Katanya, populisme bisa dijadikan senjata jitu untuk mencapai suara terbanyak alias kemenangan di lingkungan demokrasi. Memangnya, populisme itu gimana sih?
Sobat Zenius, coba bayangkan, elo saat ini lagi mencalonkan diri menjadi presiden, di sebuah negara demokrasi, wow!
Tentunya, supaya elo bisa menang, elo harus mendapatkan banyak suara terbanyak. Pertanyaannya, gimana cara elo bisa dapat suara sebanyak-banyaknya dari rakyat?
Kalau elo merupakan seorang pemimpin karismatik anti korupsi yang mengedepankan kesejahteraan rakyat, kira-kira pasti dijamin elo menang nggak?
Sebelum elo berpikir jauh soal program dan kebijakan brilian apa saja yang bisa memajukan negara, elo harus pikir dulu, apa kebijakan dan janji-janji elo yang bisa menghantarkan elo ke kemenangan.
Maksudnya gimana tuh?
Kenyataannya, kalau elo ingin mendapatkan suara terbanyak, entah itu menjadi presiden atau bahkan mungkin menjadi ketua OSIS, elo harus membuat para pemilih memilih elo, kan. Apakah menjadi hebat dan terampil saja cukup?
Misalnya nih, kalau dalam skala lebih kecil, elo mencalonkan diri jadi ketua OSIS. Elo berprestasi dan terampil, punya kemampuan manajemen dan berorganisasi yang baik. Tjakep deh pokoknya buat jadi pemimpin.
Elo udah susun tuh berbagai acara sekolah yang keren banget, sama penambahan klub-klub buat ngembangin bakat-bakat siswa.
Di sisi lain, lawan elo, nggak terampil-terampil amat sih, bahkan kurang bisa memimpin sebenarnya.
Tapi, dia terkenal banget, punya teman banyak, hampir semua adik maupun kakak kelas semuanya kenal dia. Terus, kebijakan-kebijakan dia seru-seru banget, bukan yang terbaik buat sekolah sih, tapi pasti murid-murid pasti suka.
Akhirnya, pas hari pengumuman tiba, ternyata lawan elo yang menang. Orang-orang memilih dia utamanya karena … ya, dia kawannya mereka, kan?
Selain itu, kebijakan dan program kerja lawan elo, memang nggak mengembangkan bakat siswa dan lebih ke acara seru, tapi menarik banget, jadi sebagian besar siswa memilih dia.
Wah, elo jangan kecewa ya. Inilah kenapa, Socrates pun nggak suka sama demokrasi. Bahayanya, calon yang mau dipilih itu bisa memanfaatkan populisme.
Nah, sekarang elo mungkin mulai bertanya-tanya, jadi apa yang dimaksud dengan populisme?
Sebelum kita bahas lebih lanjut, elo wajib banget nonton video dari Zenius Education yang membahas populisme di bawah ini.
Pastikan elo sudah log in akun Zenius supaya bisa akses videonya. Kalau elo menggunakan PC, refresh halaman elo setelah buka link videonya ya. Selamat menonton!
VIDEO: POPULISME
Gimana, Sobat Zenius? Sudah mulai tercerahkan soal apa sebenarnya populisme dan penggunaannya di dunia politik demokrasi?
Yuk, kita bahas lebih lanjut.
Apa Itu Populisme
Mendefinisikan populisme itu kadang bisa jadi agak rancu, Sobat Zenius.
Kalau kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), populisme adalah “paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil”.
Melihat definisi tersebut, populisme adalah sebuah paham yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, terutama rakyat kecil, ya? Namun, berdasarkan ilmu politik, makna populisme nggak hanya itu saja.
Dilansir dari BBC, ada dua kelompok besar di dalam masyarakat yaitu kelompok the pure people dan the corrupt elite, menurut Cass Mudde, selaku penulis Populism: A Very Short Introduction.
Jadi guys, berhubung populisme ini mendukung “rakyat kecil” atau “keinginan rakyat”, rakyat miskin atau yang suaranya nggak didengar, itu disebut pure people.
Contohnya, biasanya di suatu negara itu, orang miskinnya jauh lebih banyak dibanding orang kaya, dan mereka butuh bantuan. Masyarakat miskin ini yang dipandang sebagai pure people yang perlu mendapatkan perhatian.
Nah, kalau kita mengacu pada paham populisme, berarti kita akan mengutamakan kesejahteraan masyarakat miskin, kan? Itu hal yang baik, kan?
Masalahnya, di dunia politik terutama pada zaman modern, populisme ini kerap digunakan sebagai metode untuk menarik suara dukungan masyarakat yang merasa nggak didengar pemerintah, baik di negara demokrasi maupun otoriter.
Bagaikan udang di balik bakwan, bisa jadi seorang calon pemimpin, yang membutuhkan dukungan rakyatnya, memfokuskan kebijakan untuk menarik suara rakyat dari kalangan tertentu, terutama yang jumlah populasinya banyak.
Perlu diketahui juga, bahwa ini nggak melulu soal finansial saja, bukan tentang masyarakat kaya dan miskin saja.
Bisa saja berkaitan dengan kepercayaan, ras, agama, golongan, atau bahkan, kelompok lainnya.
Kalau Sobat Zenius suka main game, ada nih game yang seru buat memahami banyaknya aspek yang mempengaruhi dukungan rakyat.
Judulnya, Democracy 4.
