Gimana caranya supaya bisa menghasilkan inovasi atau sesuatu yang inovatif dan membawa perubahan nyata untuk masyarakat? Semua dimulai dengan pola pikir yang oke!
Setitik demi setitik, hujan membasahi kaca pada jendela kantor Zenius. Apa yang mengakibatkan hujan jatuh dari langit menuju tanah? Jatuh dengan bentuk menyerupai daun, menyerupai tanda koma. Melingkar pada bagian bawah dengan bagian atas yang meruncing. Apa yang menyebabkannya berupa demikian? Setiap butir air hujan, walaupun kecil, mereka memiliki massa. Dan setiap benda yang memiliki massa harus bergerak menuju pusat massa yang jauh lebih besar dibanding dirinya. Apa artinya setetes air bila dibandingkan dengan Bumi.
“Aku ini hanyalah tetesan air bagimu, dan kamu adalah Dunia bagiku. Cinta adalah gravitasi yang menarik aku padamu dan kamu padaku. Tapi apa dayaku, kamu memandang dia sebagai matahari yang senantiasa menyinari harimu. Di saat aku, tetesan air, yang memberikanmu kehidupan.”
Tenang-tenang, guys. Jangan kaget, ini bukan diary pribadi gue kok, ini masih Zenius Blog. Hehe.
Anyway.. pernah nggak sih lo lagi bengong terus tiba-tiba kepikiran dan mempertanyakan hal di sekitar lo? Ya kurang lebih kayak lamunan gue terhadap tetesan hujan di atas. Lo bertanya-tanya kenapa suatu hal terjadi? Dari mana asalnya? Kenapa bisa begitu? Kenapa bisa begini? Sampe akhirnya lo menghentikan sendiri lamunan itu, “Ah, mikirin apa sih gue?!” Dan menganggap semua renungan tadi sebagai angin lalu.
Padahal kalo ditelusuri, lamunan itu bisa membawa lo ke jawaban yang seru lho. Kenapa yah tetesan air hujan tuh bentuknya kayak koma? Oh, karena air hujan punya massa. Udah gitu kenapa yah air hujan tuh jatoh ke Bumi? Oh, karena gravitasi menarik benda yang punya massa. Karena inilah air yang jatoh ke Bumi bisa jadi air tanah yang ngasih kita kehidupan. Coba liat, cuma dari melamunkan air hujan aja, kita jadi bisa review beberapa konsep dasar di Fisika! Hahaha.
Kalo lamunan sederhana aja bisa membawa kita ke eksplorasi sebuah cabang ilmu, bayangin kalo kita melamunkan hal-hal yang lebih filosofis atau isu penting di sekitar kita. Gue yakin semua orang sering melakukan hal ini, cuma keseringan dianggap angin lalu aja. Entah itu kenapa kita hidup (ciyee existensial crisis), kenapa gebetan ga bales2 chat, kenapa buang sampah sembarangan masih jadi budaya di Indonesia, kenapa susah mengurai kemacetan di Jakarta, kenapa tingkat korupsi di Indonesia tinggi, dan lain-lain. Kalo ditilik-tilik, lamunan ini akan mengantarkan kita ekplorasi berbagai cabang ilmu yang tak terbayangkan sebelumnya.
Sekarang bayangin gimana jadinya kalo ada sekelompok orang di dunia ini yang benar-benar serius mendedikasikan hidup untuk menjawab pertanyaan dan lamunan tersebut. In fact, itulah yang dilakukan oleh para pemikir, ilmuwan, inovator, dan pebisnis besar yang pernah ada. Mereka mengulik suatu hal sampe ke akarnya dan mencoba membangun solusi dari pertanyaan yang ada.
Lamunan terhadap kenapa burung bisa terbang, melahirkan penemuan pesawat. Rasa ingin tahu manusia atas apa yang ada di luar angkasa sana, melahirkan penemuan roket. Imajinasi Einstein tentang konsep ruang dan waktu, melahirkan Teori Relativitas. Renungan terhadap masalah orang tua yang tidak bisa punya anak, melahirkan inovasi bayi tabung. Rasa gemas terhadap masalah kemacetan di Jakarta, melahirkan Gojek. Renungan terhadap masalah pendidikan Indonesia, melahirkan Zenius Education ?
Nah, proses berpikir seperti ini disebut dengan FIRST PRINCIPLE.
Sejarah First Principle
First Principle pertama kali dicetuskan Mbah Aris, panggilan akrab Aristotefles. Aristoteles selalu nyari prinsip utama atau asal dari segala sesuatu. Seperti pada pembukaan buku Physics, dari Aristoteles:
“In every systematic inquiry (methodos) where there are first principles, or causes, or elements, knowledge and science result from acquiring knowledge of these; for we think we know something just in case we acquire knowledge of the primary causes, the primary first principles, all the way to the elements.” (Phys. 184a10–21)
Jadi, proses berpikir ‘First Principle’ ngajak elo buat ngulik suatu hal sampai ke pada dasar yang dasar banget yang nggak bisa lagi dipecahin. Tapi Aristoteles di sini masih “sekedar” mengajukan pola pikir yang bernama First Principle. Dia ga terlalu menjabarkan contoh penerapannya.
