Hai, sobat Zenius! Kali ini gue akan membahas seorang tokoh yang dijuluki “Ayam Jantan dari Timur”. Hmm, siapa, ya? Yup, betul banget! Gue akan membahas latar belakang Sultan Hasanuddin dan perannya dalam Perang Makassar. Jadi kalau suatu saat ada pertanyaan:
“Apa yang kamu ketahui tentang Sultan Hasanuddin?”
Elo bisa langsung cerita panjang lebar seakan-akan elo sedang menceritakan kisah kakek elo sendiri. Tanpa basa-basi mari kita selami lebih jauh kisah perjuangan Sultan Hasanuddin melawan Belanda.
Latar Belakang Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin adalah Sultan Gowa ke-16 yang memimpin Kerajaan Islam Gowa-Tallo dari tahun 1653-1669. Ia lahir pada 12 Januari 1631 di Makassar, Sulawesi dan meninggal pada usia 39 tahun pada 12 Juni 1670 di Gowa, Sulawesi.
Ia dikenal sebagai pemimpin yang sangat gigih melawan Belanda dan pandai dalam berdagang. Berdasarkan surat Keputusan Presiden No.087/TK/1973, Sultan Hasanuddin diangkat menjadi salah satu Pahlawan Nasional pada 6 November 1973.
Sultan Hasanuddin ini sering disebut Sultan Kerajaan Gowa, Sultan Kerajaan Gowa-Tallo, atau juga Sultan Kerajaan Makassar. Eh, beliau Sultan dari tiga kerajaan? Nggak, guys! Sebenarnya tiga kerajaan ini mengacu pada kerajaan yang sama. Nanti kita akan bahas soal daerah asal Sultan Hasanuddin ya.
Sultan Hasanuddin lahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Nama ini diberikan oleh Qadhi Islam Kesultanan Gowa, Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid. Ketika ia mulai mengaji, Ia berganti nama menjadi Muhammad Bakir.
Kemudian ketika ia naik tahta, ia berganti nama menjadi Sultan Hasanuddin. Kemudian saat Sultan Hasanuddin tutup usia, ia diberi gelar Tumenanga Ri Balla Pangkana. Jadi, jangan bingung, ya, kalau nanti nama Sultan Hasanuddin disebutkan secara berbeda-beda di artikel ini.
Masa kecil Muhammad Bakir
Ketika Muhammad Bakir berumur delapan tahun, ayahnya, Sultan Muhammad Said naik tahta sebagai Raja Gowa ke-15. Pada umur yang sama, Muhammad Bakir mulai mendapatkan pendidikan keagamaan di Masjid Bontoala.
Ternyata sejak kecil, Muhammad Bakir sudah dikenal sebagai seseorang yang cerdas, pantang menyerah, dan pandai memimpin. Walau ia adalah anak raja, ia bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari golongan rakyat biasa. Justru ia akan marah bila ada anak bangsawan yang sombong terhadap rakyat biasa.
Muhammad Bakir dikenal sebagai pribadi yang jujur dan hormat terhadap orang tua. Ketika ia berumur 15 tahun, ia dideskripsikan sebagai pemuda gagah perkasa dengan tubuh yang kuat dan wibawa yang besar serta rasa kemanusiaan yang luhur.
Masa Dewasa Muhammad Bakir hingga Menjadi Sultan
Sultan Muhammad Said sering mengajak Muhammad Bakir menghadiri pertemuan penting agar ia bisa mempelajari ilmu diplomasi dan strategi perang. Bahkan, Muhammad Bakir beberapa kali diberi kepercayaan untuk menjadi delegasi yang mengirimkan pesan ke berbagai kerajaan lainnya.
Karena kecakapan dan karakternya, Sultan Muhammad Said menetapkan bahwa Muhammad Bakir kelak akan memangku jabatan Raja. Kemudian saat Muhammad Bakir menginjak umur 22 tahun, Sultan Muhammad Said wafat, sehingga Muhammad Bakir naik tahta sebagai Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-16.
Nah, mungkin elo bertanya-tanya bukannya ada juga yang bilang kalau Sultan Hasanuddin menjadi raja ketika berumur 24 tahun ya? Ya, memang ada dua versi sejarah yang menjelaskan bahwa Sultan Hasanuddin menjadi raja saat ia berusia 24 tahun pada 1655 atau saat dia berusia 22 tahun pada 1653.
Ada hal menarik tentang pengangkatan Sultan Hasanuddin. Sebenarnya bila mengikuti adat kebiasaan, Muhammad Bakir tidak berhak menduduki tahta, karena ketika ia lahir, ayahnya belum menjadi raja. Namun, putra mahkota saat itu, Daeng Matawang, dan para bangsawan lainnya menyetujui pengangkatan Sultan Hasanuddin.
