Ada sebuah sistem ekonomi dengan sebutan Gerakan Benteng pada zaman kabinet Natsir, yang konon nggak berhasil, lho. Wah, kok bisa ya, gerakan yang tujuannya baik ini gagal?
Sobat Zenius, negara kita Indonesia itu kaya banget akan berbagai suku dan budaya. Di mana, tiap suku biasanya memiliki tiap ciri khas dan juga … label yang melekat.
Maksudnya gimana, tuh? Ya, coba elo pikir-pikir, deh. Apa sih, anggapan yang menempel pada misalnya orang Batak, Jawa, Papua, atau Tionghoa?
Sejak dulu, orang Batak dikenal seringkali memiliki intonasi yang menggebu-gebu dan suara yang indah. Selain itu, biasanya orang Batak dianggap sebagai pengacara dan penyanyi yang handal.
Contoh lain, satu lagi, deh. Misalnya, Tionghoa. Orang Tionghoa kerap dianggap jago berdagang atau berbisnis, dan sering dikaitkan dengan kepemilikan toko atau usaha.
Nah, ternyata anggapan atau cap yang menempel pada suku tertentu seperti ini, sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda.
Dilansir dari Kompas.com, sejarawan JJ Rizal yang mempelajari kehidupan Tionghoa di Indonesia mengemukakan bahwa sejak zaman penjajahan Belanda dulu, penduduk asal Cina menjadi perantara jual-beli.
Selain itu, penjajah Belanda juga membagi kelompok masyarakat di Nusantara menjadi sebagai berikut.
Bisa terbayangkan, bahwa pada zaman dahulu, kaum Timur Asing lebih memiliki ruang untuk bergerak dan berusaha dibandingkan kaum pribumi.
Walau, hubungan antara kelompok Timur Asing dengan Belanda pun banyak mengalami pasang surut.
Hal ini dilakukan Belanda agar masyarakat menjadi terpecah belah, dan nggak langsung kompak melawan Belanda beramai-ramai.
Jadi sampai sini, Sobat Zenius bisa kebayang ya, bagaimana cap atau label yang lekat dengan orang Tionghoa, sebagai pedagang dan pengusaha.
Nah, di Indonesia, pernah ada suatu sistem atau gerakan ekonomi yang bernama Gerakan Benteng, yang diusulkan karena situasi di atas, lho.
Wah, kita-kita seperti apa ya Gerakan Benteng, apa tujuannya, serta bagaimana dampaknya? Yuk, kita bahas bareng-bareng.
Latar Belakang Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Kalau elo ngikutin sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia, elo pasti pernah dengar, bahwa Indonesia pernah menganut sistem demokrasi liberal, sejak tahun 1950 hingga tahun 1959.
Selama kurun waktu tersebut, ada tujuh kabinet yang menghasilkan berbagai kebijakan atau gerakan, baik di bidang politik maupun ekonomi.
Nah, kabinet pertama, yaitu Kabinet Natsir yang berkuasa sejak 6 September 1950 hingga 21 Maret 1951, itu memiliki kebijakan ekonomi, yang salah satunya bernama gerakan atau program Benteng.
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan gagasan dari Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo (atau Sumitro Djojohadikusumo), seorang ekonom dan politikus Indonesia, yang juga merupakan ayah dari Prabowo Subianto.
Tujuan sistem ekonomi Gerakan Benteng ini sebenarnya untuk membangun kelas pengusaha pribumi, agar memiliki usaha seperti toko sendiri, dengan harapan bisa bersaing dengan sehat terhadap kelompok masyarakat lainnya.
Ya, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, sejak dulu itu sudah mulai ada anggapan bahwa kelompok non-pribumi alias Tionghoa, lebih banyak memiliki usaha dan toko.
Lantas, gimana nih cara membangun kelas pengusahannya? Ada dua hal utama yang disediakan oleh pemerintah: modal dan pelatihan.
Dengan adanya program ini, importir pribumi juga mendapatkan privilege, berupa kewenangan impor khusus, di mana mereka bisa menerima devisa dengan kurs murah.
Selain itu, pengusaha juga diberikan bantuan serta kredit modal dengan lebih mudah. Diperkirakan ada sebanyak 700 pengusaha atau perusahaan yang ikut berpartisipasi dalam program ini.
Gerakan ini sudah direncanakan sejak April 1950, bahkan sebelum Kabinet Natsir secara resmi dimulai, ya.
Jadi, bisa dibilang, gerakan ini memang sudah direncanakan terlebih dahulu, lalu tinggal diresmikan ketika Kabinet Natsir sudah terbentuk.
Selanjutnya, kita bahas bagaimana dampak sistem ekonomi Gerakan Benteng ini, ya.