Setelah masa Aristoteles lewat, ‘First Principle’ lekat banget sama karya Euclid, yaitu ‘Euclid’s Elements’. Euclid lah yang pertama kali menunjukkan bagaimana First Principle diterapkan, khususnya dalam konteks Matematka. Euclid yang terkenal sebagai Bapak Geometri menjabarkan prinsip-prinsip dasar dari berbagai persamaan geometri. Gimana cara Euclid melakukannya? Euclid memulai semua penjabaran persamaan geometri menggunakan tiga alat yang mendasar banget: Definitions (horoi), Postulates (aitemata) dan Common Notions (koinai ennoiai). Kayaknya bakal kepanjangan kalo gue bahas di sini. Untungnya, Wisnu udah banyak cerita tentang Euclid dan karyanya di sini:
Euclid: Bapak Geometri yang Terlupakan
Apa sih Manfaat Berpikir dalam First Principle?
Oke, dari ilustrasi gue di awal, mungkin lo dapat sedikit gambaran gimana pola pikir First Principle bisa membantu kita menemukan akar suatu masalah dan melahirkan solusi yang membantu banyak orang. Ambis banget yak!
Tapi sebenernya ada manfaat lain kok dari penerapan pola pikir First Principle yang lebih praktis dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
1. Mengatasi Ketakutan yang Irasional atau Fobia
Contohnya elo waktu kecil biasanya takut sama apa yah? Hmm. Takut gelap, misalkan. Ga tau kenapa, pokoknya lo takut gelap aja tanpa alasan yang jelas. Tapi setelah elo menerapkan First Principle, elo sadar kalo yang namanya gelap itu yah karena nggak ada foton aja. Sehingga bisa disimpulkan bahwa takut akan gelap adalah ketakutan yang irasional dan nggak sepatutnya lo takut akan gelap.
Contoh lain, cerita dari Wisnu nih. Si Wisnu itu rada males minum dari gelas yang baru kelar dicuci dan dan belum kering. Pokoknya kalo ada gelas habis dicuci dan masih ada setetes dua tetes air bekas bilasan cucian di gelas tersebut, dia ngeliat gelas itu masih kotor. Tapi terus, Wisnu mencoba menerapkan pola pikir First Principle. Kenapa coba dia “takut” sama gelas habis dicuci? Hoo karena itu emang insting biologisnya untuk melindungi diri. Emang melindungi diri dari apa? Ya dari penyakit yang mungkin dibawa dari bakteri di gelas itu. Tapi kalo dipikir-pikir lagi, jumlah bakteri yang ada di gelas bekas cucian jumlahnya ga akan terlalu signifikan untuk membuat dia sakit. Setelah dirunut-runut begitu, Wisnu sekarang lebih santai minum dari gelas bekas cucian.
2. Membongkar Tradisi yang Sudah Tidak Relevan
Kedua, dengan First Principle elo juga bakal mampu menelusuri tradisi yang udah turun-temurun lo lakuin.
Misalkan, dulu gue kecil sering dibilang jangan gunting kuku malem-malem, pamali! Dengan First Principle, gue mencari asal mulanya. Oooh, kalo elo gunting kuku itu kan elo butuh pencahayaan yang baik yah supaya gampang guntingnya dan nggak melukai hati, eh jari. Jaman dulu, leluhur gue kalo malem kan cuma pake lampu minyak yang nggak terang-terang amat yak. Yah pantes aja di keluarga gue sering dibilang pamali gunting kuku malem-malem, biar ga melukai diri sendiri. Ternyata begitu asal mulanya.
Contoh lainnya adalah tradisi adu banteng. Tradisi ini sudah begitu mandarah daging di Spanyol. Walaupun sudah menjadi ikon negara, tradisi adu banteng ini malah sedang turun-turunnya sekarang. Sudah semakin sedikit warga Spanyol yang mau menonton olahraga berdarah ini. Tradisi ini malah sudah dilarang di beberapa provinsi di Spanyol. Tradisi adu banteng lahir sebagai bentuk hiburan untuk orang-orang jaman baheula yang belum punya banyak teknologi. Sumber hiburan terbatas. Jadilah mengadu manusia dengan binatang pun menjadi tontonan yang menarik. Tetapi seiring berkembangnya zaman, manusia dikelilingi dengan sumber hiburan yang begitu banyak. Semakin ke sini, makin banyak warga Spanyol yang melihat adu banteng sebagai bentuk kekejaman terhadap hewan dan sudah layaknya ditinggalkan.
Seringnya, kita tuh cuma asal ikut tradisi tanpa mengerti makna di balik tradisi itu. Kalo ditanya kenapa kita ngikut? “Yaudahlah, emang dari sononya begitu.” Saking mengakarnya suatu tradisi, mempertanyakannya pun kadang menjadi hal yang tabu. Ga banyak yang ngerti why we’re doing it in the first place sampe-sampe satu generasi bisa “lupa” kenapa tradisi itu ada.
Dengan berpikir First Principle, kita jadi tau asal mula sebuah tradisi. Kita sendiri bisa menilai apakah tradisi itu masih lebih baik dipertahankan atau sudah ketinggalan jaman. Ketika kita menilai sebuah tradisi memang bermanfaat, kita jadi bisa lebih menghargai tradisi itu dan ga asal ikutan. Ketika kita menilai sebuah tradisi udah ga relevan lagi, kita bisa mengambil keputusan untuk meninggalkannya dan beralih dengan sesuatu yang lebih bermakna.