Masa Pemerintahan Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin pun akhirnya memimpin Kerajaan Gowa-Tallo di ujung selatan Pulau Sulawesi dengan ibukota Somba Opu yang terletak di pantai Selat Makassar. Di bawah kekuasaan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Gowa-Tallo mencapai masa keemasannya sebagai pusat perdagangan terbesar di Indonesia bagian timur.
Kerajaan ini merupakan penghubung antara wilayah barat yang terdiri dari Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan semenanjung Malaka, dengan wilayah timur yang terdiri dari Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara. Selain itu, Sultan Hasanuddin memperluas wilayah kekuasan Kerajaan Gowa-Tallo hingga Ternate dan Sumbawa.
Pada masa kepemimpinan Sultan Hasanuddin, Belanda merasa tidak senang karena keadaan dan kebijakan Kerajaan Gowa-Tallo pada bidang perdagangan tidak sesuai dengan harapan Kongsi Dagang Belanda yaitu VOC (atau Vereenigde Oostindische Compagnie).
Baca Juga: Silsilah dan Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Gowa-Tallo VS VOC
Sejak tahun 1616, era pemerintahan Sultan Alaudin, sudah terjadi ketegangan antara VOC dan Kerajaan Gowa-Tallo. Kompeni Belanda alias VOC telah berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di daerah-daerah Indonesia Timur dengan mengadakan perhitungan bersama orang Spanyol dan Portugis. Mereka memaksa rakyat menjual rempah-rempah dengan harga yang ditetapkan oleh mereka.
Selain itu, VOC malah menyuruh rakyat menebang pohon pala dan cengkih di beberapa tempat. Loh kok malah ditebang? Iya, supaya jumlah rempah-rempah terbatas sehingga nilainya pun naik. Kalau dilihat dari sisi orang Nusantara kita, ini hal yang sangat menjengkelkan, bukan? Sudah maksa beli pakai harga murah, seenaknya nyuruh tebang pohon lagi. Ini dapat melemahkan ekonomi rakyat dan kerajaan. Pada saat itu, daerah-daerah di Indonesia Timur sudah berhasil dimonopoli Belanda, hanya Kerajaan Gowa-Tallo yang masih selalu tegas menolak monopoli dagang yang dilakukan VOC
Sama seperti para pendahulunya, Sultan Hasanuddin pun tidak setuju apabila VOC melakukan monopoli perdagangan. Hal ini dikarenakan ada idealisme yang dipegang oleh kerajaan Gowa-Tallo, yaitu Tuhan Yang Maha kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagikan di antara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum. Tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika Belanda melarang hal itu, maka berarti Belanda seolah-olah mengambil nasi dari mulut orang lain.
Belanda pun terus berusaha menghancurkan Kerajaan Gowa-Tallo, yang merupakan rival perdagangan rempah-rempah mereka. Oleh karena itu, Sultan Hasanuddin tidak segan-segan mulai melakukan perlawanan terhadap Belanda. Untuk melawan VOC, Sultan Hasanuddin berusaha mempersatukan daerah-daerah di timur Indonesia dan membentuk kekuatan militer serta persiapan perang.
Perang Makassar
Tentu saja untuk mempersatukan daerah-daerah ini, ada kerajaan yang harus ‘dijajah’ dong. Walau Sultan Hasanuddin sebelumnya dielu-elukan sebagai sultan berwibawa yang jago memimpin perang, tentu sultan ini tidak disukai oleh musuh-musuhnya yaitu pihak yang dikalahkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Nah, salah satu pentolan pemberontak yang berani melawan Sultan Hasanuddin tidak lain dan tidak bukan ialah Arung Palakka.
Arung Palakka merupakan pemimpin dari Kerajaan Bone. Kisah Arung Palakka pun tidak kalah menarik dengan kisah Sultan Hasanuddin tapi gue nggak akan panjang-panjang menceritakannya supaya artikel ini tidak berubah menjadi buku yah guys. 😀
Singkatnya, Arung Palakka dan suku Bugis dari Kerajaan Bone diperlakukan dengan tidak baik oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Mereka dipaksa bekerja siang-malam untuk menggali parit. Perlakuan ini menyebabkan Arung Palakka tergerak untuk memberontak.
Belanda mengendus percikan konflik antara Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bone sehingga VOC langsung memanfaatkan keadaan ini. Nantinya Kerajaan Bone yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo akan membantu VOC.
Nah, selanjutnya kita akan lanjut ke puncak konflik antara VOC dan Kerajaan Gowa-Tallo di Perang Makassar sebagai puncak bentuk perlawanan Gowa-Tallo terhadap VOC yang bekerja sama dengan Kerajaan Bone.
