Dalam beberapa minggu dan bulan terakhir, garam selalu menjadi trending topic di berbagai kalangan. Di kalangan emak-emak, garam menjadi perbincangan karena harganya naik. Di kalangan pengamat politik, kelangkaan garam menjadi isu menarik yang bisa diperdebatkan menjelang pilpres. Di kalangan netizen kekinian, garam sempat menjadi perbincangan karena viralnya Salt Bae, koki Turki yang pas naburin garam kayak tante-tante sosialita bawa tas Hermes seharga 2 miliyar.
Nah mumpung lagi rame pada ngomongin garam, dalam artikel kali ini aku akan coba bercerita tentang sejarah garam dari zaman dahulu hingga sekarang. Apa sejarah garam? Mungkin sekarang kamu semua pada mengernyitkan dahi sambil bergumam dalam hati:
“Apaan sih masa’ sejarah garam aja pake diceritakan segala. Yaampun ga penting banget deh! Ga ada topik lain apa hah?! Hah! Hah! Hah!” (ga segininya juga sih -_-)
Di zaman modern ini, garam emang gampang banget ditemukan dan harganya relatif murah. Bisa dibilang, setiap hari kita makan makanan yang mengandung garam. Mulai dari sayur asem bikinan emak kita, sampe cilok yang dijual mamang-mamang depan sekolah. Tapi percaya ga, satu-satunya batuan yang bisa kita makan itu ternyata mempunyai sejarah yang panjang dan menarik. Sejak zaman pra-sejarah hingga sekitar 100 tahunan yang lalu, garam merupakan salah satu komoditi paling dicari di dunia, digunakan sebagai mata uang, bernilai seperti emas, bahkan menjadi pemicu beberapa gerakan revolusi! Penasaran? Yuk kita mulai ceritanya!
Sekilas Tentang Garam
Kalo pas pelajaran Kimia kamu ga sering bolos ke kantin, atau bikin snapgram pas guru kimia lagi jelasin di depan kelas, pasti kamu udah tau unsur kimia penyusun garam. Unsur pertama adalah sodium atau dikenal juga sebagai natrium atau “Na”. Sodium saja sangat ga stabil sehingga akan terbakar jika bersentuhan dengan air! Komponen kedua adalah klorin, atau “Cl.” Bila kamu menambahkan klorin ke air, gas beracun ini berubah menjadi asam berbahaya, yang membunuh mungkin ratusan ribu dan melukai jutaan orang di Perang Dunia I.
Baca Juga: Biografi Fritz Haber, dari Pupuk ke Senjata Kimia
Tapi bila kamu menggabungkan klorin dengan sodium, kamu akan mendapatkan NaCl atau sodium chloride atau yang kita kenal sebagai garam yang biasa kita makan. Lho kok dari senjata kimia bisa jadi zat yang aman dikonsumsi? Itu bukan sulap, tapi Kimia. 🙂
Garam sangat penting bagi kesehatan kita. Jika kamu ga cukup makan garam, kamu mungkin bakal menderita sakit kepala atau kelemahan otot, bahkan meninggal dunia. Natrium membuat jantung kita terus berdetak, saraf kita bisa saling mengirim sinyal, dan sel kita bisa memberi makan diri mereka sendiri.
Sebagian garam dalam tubuh kita, kemudian dikeluarkan dari tubuh kita (ekskresi) dalam bentuk keringat, air seni, atau bahkan ingus. Itulah kenapa ingus atau upil kita rasanya asin… 😀
Garam pada Zaman Prasejarah
Pada era modern sekarang ini, kita sangat terbantu dengan teknologi pengawetan makanan yang ada. Misalnya kita belanja daging, ikan, dan buah-buahan kemudian disimpan di kulkas. Beberapa hari atau minggu ke depan, kita bisa tetap mengonsumsi makanan tersebut dengan kualitas yang nggak jauh berbeda dengan yang baru dibeli. Bagi para mahasiswa, mereka bisa nyetok satu kardus Indomie untuk bekal makan sebulan di kosan tanpa takut Indomienya basi (amit-amit).
Baca Juga: Apa sih Penyebab Makanan Basi?