Nih ada video yang mengilustrasikan proses gimana sebuah tradisi mengakar di suatu kelompok:
Nah, sekarang gue tanya sama lo. Ada ga tradisi yang menurut udah ga relevan lagi dan seharusnya ditinggalkan? Atau ada ga tradisi yang menurut lo masih bermanfaat dan harus terus dipertahankan? Terserah mau tradisi apa aja, ga harus di Indonesia, di luar negeri juga boleh. Tapi dasar pertimbangan tradisinya masih relevan atau enggak, bukan karena selera pribadi lo yee. Lo harus kasih reasoning berdasarkan sejarah awal mula tradisi itu. Tulis jawaban lo di section komen di bawah ya.
Musuh dari First Principle
Sayangnya, ga semua orang mau dan bisa berpikir First Principle. Kenapa?
Walaupun metode berpikir First Principle menawarkan benefit yang worth it, emang harus diakui, untuk berpikir dalam First Principle, elo butuh ngebangun knowledge library dalem otak lo. Berpikir secara First Principle juga bakal nyerep energi lo, pake banget. Dan tentunya, prosesnya ga instan. Karena dalam First Principle, elo harus ngorek semuanya sampai kepada esensinya.
Karena menggunakan First Principle menguras energi, banyak orang akhirnya berpikir dengan pola pikir “seadanya” yang jadi musuh First Principle. Apa aja?
1. Pola Pikir Analogi
Salah satu cara paling mudah menjelaskan sesuatu adalah dengan menggunakan analogi. Elo tinggal nyari apa yang mirip dan membangun reasoning dari sana. Dengan analogi, kita relatif lebih gampang nangkep maksudnya karena biasanya mengambil hal yang sering kita temuin atau lakuin.
Misal, ada temen lo yang ga tau apa itu Studio Ghibli. Supaya gampang jelasinnya, lo bilang ke dia, “Studio Ghibli itu kayak Disney, tapi dari Jepang.” Sebagai fans sejati Studio Ghibli, mungkin lo bisa sampe berbusa-busa jelasin Studio Ghibli itu apa. Tapi dengan satu kalimat analogi singkat, temen lo jadi cepat ngeh, “Hoo berarti Studio Ghibli itu bikin film animasi kayak Disney, tapi ini dari Jepang.”
Tapi analogi begini ternyata menjebak. Emangnya tipikal jalan cerita di film-film Disney dan Studio Ghibli itu sama? Emangnya cara produksi kedua studio film ini sama? Emangnya karakter gambar dan animasi Disney dan Studio Ghibli sama?
Penggunaan analogi ini memang sangat membantu dalam proses belajar-mengajar. Secara lebih mudah untuk memahami konsep yang dekat dengan kehidupan kita ketimbang memahami konsep yang nggak pernah kita dengar sebelumnya. Tapi jangan lupa bahwa ada batasan yang perlu diperhatikan di dalam penggunaan analogi. Analogi tidak jarang membuyarkan pandangan kita dari konsep dasar atau esensi yang seharusnya kita perhatikan. Kalau kita tidak berhati-hati, penggunaan metode berpikir ini bisa menjadi senjata makan tuan.
Contoh penggunaan analogi yang berbahaya adalah pada penjelasan refraksi. Analogi tentara berbaris melalui jalan aspal dan berbelok melalui jalan lumpur sehingga mengalami pelambatan. Ini adalah analogi yang berbahaya. Karena tentara yang berbaris tidak mengalami pelambatan berarti ketika menginjak tanah berlumpur. Lagipula ini belum bisa menjelaskan refraksi atau pembelokan cahaya. Sehingga analogi ini tidaklah relevan.
Analogi lain yang lebih aman namun belum menyentuh konsep dasarnya adalah gelombang air dan gelombang cahaya. Ketika melihat analogi ini, elo harus memperhatikan bahwa gelombang air membutuhkan medium, sedangkan gelombang cahaya tidak butuh medium. Selain itu, gelombang air tidak memiliki sesuatu yang menyerupai foton. Elo harus ingat batasan kemiripannya supaya konsep dasar lo nggak buyar.
2. Pola Pikir Utilitarianism
Musuh lain dari berpikir dengan First Principle adalah berpikir dengan utilitarianism atau membangun argumen hanya dengan melihat efek akhir yang ditunjukkan.
Di akhir Perang Dunia II, Jenderal Curtis LeMay dari Amerika Serikat memerintahkan untuk melakukan pengeboman ke kota Tokyo yang berujung pada kematian 100.000 jiwa warga sipil. Keputusannya melakukan pengeboman adalah untuk mengakhiri perang secepat mungkin. Dengan aksi pengeboman itu, Jepang menjadi tidak berkutik. Menurut LeMay, tujuan utamanya untuk mengakhiri perang secepat akhirnya tercapai, walaupun harus menelan korban warga sipil.
Contoh lain adalah statement berikut:
“Dengan menggunakan mobil listrik, maka kita telah mendukung penggunaan energi bersih.”