Baca Juga: 4 Alasan Besar Penyebab VOC Bubar
Perang Makassar berlangsung pada tahun 1666-1669. Pada tahun 1660 ada titah dari petinggi Gowa untuk mengerahkan 10.000 orang Bone untuk melakukan penggalian parit di sepanjang garis pertahanan di pantai pelabuhan Makassar. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh baik rakyat maupun bangsawan Bone sehingga dianggap melukai harga diri Bone.
Di antara pekerja tersebut, ada Arung Palakka yang pada akhirnya bersama dengan para pemimpin Bugis lainnya melakukan pemberontakan. Arung Palakka pun dikejar oleh Gowa-Tallo namun berhasil melarikan diri dengan berlayar ke Buton. Di sana ia mendapatkan perlindungan dari Sultan Buton. Kemudian, ia meminta bantuan ke Batavia.
Kemudian pada tanggal 31 Desember 1666, armada VOC di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Janzoon Speelman sampai di Kerajaan Buton. Kerajaan tersebut sedang dikepung rapat oleh pasukan-pasukan dan armada Kerajaan Gowa untuk menghukum Sultan Buton yang memberi perlindungan kepada Arung Palakka dan sekutunya.
NAH INI NIH YANG MEMBUAT GOWA-TALLO KETAR KETIR.
Jadi, saat itu pasukan-pasukan Kerajaan Gowa yang kurang lebih berkekuatan 15.000 orang yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar. Ya, jadi sebagian dari mereka memang adalah orang-orang dari kerajaan yang dijajah Gowa-Tallo. Begitu para orang Bugis mendengar bahwa Arung Palakka datang, mereka yang jumlahnya beribu-ribu menganggap bahwa mereka akan bebas. Oleh karena itu, mereka justru balik menyerang Kerajaan Gowa.
Di sisi lain, orang Mandar tidak merasa berkewajiban untuk membela Kerajaan Gowa-Tallo. Maka, pasukan Gowa pun menjadi kacau balau karena adanya perang internal ini sehingga sangat mudah untuk dilumpuhkan oleh pihak luar. Jadi, sebenarnya kekalahan pasukan atau armada Gowa itu bukan sepenuhnya karena Belanda, justru adanya kekacauan dan peperangan di antara pasukan internal yang membuat Gowa melemah.
Selain itu, Gowa tidak hanya harus melawan Belanda dan Kerajaan Bone, namun juga harus melawan sekutu mereka seperti Mandarsyah (Raja Ternate), Kapten Jonker (dari Ambon), dan Buton.
Peperangan-peperangan sengit pun terjadi dan sedikit demi sedikit kekuasaan Gowa mulai memudar hingga pada tanggal 26 Oktober 1667, Belanda dan sekutunya berhasil sampai ke Benteng Somba Opu yang merupakan kediaman Sultan Hasanuddin. Lalu apa yang terjadi?
Baca Juga: 10 Kerajaan Maritim Islam di Indonesia
Perjanjian Bongaya
Setelah terdesak, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani sebuah perjanjian yang biasa disebut Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667 di Bungaya. Sebenarnya isi perjanjian ini ada 30 pasal spesifik ya, tapi kira-kira begini isinya secara garis besar:
- Belanda mendapat hak monopoli di Makassar
- Makassar harus melepaskan daerah jajahannya
- Belanda boleh mendirikan benteng di Makassar
- Arung Palakka harus diakui sebagai Raja Bone
- Makassar ganti rugi biaya perang
- Dan lain sebagainya
Tentu saja perjanjian tersebut sangat merugikan Kerajaan Gowa-Tallo. Oleh karena itu, Sultan Hasanuddin kembali memimpin sebuah perlawanan pada tahun 1669. Namun pada akhirnya Belanda berhasil menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Somba Opu pada tanggal 24 Juni 1669 sehingga Kerajaan Gowa-Tallo harus kembali tunduk.
Sultan Hasanuddin pun mengundurkan diri dari tahtanya dan menurunkan tahtanya kepada putranya, I Mappasomba Daeng Nguraga, dengan bergelar Sultan Amir Hamzah.
Kenapa Sultan Hasanuddin disebut Ayam Jantan Dari Timur?
Dari kisah sebelumnya, elo pasti bisa membayangkan betapa gagah dan pantang menyerahnya Sultan Hasanuddin ketika melawan Belanda. Nah, Belanda menjuluki Sultan Hasanuddin sebagai “De Haantjes van Het Oosten” atau Ayam Jantan Dari Timur karena ia merupakan seorang sultan dari kerajaan bagian timur yang sangat agresif dan gigih ketika berperang.
***
Bagaimana sobat zenius, apakah elo ada pertanyaan seputar topik kita kali ini? Kalau elo punya pertanyaan maupun pernyataan, jangan ragu buat komen di kolom komentar, oke? Sampai sini dulu artikel kali ini dan sampai jumpa di artikel selanjutnya, ciao!
Diperbarui oleh: Atha Hira Dewisman
Leave a Comment