Nah kalau orang dulu, sebelum ditemukannya kulkas atau teknologi pengawetan makanan modern, gimana cara mengawetkan makanannya? Apa iya mesti nyari makanan tiap hari?
Nah, sebelum ada kulkas atau teknologi pengawetan makanan modern, salah satu solusi ampuh untuk mengawetkan makanan adalah dengan garam. Selain digunakan sebagai perasa, garam juga sangat berguna sebagai pengawet makanan. Khususnya ketika peradaban manusia mulai berpindah dari hunter-gatherer ke agriculture. Karena banyak dibutuhkan untuk mengawetkan makanan dan jumlahnya sangat terbatas, garam menjadi komoditas ekonomi bernilai tinggi di masa lalu (inget prinsip ekonomi yak).
Peradaban Tiongkok Kuno dipercaya sebagai peradaban pertama yang bertani garam dengan merebus air laut. Saking pentingnya garam, biasanya negara bagian menempatkan kota yang dekat sumber garam sebagai ibu kotanya. Pemerintah Tiongkok Kuno melihat peluang bahwa garam bisa menjadi sumber pendapatan bagi mereka. Akhirnya dari pada memungut pajak secara langsung kepada rakyat, yang berpotensi mendapat perlawanan dan permusuhan, pemerintahan saat itu memilih memonopoli garam lalu mengenakan pajak yang tinggi. Dengan begitu, negara mampu meningkatkan pendapatan tambahan untuk mendanai peperangan bahkan pembangunan Tembok Besar Cina.
Di waktu yang ga jauh berbeda, peradaban Mesir kuno juga mulai memproduksi garam dengan cara menambang garam di padang pasir dan bertani garam dengan menguapkan air laut di Delta Sungai Nil. Mereka juga menjadi pionir atas banyak inovasi makanan yang melibatkan garam. Apabila makanan tertentu diasinkan, sebagian mikroba dalam makanan tersebut akan mati dan mengurangi kelembapan. Metode ini memungkinkan orang Mesir untuk mengawetkan ikan segar, daging dan sayuran, yang kemudian dapat disimpan selama berbulan-bulan. Karena manjur buat ngawetin daging, orang-orang Mesir kuno mencoba mengawetkan mayat dengan garam pula yang kemudian menjadi awal mula mumifikasi.
Ikan yang telah diawetkan penting juga sebagai perbekalan ketika berlayar oleh orang Eropa. Dimulai dari bangsa Viking yang dipercaya telah berhasil mencapai benua Amerika jauh sebelum Colombus. Selain membangun kapal yang bagus untuk pelayaran jarak jauh, bangsa Viking juga mengumpulkan sejumlah ikan asin besar sebagai bekal makanan selama berbulan-bulan di kapal. Bagi misi penjelajahan jarak jauh, garam menjadi bahan bawaan penting untuk mengawetkan persediaan makanan. Garam pun menjadi komoditi yang bernilai tinggi di Eropa. Beberapa kota penghasil garam di Inggris diberi akhiran “wich”, sebagai tanda kalo kota tersebut merupakan penghasil garam, seperti Northwich, Middlewich, Nantwich, Droitwich, Netherwich, dan Shirleywich. Kota-kota seperti Liverpool (Inggris), Munich (Jerman), Venice (Itali) menjadi berkembang dan maju saat itu karena produksi atau perannya dalam distribusi garam.
Garam digunakan sebagai mata uang
Kalo sekarang kita biasanya bertransaksi menggunakan uang kertas, koin atau uang digital, tapi pada zaman dulu, uang bisa jadi berupa komoditas yang dianggap memiliki nilai manfaat yang berlaku bagi semua orang (universal) di daerah geografis tertentu. Karena jumlahnya sangat terbatas dan permintaannya tinggi, garam sempat digunakan sebagai mata uang di beberapa daerah. Selain garam, beberapa barang lain yang pernah dijadikan uang misalnya biji cokelat sebagai alat tukar pada peradaban Aztec. Kemudian kulit kerang sebagai alat tukar pada berbagai tempat di Afrika, Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara pada 1.700 – 900 tahun sebelum Masehi, dll. Di “peradaban kos-kosan”, mungkin kita bisa mencoba menggunakan mie instan sebagai uang! 😛
Baca Juga: Penalaran Sejarah: Asal-usul Konsep Uang
Saking berharganya garam, orang-orang Afrika, di Sub Sahara terbiasa menukar emas dengan garam untuk berat yang sama! Jadi misalnya satu ons garam dituker ama satu ons emas! Gile ga tuh? Saat itu hal ini mungkin wajar karena produksi emas di Afrika emang sangat berlimpah sedangkan ketersediaan garam sangat langka.