Coba kita analisa pernyataan ini dengan dua sudut pandang yang berbeda.
Dari sudut pandang utilitarianisme: Dengan menggunakan mobil listrik maka kita akan mengurangi penggunaan energi fosil dari minyak bumi. Mengurangi penggunaan tersebut maka perlahan kita akan mampu mengurangi eksploitasi energi fosil.
Di sudut pandang First Principle: Benarkah menggunakan mobil listrik dapat mengurangi penggunaan energi fosil? Dari mana mobil listrik memperoleh energi listrik? Dari PLN atau dari sumber listrik lain, seperti sel surya? Lantas PLN memperoleh energi listrik tersebut darimana? PLTU menciptakan uap yang memutar turbin tersebut dengan membakar apa? Batu bara kan? Ya ujung-ujungnya energi fosil lagi.
Nah sekarang elo perhatiin, ketika lo berpikir dengan metode lain selain First Principle, elo belum tentu sampai pada akar permasalahannya. Malahan elo punya potensi ‘debat kusir’ dengan orang lain. Di sisi lain ketika elo bisa ngupas suatu permasalahan dengan First Principle elo bisa nemu akar masalahnya. Dan dari akar permasalahannya itu lah elo bisa ngebangun argumentasi lo sampai turun ke hal teknis.
Penggunaan First Principle dalam Sains dan Teknologi
Untuk memberikan contoh penerapan First Principle dalam Sains dan Teknologi, gue rasa Elon Musk adalah contoh yang sempurna. Pada 10-15 tahun yang lalu, mungkin Steve Jobs adalah simbol kesuksesan bagi para entrepreneur, khususnya di bidang teknologi. Nah, dalam beberapa tahun terakhir, Elon Musk telah menjelma menjadi sosok panutan di dunia bisnis dan teknologi.
Emang apa hebatnya sih doi?
Sepak terjang awal Elon Musk yang cukup terkenal adalah dengan mendirikan PayPal. Dia rada gemas kalo setiap kali belanja online, harus memasukkan data kartu kredit pribadinya. Ini rentan banget buat jadi korban kejahatan cyber. Dengan sistem Paypal, para pembelanja online tidak harus langsung memberikan data kartu kredit pribadinya jadi lebih terlindungi. PayPal sukses dan terjual ke eBay.
Ketika ada orang kaya yang menggunakan uangnya untuk berfoya-foya, Elon Musk malah menggunakan uang kesuksesannya dari PayPal untuk mewujudkan impiannya dari dulu. Sejak remaja, Elon Musk sudah sangat terobsesi dengan mobil listrik. Ia berambisi bahwa mobil listrik bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil. Dia pun mendirikan Tesla Inc. Selain itu, Elon Musk juga sangat ambis untuk menjadikan manusia sebagai spesies antarplanet. Maksudnya, kalo bisa manusia itu jangan tinggal di bumi aja. Manusia harus bisa hidup di planet lain karena suatu hari bisa aja bumi hancur, entah karena bumi udah terlalu sesak, kena hantaman asteroid, global warming, perang, dan bencana-bencana lainnya. Dia pun mendirikan Space-X yang fokus membangun roket untuk perjalanan ke luar angkasa dan kolonisasi Mars.
Gokil dan ambisius banget ga tuh idenya?! Saking nyentriknya bilyuner jenius ini dapet julukan “The Real Life Iron Man”.
Sebelum mendirikan SpaceX, Elon Musk berniat meniru roket-roket bekas dari Rusia. Tapi sewaktu dia pergi ke Rusia untuk bernegosiasi, ampas, mahal banget harga yang ditawarin dari sana. Yang punya roket itu nggak banyak, jadinya harganya mahal banget. Trus, sejak berakhirnya Perang Dingin, dalam 25 tahun belakangan ini, belum ada terobosan yang berarti dalam perjalanan ke luar angkasa. Akhirnya Elon Musk berpikir bagaimana caranya dia dapat membuat perjalanan ke luar angkasa menjadi jauh lebih murah. Sampai Elon Musk memutuskan untuk berpikir dengan First Principle.
Apa sih yang dibutuhin untuk terbang ke luar angkasa? Roket. Oke. Untuk ngebuat roket, material seperti apa yang kita butuhkan? Tepung roti bro. Itu kroket choi. Ini Roket. Dia coba list komponen2 paliing dasar aja dari roket. Selain itu apa yang ngebuat perjalanan ke luar angkasa mahal super? Oh. Karena roketnya udah mahal, cuma sekali pake lagi kayak kolor kertas. Sekali meluncur ke luar angkasa, udah jadi sampah luar angkasa aja gitu. Berarti roketnya perlu dibuat dengan bahan yang lebih murah. Trus roketnya harus bisa kembali lagi ke bumi, jadi bisa dipake berulang kali bro. Hasilnya? Hingga 2017, Space-X menjadi pencatat sejarah sebagai yang pertama dan telah berhasil beberapa kali meluncurkan roket ke luar angkasa dan mendaratkannya kembali ke bumi.
Sekarang loncat ke cerita Elon bikin Tesla Inc. Saat itu, banyak banget yang skeptis sama mobil listrik.