Inti dari game tersebut adalah, mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang tepat untuk masyarakat, agar mereka tetap mendukung kepemimpinan elo sebagai presiden.
Spoiler alert, waktu pertama kali gue main game tersebut, gue sebagai presiden USA dibunuh sebelum masa kepemimpinan selesai. Hahaha …
Padahal, gue merasa bahwa selalu berusaha membuat keputusan terbaik bagi kesejahteraan rakyat dan dunia secara umum.
Usut punya usut, gue nggak cukup perhatian sama jumlah rakyat yang mendukung kepercayaan, golongan, atau kelompok tertentu. Jadinya, gue nggak berhasil mengambil hati rakyat.
Soalnya, di setiap kebijakan, pasti ada yang senang, dan ada yang nggak terima. Bahkan nih, Sobat Zenius, subsidi yang selama ini selalu terasa seperti angin segar buat kita, belum tentu menjadi hal yang bagus, lho.
Oke, jadi itulah pembahasan singkat mengenai apa itu populisme. Seperti yang dikatakan di awal, agak rancu memang.
Setiap pemimpin pasti ya harus “peduli” kan, sama rakyatnya? Apakah itu berarti semua pemimpin itu populis?
Kalau melihat penggunaan kata populis di dunia politik modern, istilah “populisme” memang terkesan negatif.
Kesannya ya seperti seseorang yang kesannya mengedepankan kepentingan rakyat, padahal sebenarnya untuk kepentingan pribadi, alias supaya didukung.
Supaya pembahasan soal populisme ini lebih jelas lagi, kita langsung bahas contoh tokoh-tokoh populis di dunia saja, yuk.
Contoh Tokoh Politik Populisme
Sebenarnya, tokoh-tokoh politik yang dikaitkan sebagai tokoh populis dari zaman dulu sampai sekarang itu banyak banget, dan ada di mana-mana.
Yah, kalau kita ngobrol secara realistis ya, kalau seseorang ingin bisa jadi pemimpin suatu negara atau wilayah, tentu mereka harus mendapatkan dukungan seenggaknya dari sebagian besar masyarakat, kan.
Beberapa contoh politik populisme yang sering diangkat media, seperti yang disebutkan di video awal tadi, banyak berasal dari Eropa dan Amerika.
Salah satu contoh terkenal, ada Hugo Chavez, salah satu mantan presiden Venezuela, yang terkenal dengan kebijakan populisnya.
Kisahnya menarik banget. Chavez, yang saat itu memimpin sebagai kepala negara Venezuela, membuat kebijakan populis berupa subsidi besar-besaran untuk memangkas tingkat kemiskinan di kalangan rakyatnya.
Waktu itu, Venezuela seperti sedang berada di atas angin. Minyak bumi sebagai komoditas utama negara, membuat Chavez berani mengalokasikan dana yang besar untuk membiayai hidup rakyatnya.
Jangankan subsidi bensin doang, biaya kesehatan, makanan, gaji, dan kehidupan lainnya pun disubsidi oleh pemerintah. Berasa tinggal di surga ya.
Wah, Chavez benar-benar dipandang sebagai pahlawan saat itu. Pemimpin yang benar-benar peduli dan cinta rakyat, terutama rakyat kecil.
Sayangnya, kesuksesan ini nggak bertahan lama. Chavez terlalu sibuk menjadi pahlawan, dan nggak memikirkan matang-matang kebijakan ekonomi tersebut. Hayoo … kira-kira apa yang kemudian terjadi setelah kebijakan tersebut?
Daripada penasaran, baca saja jawabannya dari artikel Kak Marcel yang seru banget di bawah ini.
BACA JUGA: Bagaimana Kebijakan Subsidi Bisa Menghancurkan Negara?
Selain Chavez, ada tokoh populis yang kekinian yang juga sudah langganan banget muncul di media. Siapakah dia?
BACA JUGA: Penalaran Sejarah: Kenapa Manusia Memilih Berdemokrasi?
Yap, siapa lagi kalau bukan Om Donald Trump yang terkenal dengan jargon Make America Great Again!. Sosok Trump sangat kontroversial.
Semasa kampanye, Trump terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya kepada warga non kulit putih serta para imigran.
Ketika masa-masa kampanye dan debat, banyak artis dan public figure yang nggak mendukung Trump yang kontroversial dan berbau rasis terhadap warga non-kulit putih.
Namun, kenyataannya, Trump tetap berhasil memenangkan pemilu. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi tersebut.
Menurut berbagai media, Trump menjanjikan penurunan pajak penghasilan sehingga rakyat konservatif dengan penghasilan kurang, mendukung Trump.
Selain itu, perlu diingat, bahwa bagaimanapun juga, sebagian besar masyarakat di Amerika Serikat merupakan orang kulit putih, yang di antaranya sebenarnya juga nggak menyukai orang non kulit putih serta para imigran.
Penutup
Menurut elo, kalau di Indonesia, terjadi politik populisme nggak, sih? Jawab di kolom komentar ya.
Sebenarnya, sudah ada lho pendapat-pendapat dari pengamat politik, studi tentang populisme di Indonesia dan berita soal populisme yang terjadi di Indonesia.
Oh ya, kalau elo ada pertanyaan seputar topik kita kali ini, atau mungkin ide untuk artikel selanjutnya, jangan ragu buat komen di kolom komentar, oke? Sampai sini dulu artikel kali ini dan sampai jumpa di artikel selanjutnya, ciao!
Leave a Comment