Hingga abad ke dua puluh, batangan garam (yang disebut Amole) adalah mata uang yang dipakai di daerah Abyssinia, yang sekarang disebut sebagai Ethiopia. Garam ditambang dari danau Karum oleh suku Amole lalu dibentuk balok seperti bata. Batangan garam itu pun menyebar ke seluruh penjuru Ethiopia. Semakin jauh dari danau, batangan garam tersebut semakin berlipat-lipat nilainya bisa sampe 10-12 kalinya.
Di Kerajaan Romawi Kuno, para tentara yang bekerja buat kerajaan dibayar dengan solarium argentum yang sebagian terdiri dari garam juga. Kata solarium tersebut akhirnya menjadi asal usul kata salary. Ga kebayang kalo tentara jaman sekarang dibayar dengan garam. Selain itu, ketika perbudakan masih legal di sana, orang-orang Yunani dan Romawi Kuno biasanya juga membeli budak dengan garam.
Garam Sebagai Alat Politik dan Pemicu Gerakan Revolusi
Tingginya nilai garam ga jarang membuat garam dijadikan alat politik. Ketika para pemimpin membutuhkan dukungan publik, mereka menyubsidi harga garam. Supaya rakyatnya senang dan mendukung pemerintah. Sebaliknya, apabila pemerintah membutuhkan dana, mereka menaikkan pajak garam.
Seperti halnya di peradaban Tiongkok Kuno yang dipercaya mengenakan pajak garam pertama, di Perancis pun demikian. Ketika Perancis mengalami krisis keuangan pada abad 18, raja Louis XVI memberlakukan pajak yang tinggi ke komoditi garam (disebut gabelle). Masalahnya pajak garam tersebut ga diberlakukan secara adil. Bangsawan kena pajak rendah, rakyat biasa kena pajak tinggi.
Gaya hidup raja dan para bangsawan Perancis yang mewah membuat krisis keuangan di Perancis semakin menjadi-jadi. Rakyat biasa pun makin sengsara dan kelaparan. Singkat cerita, rakyat Perancis yang muak dengan kelakuan para bangsawan memutuskan melakukan pemberontakan kepada kaum bangsawan pada 14 Juli 1789 yang kini lebih dikenal dengan Revolusi Perancis.
(referensi lebih lanjut: Assassin’s Creed Unity Sejarah Revolusi Perancis)
Di India juga agak mirip ceritanya, dengan Undang-Undang Garam India tahun 1882, pemerintah kolonial Inggris, yang saat itu menjajah India, dapat membangun monopoli garam, yang otomatis mematikan ekonomi garam lokal. Akibatnya, garam dikenai pajak tinggi sehingga sebagian besar warga tidak mampu lagi membelinya.
Untuk memprotes peraturan tersebut, Mahatma Gandhi melakukan sebuah gerakan berjalan kaki sepanjang 240 mil ke pesisir laut Kota Dandi untuk melakukan aksi boikot. Jarak itu kira-kira sama dengan jalan kaki dari Jakarta ke Semarang! Gilanya lagi, aksi gerak jalan ini diikuti oleh puluhan ribu orang pendukungnya, kota demi kota dilaluinya, ribuan orang menyalaminya untuk memberikan dukungan. Sampai dia tiba di pesisir pantai, lalu memungut garam dari pasir (yang dianggap sebagai tindakan ilegal) sebagai bentuk protes terhadap pemungutan pajak garam.
Tindakan sederhana Gandhi itu memicu tindakan lain, ratusan ribu orang mulai memanen garam, dan mendistribusikan sebagai komoditas mandiri di luar pemerintah Inggris. Aksi boikot produksi garam itu membuat pabrik garam dan perdagangan Inggris kacau balau. Dalam tahun itu, Inggris memenjarakan lebih dari 100.000 orang India karena protes damai. Jutaan orang di seluruh dunia mulai mendesak Inggris untuk meninggalkan India dan memberikan kemerdekaan untuk India.