“Ah lo buang-buang waktu sama mobil listrik. Bikin batere buat mobil listrik tuh mahal. Biayanya bisa sampe 600 USD/kilowatt-hour. Nggak bakalan turun juga harganya dalam beberapa tahun ke depan. Itu baru harga batere doang, belum lagi sparepart lainnya, belum body-nya. Mau lo jual dengan harga berapa tuh mobil listrik? Ujung-ujungnya cuma jadi mainan orang kaya!”
Elon ngupas ini semua komponen mobil listrik sampe paling mendasar. Ternyata battery pack ini bisa dibuat dengan biaya cuma USD 80/kilowatt-hour. Berarti proses pembuatannya yang perlu diotak-atik supaya harga battery pack nya bisa lebih murah.
Dan sekarang, Tesla udah berhasil membuat mobil listrik jadi mainstream dan bahkan jadi tren terbaru di dunia teknologi dan lingkungan. Di pasar Amerika Serikat dan Eropa, mobil listrik Tesla udah jadi alternatif pilihan buat kalangan ekonomi menengah. Banyak yang rela ngantri panjang semalaman (sampe bawa tenda tidur) buat beli mobil listrik Tesla. Selebriti2 dunia pun berbangga diri mengendarai mobil listrik Tesla. Ga sekadar merevolusi bahan bakar, mobil Tesla juga merevolusi fitur2 lain yang biasa ada di sebuah mobil. Coba deh tontonin presentasi mobil Tesla Model 3 berikut ini sampe habis.
“Eh Steve, bukannya mobil listrik itu ga menyelesaikan masalah ya? Kan lo bilang kalo buat pengecasan mobil listrik masih mengandalkan bahan bakar fosil?”
Nah, inilah hebatnya Elon Musk. Produksi mobil listrik diiringi dengan infrastruktur yang mendukung. Batere yang dipakai di mobil listrik Tesla dibuat di GigaFactory, yaitu pabrik batre yang sumber listriknya berasal dari energi matahari. Trus ngecasnya gimana? Elon Musk juga mendirikan SolarCity, perusahaan yang memasang panel surya dalam bentuk atap rumah. Dengan begitu, listrik rumah berasal dari energi matahari, bukan dari PLTU batu bara. Ia berharap, pemilik mobil Tesla juga memasang panel surya di rumahnya. Jadi baterenya menggunakan energi matahari, ngecas baterenya juga pake energi matahari. Jadi mobil listrik bisa running benar-benar menggunakan energi bersih yang terbarukan.
Menerapkan First Principle ke Proses Belajar
Oke, mungkin sekarang lo merasa diri lo cuma butiran debu dibandingkan Elon Musk atau orang besar lain yang telah berhasil melakukan perubahan ke dunia. Aku mah apa atuh..
Tapi, kalo lo bisa tekun menerapkan First Principle ke proses belajar sedari dini, gue yakin kelak lo akan berkembang menjadi pribadi yang berwawasan luas, bisa melihat banyak fenomena dari gambaran besarnya, dan siap membawa perubahan.
“The First Principle is that you must not fool yourself. And you are the easiest person to fool” – Fenyman
Mungkin elo nggak terlalu familiar sama nama Richard Feynman. Tapi kalo elo udah ngeliat video-video beliau di Youtube, gue jamin elo bakalan suka. Of course dia bukan Youtuber. Dia adalah salah satu fisikawan paling penting, kayak Stephen Hawking.
Feynman sering dikenal sebagai The Great Explainer dan The Great Teacher karena keahliannya dalam menyederhanakan ilmu pengetahuan. Karya beliau yang paling terkenal adalah diagram Feynman. Doi menyederhanakan persamaan matematika yang bekerja pada sub partikel dengan menggunakan diagram. Padahal interaksi sub-partikel ini persamaan matematikanya cukup kompleks.
Nah dalam mempelajari suatu hal yang baru, Feynman punya metode sendiri yang sering disebut sebagai The Feynman Method. Metode ini turun dari First Principle loh.
Langkah #1: Tulis konsep dan definisi yang mau elo pelajarin
Ya tulisin definisi dulu lah ya biar lo nggak keder lagi belajar apa. Nah biasanya dalam satu bahasan, misalkan Kinematika Gerak, lo bakalan nulis beberapa definisi dan konsep sih. Tapi untuk materi-materi yang merupakan turunan dari konsep yang lain, jangan lupa buat nulisin konsep dasarnya apa. Ini bakal ngebantu banget buat lo berpikir dalam First Principle. Keuntungan lainnya, lo jadi paham keterkaitan antara satu materi dengan materi yang lainnya. Yang pasti, lo nggak akan belajar dengan menghapal, tapi pakai konsep!
Praktik dari Feynman Method bisa lo cek di video ini:
Langkah #2: Coba jelasin konsepnya dengan bahasa yang sederhana seakan-akan lo lagi ngajarin orang
Setelah lo tulisin konsepnya, coba deh lo sederhanain konsepnya dengan bahasa lo sendiri. Abis itu, either lo cari orang buat lo ajarin atau lo ngomong aja sendiri kayak lo lagi ngajarin orang. Kalo elo udah paham banget, harusnya lo bisa ngajarin konsep apapun yang sedang lo pelajarin dengan simpel.
