Sobat Zenius, elo tau nggak sih kalau Belanda ternyata butuh waktu sekitar 40 tahun untuk mengalahkan Kerajaan Aceh?
Hah? Kok bisa? Bukannya Belanda lebih canggih dibanding Aceh? Emangnya strategi kayak apa yang Aceh punya sampe Belanda ketar-ketir?
Oke, tapi sebelum gue jawab semua pertanyaan di atas, buka dulu deh link video di bawah ini. Video ini menjelaskan latar belakang secara umum munculnya perjuangan kedaerahan pada masa kolonialisme. Jangan lupa log in (atau daftar kalo elo belum punya akun) supaya elo bisa nonton videonya sampai habis.
Kalau udah selesai nonton, balik ke sini lagi, ya! Karena setelah ini gue mau jelasin lebih dalam tentang Perang Aceh.
Latar Belakang Perlawanan dan Perjuangan Daerah pada Masa Kolonialisme
Penyebab Perang Aceh
Sobat Zenius, elo pasti tau kan kalau di masa lalu, jalur perairan itu penting banget. Wilayah-wilayah strategis yang ada dalam jalur perairan pun jadi incaran negara-negara yang lagi menjelajah, perang, ataupun dagang.
Ketika Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, perairan Aceh pun jadi wilayah yang strategis, karena digunakan sebagai jalur lalu lintas perdagangan. Belanda yang lagi gencar-gencarnya menaklukan nusantara akhirnya menganggap Aceh sebagai sasaran empuk.
Baca juga:
Silsilah Kerajaan Samudera Pasai dan Masa Kejayaan
Tapi, keinginan Belanda terhalang oleh Traktat London, perjanjian yang dibuat Belanda dan Inggris pada tahun 1824. Salah satu isi dari perjanjian ini menyebutkan bahwa Belanda harus menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh.
Nah! Perjanjian ini ngebuat Belanda nggak bisa melakukan apapun terhadap Aceh. Akhirnya, Belanda dan Inggris mengatur perjanjian lain, yaitu Traktat Sumatra (1871). Pada intinya, perjanjian ini memberikan kebebasan kepada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatera.
Baca juga:
Penjajahan Bangsa Eropa di Indonesia Selama 350 Tahun, Benarkah?
Perjanjian ini jelas membuat Kerajaan Aceh merasa terancam. Mereka pun berusaha mencari bantuan dari beberapa negara lain. Mengetahui pergerakan diplomatik Aceh, Belanda nggak diam aja. Wakil Presiden Hindia, F. N. Nieuwenhuyzen bahkan dateng langsung ke Aceh untuk minta penjelasan.
Saat kedatangannya, Wakil Presiden Hindia juga menyampaikan sebuah petisi yang menuntut Aceh agar tunduk terhadap Belanda. Tentu pemimpin Kerajaan Aceh, Sultan Mahmud Syah menolak petisi ini… and the rest is history!
Bagaimana Perjalanan Perang Aceh?
Saking lamanya Perang Aceh, para sejarawan pun membagi peristiwa ini ke dalam empat fase.
Fase Pertama (1873 – 1874)
Fase pertama Perang Aceh terjadi pada tahun 1873, setelah pernyataan perang dikumandangkan oleh Belanda. Kerajaan Aceh pun segera menyiapkan diri untuk melawan.
Perang pun dimulai! 3.000 pasukan KNIL Belanda mendarat di Pantai Ceureumen pada tanggal 5 April 1873 di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kohler. Sedangkan pasukan Aceh dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah.
Terus siapa yang menang? Yup, Aceh dengan segala kekuatan dan strateginya berhasil memukul mundur Belanda!
Fase Kedua (1874 – 1880)
Meski kalah, Belanda nggak nyerah begitu saja. Pasukan Belanda segera mengatur strategi baru yang dipimpin oleh Jenderal Jan Van Swieten.
Pada serangan yang kedua, Belanda berhasil menguasai istana Kesultanan Aceh Darussalam. Tapi, ini memang moment-nya aja yang tepat, karena saat itu pasukan Aceh emang sedang meninggalkan istana untuk bergerilya.
Pada fase ini, para pejuang Aceh seperti Teuku Umar, Cik Ditiro, Panglima Polim, dan Cut Nyak Dien berhasil memobilisasi rakyat Aceh untuk bergerilya melawan Belanda. Ternyata, strategi ini berhasil membuat Belanda kewalahan. Fase kedua pun kembali dimenangkan oleh Aceh.
Baca juga:
Kehidupan Kerajaan Aceh dan Silsilahnya
Fase Ketiga (1881 – 1896)
Kalau ada satu hal yang bisa kita tiru dari Belanda di sini, ya ini nih semangatnya yang nggak abis-abis. Kegagalan demi kegagalan yang diterima oleh Belanda nggak menyurutkan semangat mereka dalam menguasai Aceh. Justru Belanda makin lihai menyusun strategi. Kali ini, mereka menggunakan siasat dari dalam.