Baca Juga: Demokrasi Liberal, Kala Pemerintahan Indonesia Dikepalai Perdana Menteri
Dampak Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Tentunya, dampak yang diharapkan dari program ini adalah kelompok pengusaha pribumi bisa terbangun, dan ekonomi nasional pun bertumbuh.
Namun, ternyata hasilnya nggak sesuai dengan harapan, malah membawa kerugian yang besar untuk pemerintah.
Dilansir dari Tagar.id, program ini justru menyebabkan defisit anggaran yang mencapai Rp 3 miliar pada tahun 1952. Itu belum termasuk tahun-tahun lainnya, ya.
Wah, kok bisa gagal, sih? Kira-kira apa penyebab kegagalan sistem ekonomi Gerakan Benteng ini?
Ternyata, ada beberapa contoh alasan mengapa penerapan sistem ekonomi benteng mengalami kegagalan.
- Pengusaha pribumi cenderung konsumtif, dan menggunakan modal dari kredit pemerintah untuk kebutuhan pribadi dan berfoya-foya.
- Pengusaha pribumi kurang spekulatif dan bergantung pada arahan serta bantuan pemerintahan.
- Terjadi penyalahgunaan bantuan dan hak, seperti menjual lisensi hak impor istimewa (aktentas) kepada importir yang sudah mapan, sehingga importir yang sudah mapan justru mendapatkan keistimewaan yang seharusnya bukan hak mereka.
Pada akhirnya, Program Benteng ini dianggap gagal, dan dihentikan pada bulan April 1957, pada masa Kabinet Djuanda.
Baca Juga: Apa Perbedaan Sistem Ekonomi Sosialis, Kapitalis, dan Campuran?
Contoh Soal Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Oke, Sobat Zenius. Kita sudah bahas tentang Gerakan Benteng secara singkat. Sekarang, kita coba review dengan menjawab beberapa soal yang kerap ditanyakan, yuk.
Mengapa Kabinet Natsir menjalankan sistem ekonomi gerakan benteng?
Pembahasan:
Tujuan dilaksanakannya sistem ekonomi gerakan benteng adalah untuk membangun kelas pengusaha pribumi, dalam arti non-Tionghoa.
Pencetus sistem ekonomi gerakan benteng adalah …
Pembahasan:
Sistem ekonomi gerakan benteng merupakan gagasan dari Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, salah satu ekonom Indonesia yang paling terkemuka pada zamannya.
Pernyataan berikut yang tidak mencerminkan sistem ekonomi gerakan benteng adalah …
- bertujuan mengubah perekonomian yang hanya digerakkan pada dominasi perusahaan asing dan ditopang kelompok etnik Tionghoa
- Gerakan Benteng mengalami kegagalan dan menyebabkan defisit anggaran negara.
- dalam 3 tahun sekitar 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program Gerakan Benteng
- merupakan usaha pemerintah untuk mengganti struktur ekonomi kolonial ke struktur ekonomi nasional pada masa demokrasi terpimpin
Pembahasan:
Jawabannya adalah D. Alasannya, Gerakan Benteng dilaksanakan pada masa demokrasi liberal, bukan demokrasi terpimpin.
Apa persamaan dari sistem ekonomi Gerakan Benteng dan Alibaba?
Pembahasan:
Ada beberapa persamaan dari dua program tersebut, yaitu:
- Mementingkan peran pengusaha pribumi untuk perekonomian nasional.
- Bertujuan untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi nasional.
- Pemerintah memberi bantuan terhadap pengusaha.
Baca Juga: Kebijakan Ekonomi Ali Baba di Masa Demokrasi Liberal
*******
Oke Sobat Zenius, itulah pembahasan singkat mengenai Gerakan Benteng. Sebagai catatan, nama programnya benteng ya, bukan banteng. Terkadang, ada kesalahan penulisan atau pengucapan nama program ini.
Kalau elo ingin mempelajari Program Benteng dan materi Sejarah lainnya dengan lebih dalam dan asyik, coba deh nonton video materi di Zenius dan akses soal-soalnya.
Pastikan elo log in akun Zenius elo ya supaya bisa akses video dan soalnya.
Anyway, nggak cuma Sejarah, kalau elo juga pengen belajar mata pelajaran lainnya dengan paket komplet ditemani tutor asik, sobat Zenius bisa berlangganan paket belajar yang udah kita sesuaikan sama kebutuhan elo. Yuk intip paketnya!
Sampai di sini dulu artikel kali ini, dan sampai jumpa di artikel selanjutnya!
Referensi:
Demokrasi Liberal, Kala Pemerintahan Indonesia Dikepalai Perdana Menteri – Zenius (2020)
Gerakan Benteng, Wujud Perubahan Ekonomi yang Malah Merugi – Tagar.id (2021)
Ini Alasan Warga Tionghoa Memilih Jadi Pedagang – Kompas.com (2012)
Leave a Comment