Baca Juga: Biografi Gandhi: Bapak Anti-Kekerasan yang Menginspirasi Dunia
Garam pada Zaman Modern
Di zaman modern ini, secara umum ada dua teknik mudah untuk mendapatkan garam:
- ekstraksi air laut lewat tenaga matahari
- mengeruk deposit batuan garam dari dalam bumi atau tambang.
Cara pertama yang saat ini kebanyakan digunakan di Indonesia. Hal yang dibutuhkan dari ekstraksi air laut ini ga cuma air laut dan ketersediaan lahan, namun dibutuhkan sinar matahari, angin, dan listrik. Jadi meskipun suatu negara mempunyai garis pantai yang panjang, ga serta merta produksi garam menjadi mudah dan murah.
Pada tahun 2014 lalu, produksi garam konsumsi nasional Indonesia tahun 2014 mencapai 2,19 juta ton. Jumlah tersebut ga mampu memenuhi kebutuhan garam nasional tahun 2014 yang mencapai 3,61 juta ton, sehingga kita mesti impor terutama untuk kebutuhan sektor industri.
Cara lain yaitu dengan mengeruk deposit garam dari dalam bumi atau tambang. Perkembangan ilmu kimia serta geologi yang signifikan sejak awal abad ke 19 membuat banyak deposit garam ditemukan di berbagai tempat di Bumi ini. Cara tambang ini memberikan keuntungan terutama karena proses produksinya lebih ringkas dari pada nguapin air laut. Tinggal keruk dan proses. Saat ini tambang garam paling gede di Goderich, Kanada mampu memproduksi 9 juta ton garam per tahun! Selain itu ada juga di Pakistan, tambang garam Khewra diperkirakan terdapat total 220 juta ton deposit garam!
Semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi membuat garam dengan cepat beralih dari komoditas yang sangat dicari ke makanan pokok yang murah dan mudah diakses. Kita sekarang udah relatif jarang menggunakan garam sebagai bahan pengawet makanan. Kita udah punya teknologi berupa kulkas, kemasan makanan ataupun pengawet buatan. Kecuali ya untuk mengawetkan telur asin dan ikan asin. 😛
Garam yang dulu pernah senilai emas kini cuma berharga sekitar Rp500 per kilo. Sangat ironis. “Kisah hidup” garam mengingatkanku pada sinetron religi di Trans 7, orang yang dicari-cari pas lagi kaya, tapi ketika dia jatuh miskin, orang-orang ga menghargainya lagi. 🙁
Garam menjadi salah satu saksi bisu sejak zaman pra sejarah hingga zaman modern bagaimana peradaban dunia ini terbentuk.
Hari ini… iya, garam ga jadi komoditas bernilai tinggi seperti dulu. Tapi tetep kita ga bisa hidup tanpa garam…
Terangkanlah… terangkanlah… nilai yang menyusut… seperti tanpa harga…
****
Referensi:
- Salt: A World History by Mark Kurlansky
- https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_salt
- http://time.com/3957460/a-brief-history-of-salt/
- http://www.bbc.co.uk/ahistoryoftheworld/objects/vDn91YroQr-CC4OpxxEtDw
—————————CATATAN EDITOR—————————
Jika ada di antara kamu yang ingin ngobrol atau diskusi dengan Kak Ari tentang serunya sejarah garam, jangan ragu untuk bertanya pada kolom komentar di bawah artikel ini yak.
Ga nyangka banget bang garam semahal itu jaman dulu. Btw ada perang karena garam ga ya ? Trus garem mulai murah sejak kapan ya ?
Iya ada perang karena garam. Misalnya San Elizario Salt War https://en.wikipedia.org/wiki/San_Elizario_Salt_War
Kalo murahnya sih berangsur-angsur khususnya karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi mulai abad ke 19
sorry oot bang, berapa total durasi saintek + TKPA dizenius bang?