Christian Snouck Hurgronje merupakan seorang ahli Bahasa Arab dan Agama Islam yang dikirim oleh Belanda untuk mendekati para ulama Aceh. Ia menyamar dengan menggunakan nama samarannya, yaitu Haji Abdul Ghaffar. Penyamaran ini ia gunakan untuk mendapatkan info sebanyak-banyaknya tentang Aceh, yang nantinya akan dilaporkan ke pasukan Belanda.
Tapi, ternyata pihak Aceh pun melakukan hal yang sama. Suami Cut Nyak Dien, Teuku Umar, berpura-pura menyerah kepada Belanda. Belanda pun menghargai keputusannya itu dengan menjadikannya panglima dan diberi gelar Teuku Johan Pahlawan. Nggak hanya itu, Teuku Umar juga diberikan kesatuan tentara yang berjumlah 250 orang.
Alih-alih menyerang negaranya sendiri, Teuku Umar justru melakukan serangan balik melawan pasukan Belanda pada tanggal 29 Maret 1896. Peristiwa ini terkenal dengan nama Het Verraad van Teukoe Oemar atau pengkhianatan Teuku Umar.
Terus respon Belanda? Ya, jelas mereka marah. Mereka pun segera menagih laporan dari Snouck Hurgronje. Baru lah Belanda mengetahui bahwa kekuatan Aceh selama ini adalah semangat yang didasarkan pada tali persaudaraan sesama Muslim.
Fase Keempat dan Akhir (1896 – 1910)
Berulang kali kalah, akhirnya Belanda menemukan strategi yang sesuai. Belanda membentuk Korps Marchausse, pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang dibawahi pemimpin Belanda. Dengan pasukan ini, strategi gerilya Aceh dapat mudah dikalahkan. Bahkan, pada tahun 1899 Teuku Umar tewas pada pertempuran di Meulaboh.
Tewasnya Teuku Umar nggak mematahkan semangat juang rakyat Aceh. Perjuangan masyarakat kini dipimpin oleh Cut Nyak Dien bersama Pocut Baren. Sayangnya, pertahanan rakyat Aceh semakin lama semakin melemah karena terus mendapatkan tekanan dari Belanda.
Perjuangan rakyat Aceh berada di titik terendah ketika Cut Nyak Dien ditangkap pada tahun 1905 dan meninggal pada tahun 1910. Kematiannya menjadi tanda berakhirnya perjuangan Aceh dalam melawan Belanda.
Dampak Perang Aceh
Ketika Belanda mengalahkan suatu daerah, daerah tersebut tentu berada dalam kuasa mereka. Begitu pun dengan Aceh. Aceh mau tidak mau tunduk dan mengakui kedaulatan Belanda, serta menyerahkan seluruh wilayahnya.
Kerugian yang sangat besar juga dirasakan oleh Belanda. Mereka mengeluarkan sumber daya yang tidak sedikit selama untuk membiayai perang yang berlangsung selama kurang lebih 40 tahun.
Kemudian, banyaknya korban yang gugur tentu meninggalkan luka bagi kedua pihak yang terlibat. Dari sini, kita bisa belajar bahwa segala bentuk peperangan menghasilkan kerugian yang begitu besar, bahkan bagi pihak yang menang.
Tokoh-Tokoh Penting yang Terlibat dalam Perang Aceh
Sobat Zenius, di atas tadi pasti elo ngelihat banyak nama yang terlibat dalam perang Aceh. Nah, gue buatin daftar supaya bisa elo ingat dengan mudah dan bisa pelajari lebih dalam.
Berikut daftar tokoh Aceh yang berperan dalam perang ini:
- Panglima Polim,
- Sultan Mahmud Syah,
- Tuanku Muhammad Dawood,
- Teuku Umar,
- Teuku Cik Ditiro,
- Cut Nyak Dien, dan
- Pocut Baren
Sementara, ini tokoh Belanda yang berperan dalam Perang Aceh:
- J.H.R Kohler,
- Jan van Swieten, dan
- Snouck Hurgronje
Guys, itu tadi pembahasan gue tentang perang Aceh. Super seru, kan? Kalau Sobat Zenius mau mempelajari tentang materi ini lebih dalam, elo bisa tonton video pembelajaran Zenius dengan klik banner di bawah ini!
Sobat Zenius juga bisa belajar mata pelajaran lainnya melalui video pembelajaran lewat paket belajar Aktiva Sekolah dari Zenius. Segera aktifkan paketnya supaya elo bisa ikut try out sekolah, sesi live class, serta mendapatkan akses rekaman dari setiap live class.
Sampai ketemu di artikel lainnya!
Penulis: Atha Hira Dewisman
Referensi Pustaka:
Ibrahim, Alfian. (1987) Perang di Jalan Allah. Jakarta: Sinar Harapan
Veer, Paul Van’ T. (1985). Perang Aceh. Jakarta: Grafiti Press
Wahid, F. (2018). Kontribusi Cut Nyak Dien dalam Perang Aceh (1873-1908) (Bachelor’s thesis, Jakarta: Fakultas Adab & Humaniora UIN Syarif Hidayatullah).
Leave a Comment