Di bagian ini biasanya paling gampang dilakukan dengan menggunakan analogi. Nah ketika elo akan menggunakan analogi, hati-hati sama batasan-batasan dimana A mirip dengan B dan dimana A berbeda dengan B. Kalo elo nggak memperhatikan batasan-batasan ini elo bisa keliru memahami suatu konsep.
Langkah #3: Cari area-area yang belum lo bener-bener paham terus cek lagi ke sumber-sumber terpercaya. Kupas sampe lo bisa jelasin secara keseluruhan
Abis elo bereksperimen dengan orang, coba lo liat lagi bagian mana aja yang elo belom ngerti banget. Untuk bagian-bagian itu, lo bisa cek lagi dari referensi atau tengak tengok di internet. Beberapa referensi yang gue saranin itu Google Scholar, Quora, Instagram lambe turah nggak deng, forum-forum akademik sesuai bidang yang lagi elo pelajarin, channel-channel sains dan teknologi di Youtube, dan lain-lain. Pokoknya lo dalemin sampe lo bener-bener paham sis.
Langkah #4: Cari istilah yang masih kompleks dan sederhanain itu.
Kalo dari forum akademik gitu, biasanya sih lo bakalan dapet istilah atau terminologi dan Bahasa yang agak-agak berat. Tugas lo sekarang adalah untuk menyederhanakan itu. Ulang lagi dari langkah kedua dan begitu seterusnya. Jangan pernah ngerasa kenyang dengan apa yang udah lo ketahui.
First Principle selain bisa ngebantu lo berpikir dan membangun pengetahuan secara fundamental, doi juga bisa ngebantu lo mengkomunikasikan pengetahuan lo. Makanya, ini tuh thinking skill yang penting untuk lo bangun dari sekarang. That’s why, elo harus belajar pake konsep!
****
Oke deh, semoga lo udah ngeh ya betapa bermanfaatnya kalo semakin banyak orang yang mengadopsi dengan pola pikir First Principle ini. Makin banyak lagi inovasi yang bisa kita hasilkan, kita jadi bisa fokus maju, dan ga buang-buang waktu buat sesuatu yang udah usang. Pada artikel sebelumnya, gue “menyentil” calon mahasiswa dan mahasiswa untuk berperan aktif memajukan IPTEK Indonesia. Nah, pola pikir First Principle cocok banget dipake untuk membuat terobosan di sains dan teknologi. Gue harap artikel gue ini bisa menginspirasi lo dan gue tunggu gebrakan dari lo 😉
—————————CATATAN EDITOR—————————
Jika ada di antara kamu yang ingin ngobrol atau diskusi dengan Kak Steve tentang first principle, atau topik dunia riset, penelitian, inovasi, dan teknologi secara umum, jangan ragu untuk bertanya pada kolom komentar di bawah artikel ini yak.
baru tahu kalo selama ini pake pola pikir yang namanya utilitarianism. makasi banget bang, jadi moodbooster sebelum ambis di perkuliahan lagi
Mantap!
Selamat menempuh hidup baru
Maaf kak ada sedikit typo,
“Secara lebih mudah untuk memahami konsep yang dekat dengan kehidupan kita ketimbang memahami konsep yang nggak pernah kita dengan sebelumnya.”-di paragraf pola pikir analogi
Di kata dengan ke-2 mungkin maksudnya dengar☺
Steve, poin yang gue tangkep dari First Principle tuh encourage supaya kita haus akan ilmu pengetahuan ya ga sih?
Nggak juga sih. Itu mah baru permukaan doang. Lo harus bisa ‘nantang’ apa yang lo tahu tentang sesuatu sampe ke akar-akarnya. Ketika lo sampe pemahaman mendasarnya, disitu lo akan lebih mudah memahami hal-hal turunannya dan permasalahan terkait.
Mantap bang steve. Baru tau kadang gw berpikir dengan pola first principle.
Elo jangan puas dengan ‘kadang’.
kaa steve mau nanya..
kuliah di jurusan mipa fisika itu lapangan pekerjaannya luas gk kaa? dan biasa byk yg kerja dimana selain jd guru?
lu bisa kerja di CERN
https://en.wikipedia.org/wiki/CERN
Mksdny bkn tmpt krja nya … Tp kita bs dibidang apa aja sih ke contohny jurusan kmia kan bs kerja sbgai quality control.. nah kalo fisika murni apa yah?
Jadi peneliti.
Pertanyaan lo punya kecendurungan utilitarianisme banget. Haha.
Kalo diturunin pake first principle, basically apapun yang mengandung matematika dan pemodelan/aplikasi matematika ke dalam objek fisis bisa lo kerjain. Dan entah apa lagi yang elo pelajarin selama lo kuliah. Entah apa yang lo suka pelajarin juga.
Temen gue ada yang lulusan arsitektur, kerjanya jadi guru TK. Ada lagi temen gue anak fisika kerjanya terjun di dunia marketing startup dan ada yang jadi web developer malahan. Temen seangkatan gue yang kmrn ikut Asia’s Next Top Model, Vera Vali tuh berdua jurusannya biologi sama mikrobiologi. Jadi model tuh.