1000 jam lebih atau kurang lebih 1000 jam, yg pasti ya bang jawabnya. soalnya mau ngatur jam belajar bang 🙂
Kamu bisa tahu ini kalo dengar zenius learning guide.. Atau coba konsultasi di Zenius.club.. Disana banyak alumni2 Zenius yg udh berpengalaman.
thanks 🙂
btw gua bukan pengguna xpedia, gua cuman pake voucher.
kalau kamu kelas 12 ya? atau alumni?
bisa sharing donk berapa jam sehari kamu belajar? 🙂
kalau mau sih lebih baik hitung sendiri 🙂
atau ya liat postingan zenius yang belajar berdasarkan tugas bukan berdasarkan waktu >> https://www.zenius.net/blog/jadwal-belajar-sbmptn
soalnya bakal banyak hal yang nggak bisa diprediksi saat proses belajar nanti…
ok, kawan thanks jawabannya 🙂
Iya, bner kata HdRizal, ane kmaren IPS 1 bab 45 menit *rata2.. Beda sama tman ane yg ngabisin waktu lebih lama. Bhkan berhari2.
Semangat ya :))
tergantung gimana belajarmu, kalo pake deliberate practice bisa lebih dari 1000 jam wkwk
Tapi kenapa sampe mahal gitu ya? Ada apa sih?
baru baca artikelnya bang Marcel, sekarang udh ada lagi yg baru. baca dulu ah kayanya seru
Eta terangkanlah!, terangkanlah! ?
Menarik banget, jadi makin tau deh 🙂
gue kira bakalan dilanjutin dengan “eta terangkanlah dung tak dung dung”?
terima kasih artikelnya yang mantep. btw bang, kenapa harga garam di indonesia lagi jadi bahan perbincangan ya? kemarin2 katanya petani garam kita sudah mulai bisa mandiri karena harga garam udah ‘cukup manusiawi’ dari Rp500-an sekarang jadi Rp1000-an rupiah, yang secara gak langsung turut andil dalam kenaikan harga garam. tapi masih aja ada yang protes harga garam naik. ada juga yang kasih saran biar impor garam tapi di sisi lain, mengimpor dalam jumlah banyak hanya akan mematikan petani garam. gimana tuh bang? mohon penjelasannya ya.
Harga naik karena jumlahnya langka, karena cuaca beberapa bulan terakhir ga mendukung. Karena langka, pemerintah impor.
Kalo ga impor, kebutuhan garam ga terpenuhi.
Masalahnya harga impor itu murah banget, kalo petani lokal nyamain dengan harga impor, untungnya dikit atau bisa rugi.
Mulai menteri Susi aturannya diganti, yang impor garam konsumsi cuma PT Garam aja. PT Garam ga boleh impor pas masa panen. Jadi dengan impor satu pintu, jumlah dan waktu impor bisa dikendalikan sehingga ga menyengsarakan petani.
Kalo sebelumnya impor garam konsumsi bisa kapan aja sehingga harga di petani lokal kalah bersaing.
Targetnya Susi swasembada, tapi ya tetep butuh waktu lama, terutama buat penyediaan lahan yang luas.
oh ok i see. tapi kenapa harga garam impor lebih murah dibanding garam lokal ya, bang? apa karena penghasil garam tempat kita impor itu udah pakai teknologi yang mengefisienkan harga produksi? atau ada pengaruh lain?
Tergantung dari bahan produksinya juga salah satunya itu sm teknologinya, kalo di Indonesia ini seharusnya bisa menghasilkan garam yang banyak dan murah bahkan ekspor, tapi dilihat dari merekaa mengolah bahan baku garam itu seperti apa (tergolong kurang lihai)… karena Indonesia ini kan berada di kawasan tropis jadi bahan bakunya harus benerbener diperhatikan jangan sampai seperti kemarau basah produsen garam nggk bisa memproduksi karena nggk memperhatiakn bahan bakunya itu… nah munngkin mereka yang ekspor ke Indonesia udah pro dalam hal segalanya ( penyiapan bahan baku, teknologi, politik, bisnis) hehehe jadi bisa lebih murah
Pendapatku seperti itu
kenapa manusia beli garam sampai dengan tingkat kebutuhan banget…
sedih. artikel di blog kalo diikutin ga habis-habis :’)