduduki, kayak gedung pemerintah dan perkantoran pusat keuangan. Pada minggu ketiga, jalanan utama Hong Kong benar-benar nggak bisa dilewati.
Berakhirnya Umbrella Movement
Hari ke-61, masih belum ada tindak lanjut dari pemerintah. Pemerintah justru minta para demonstran buat bubar dan menghancurkan barang-barang mereka. Polisi juga memukuli para demonstran pakai pentungan, biar pada bubar.
Kekerasan semakin menjadi-jadi antara polisi dan demonstran. Buat meredakan kerusuhan, Benny Tai minta para demonstran buat pulang ke rumah. Dia juga menyerahkan diri ke pihak berwenang.
Namun, tetap aja, para demonstran nggak mau bubar. Pemerintah Hong Kong nyoba cara lain, yaitu ngebiarin demonstran sampai mereka capek sendiri. Sementara itu, pemerintah Beijing nggak ngerespons.
Makin lama, jalanan mulai sepi. Tujuan Umbrella Movement luntur. Wong membangkitkan lagi semangat warga Hong Kong. Dia mogok makan sebagai bentuk peringatan.
Fisik Wong drop pada hari kelima. Dokter nyaranin buat nggak nerusin mogok makan. Wong pun nyerah. Demonstran juga mulai kehilangan harapan. Mereka ngerasa, protes ini nggak bisa dilanjutin lagi.
Akhirnya, 15 Desember 2014 jadi hari terakhir Umbrella Movement. Orang-orang udah ninggalin jalanan. Mereka frustasi, ngerasa bahwa perjuangan mereka sia-sia. Setelah 79 hari berjalan, Umbrella Movement berhenti tanpa hasil.
“Titik terendah adalah ketika aku melihat bagaimana orang-orang kehilangan harapan pada gerakan ini. Jika kita tidak bisa melihat harapan lagi, pergerakan tidak bisa dilanjutkan,” kata Wong, dalam film dokumenter berjudul Joshua: Teenager vs Superpower (2017).
Well, Umbrella Movement ngebuka pikiran gue kalau rakyat Hong Kong benar-benar memperjuangkan hak mereka sebagai warga sipil. Gue salut sama upaya Wong yang begitu getolnya buat memperjuangkan hak pilih rakyat Hong Kong. Gue merekomendasikan elo buat nonton film Joshua: Teenager vs Superpower di Netflix. Elo bisa ngeliat langsung gimana situasi Umbrella Movement saat itu.
Kalau dari elo, pelajaran apa yang bisa diambil dari Umbrella Movement? Share pendapat elo di kolom komentar, ya!
Baca Juga Artikel Lainnya
Sun Yat Sen, Bapak Republik Cina yang Menggulingkan Kekaisaran Qing
Apa Fungsi Fusi Nuklir dari Matahari Buatan China?
Referensi:
Leave a Comment