Hai anak muda *cielah*. Hidup setelah lulus kuliah tidak sekotak-kotak kayak yang dibayangkan kebanyakan orang: mipa–> guru, teknik –> insinyur, ekonomi –> bankir. Pola pikir lo nggak boleh begini. ini nggak ‘first principle’ friendly.
Makanya ketika kuliah, buat gue sih nggak penting-penting amat jurusannya apa (kecuali profesi yang butuh lisensi khusus ya kayak dokter dan apoteker). Yang penting gimana lo bisa mengakuisisi ilmu dari buku, video online, guru, atau dari temen-temen lo. Diantara pertemanan lo ada diskusi yang sehat nggak atau diskusinya cuma soal diskusi soal mobil cowoknya anya geraldine? *kok gue ngikutin ya*
Ketika elo punya kemampuan untuk belajar yang oke, lo bakalan lebih cepet nyerep ilmu. Otomatis lo akan cepat memperluas wawasan lo. Dari sana ya lo tinggal pilih hal apa yang mau lo kerjain.
oke deh mantap kak steve pencerahannya !
Malah penasaran, kenapa zenius selalu bisa bikin artikel yang keren
Karena kita udah kece dari lahir.
Ya beginilah udah takdir.
Eh. Nggak deng. Haha.
Karena banyak baca tentunya. Lo juga bisa kok buat artikel yang lebih keren!
mas kok pinter banget sih makannya apa sih ????
Pernah nonton sih di TED, Elon Musk bilang kalau walau sumber listrik yang dipakai mobil Tesla bukan solar melainkan energi fosil, tetap aja penggunaan energi fosilnya jauh lebih hemat, jadi engga benar – benar sama aja. Tapi, Elon Musk bilang dia tetap mendorong manusia agar di kemudian hari udah gak “kecanduan” lagi dengan energi fosil.
Bahkan walaupun keluar dari mulut orang yang terkenal, kalo nggak ada angka itungannya lo nggak boleh semudah itu percaya juga sih.
Argumen penggunaan mobil listrik ini kan mengenai ‘renewable energy’, ini bukan masalah penghematan boi. Tapi masalah emisi yang dihasilkannya. Jadi agak nggak nyambung kalo argumennya soal penghematan.
Iya emisi dari mobil berbahan bakar fosil berkurang, tapi listrik yang dicolok ke mobil mengakibatkan adanya kenaikan kebutuhan listrik di PLTU. Turbin butuh energi fosil lebih banyak. Ya masih sama aja dong?
Kalo pembangkit listriknya masih energi fosil, masih belum oke. Nah infrastruktur pembangkit listrik yang bahan bakarnya bukan energi fosil ini yang Indonesia masih butuh banget. Makanya masih sulit untuk menerapkan mobil listrik di sini.
Iya memang sebaiknya beralih ke energi yang dapat diperbaharui. Seingat ku , Elon Musk ada ngomong tentang hitungan penghematannya, cuma gak detil amat. Dia juga ngomong gitu karena si interviewer merasa popularitas Tesla sudah naik banget tapi gak sebanding penggunaan energi solar.
Gebleknya adalah… Tesla itu sebenernya belum Break Even Point dari semua biaya yang udah dikeluarin untuk develop mobilnya.
Gara2 artikel ini gua sadar gua pake “first principle” ? awalnya gua ragu make itu ? gr2 abis baca ini jadi tambah yakin hahahahaa. Thanks steve ?
You’re welcome!
Jangan lupa bijak-bijak di dalam menggunakan first principle yah
ini nih artikel yg gw cri 😀
ini nih komentar yg gw cari 😀
wooow…. Artikel yang beneran keren. jadi selama ini gue kadang pake frist principle. meski masih kurang ngulik dalem banget.
Makasih loh!
Elo juga keren bacaannya blog zenius.
gw sih kadang sering dapat first principle pas lagi ngelamun, tap kadang mentok karena kurang pengetahuan. -_-
Perbaikin dengan membaca.
Membaca instagram lambe tur4h.
Niscaya otak lo rusak kayak gue.
Nggak deng. Baca buku dong biar berpengetahuan, muda dan berbahaya. Karena cerdas is the new gahoel.
Bang gue ngefans bgt sama Richard Feynman dan sekarang gue ngefans sama lo. Gue sering baca2 tentang Feynman’s Diagram juga di quora. Pengennya masuk jurusan Fisika tapi apa daya udah terlanjur semester 5 di Tekim.. eh sorry jadi curhat haha
Nama Teknik Kimia bukan cuma ‘nama’ yah?
Sebenernya tekim kan game berantem.
Eh maksudnya belajarnya banyak fisikanya. Haha.
Duh jadi malu. Haha. Dosen gue di jurusan Fisika ada yang S1, S2, S3 tekim semua. Keliatannya agak gak nyambung tapi sebenarnya nyambung banget. Lo bisa tetep mendalami Fisika dan jangan berhenti menyelaminya yah 😀
Keren artikelnya
Tapi kenapa artikelnya keren ? 😀
Btw , sering” nulis Elon musk lah , biar seru bacanya
Karena pembacanya juga keren dong pastinya.
setelah baca artikel dan komen2nya, gw semakin yakin kalo kesuksesan ga hanya dipengaruhi gw kuliah jurusan apa, tapi yg penting cara gw nyerap ilmunya. jd biarpun gw ngerasa udah nyesal ambil jurusan kuliah gw, gw masih bs belajar lagi ilmu yg memang pengen gw dalami dg pola pikir yg lebih baik lagi 😀
Owyiis. That’s the spirit!
Jangan mau dibatesin sama tembok yang nggak pernah ada.
Bang, tips sukses dalam berorganisasi dong.
Jangan ngomong doang. Beres. Hahahaha.
Cari latar belakang akademik/riset dari tindakan yang akan diambil.
Agak ngeselin tapi memang kenyataannya hahahaha
Wkwkwk. Iya euy. Simpel tapi sulit dilakukan.
Jadi pengen but blog yang isinya kayak zenius. Wkwk
Jadi pengen komen yang isinya jadi pengen. Haha.
Sungguh bermanfaat sob. Tengkyu banget.
Mantzaap!
Metoda First Priciple dibutuhin banget terutama biar ga kemakan hoax – hoax yang bertebaran di media sosial, udah gitu komennya pada ngaco semua.. Thx Stve. Metoda ini menjawab pertanyaan bagaimana menguji sebuah kebeneran suatu konsep / berita atau apapun. cakep lah!
Nah ini salah satu aplikasi dari first principle thinking. Elo nggak boleh gampang percaya sama berita yang kesannya populer. Karena populer belum tentu bener. Contohnya info wa emak2 kayak kerupuk atau biskuit yang bisa dibakar. Waspadalah! waspadalah!
Nah ini nih salah satu manfaatnya. Nggak gampang kemakan berita hoax.
Contohnya info grup emak-emak kayak video kerupuk ama biskuit yang bisa dibakar. Itu salah satu hoax yang bisa berakibat buruk untuk produsen kedua makanan tersebut.
bang Steve, ngomong2 soal tradisi. gimana pendapat lu mengenai tradisi ospek di univ2 di Indonesia? apakah masih relevan? soalnya gw (sebagai maba) merasa kurang dapet manfaat ngikutin ospek dan cuma cape2in doang (banyak tugas tugas yang gaje). dan menurut lu ospek yang bagus tuh harusnya kayak gimana?
Pertanyaan lo sebenernya agak terlalu general sih. Masalahnya beda univ kan beda tradisi.
Di lain sisi, liat deh video ‘5 monkey’ yang diatas. Kadang tuh udah pada nggak paham lagi kenapa suatu tradisi dilakukan padahal terkadang maknanya baik. Yang penting buat lo pahamin adalah kenapa di ospek ini ngajarin ini, di ospek itu ngajarin itu. Despite lo suka ato nggak, elo harus tetep ngebentuk skill dan character lo di proses ospek ini.
Request dong cerita tentang elon musk lebih detil
Request di tampung dulu yah. Bakalan lumayan panjang soalnya. Haha.
kenapa instagram lambe tur4h? XD
Karna belio pake hengpon jadul :p
bang gimana sih cara bikin artikel keren gini ? maksudnya, dari dapet ide buat nulis artikel sampe dapet resources nya
Banyak-banyak paparkan (bukan peperkan) dirimu dengan orang-orang kece, buku-buku kece, channel-channel sosmed kece dan website kece. Instead of ask.fm, open quora more.
bang steve saranin buku yang ngebahsa tentang first principle
kak bikinin aku materi buat orasi ilmiah dong. temanya bebas pokonya bagus dan unik please. email me ya : nurus.sofia23@yahoo.co.id tadinya mau bikin tulisan ini sebagai bahan orasi cuma penjelasan disini bahasanya gak baku aku jadi bingung gmn bikinnya. thanks kak
Thanks banget kak gua dapet banyak pelajaran Dari artikel ini. Eh kak,ada ga rekomemdasi buku tentang first princeple?gua pengen tau lebih lagi tentang first principle,makasih 🙂
Coba semua blog dan artikel isinya kayak zenius yang bener2 bermanfaat dan selalu ngasih insight baru.. pasti netizen Indonesia jadi lebih smart..
First principle ini kalau diimplementasiin di berbagai ilmu buat kemajuan di indonesia yakin dah bakal ada perubahan yang signifikan. Bang rekomendasiin buku referensinya dong. Slm ini gue mikir kayak gini hasil dari pendekatan filosofis. Gue sgt tertarik aplikasiin metode ini di bidang pendidikan, kalau generasi anak muda udah dididik mikir kaya gini bakal keren bgt
sering banget gue ketika memulai lamunan pake first principle ujung2nya mentok ketika kekurangan ilmu.. dan semua langsung terjawab dengan sekali googling. sebenernya apa cara gue solving problem dgn googling itu fine-fine aja, atau justru malah menumpulkan cara berpikir first principle gue ya? karena terkadang ngerasa gak puas pas dapet “ooh bener juga” moment dari pikiran orang lain di internet, bukan dari dalem otak sendiri.
Mantep artikelnya pas intro awal bahas tentang pemikirin udah adrenalin gua naik wkwk, suka mikir sih gua, baru tau kalo itu ada teorinya, tambah excited belahjar begituan, ada recomend buku bang ?