Hai, ini membahas tentang perang dagang oleh karena rempah dan artikel lanjutan dari eksplorasi bangsa Eropa datang mencari kepulauan Rempah.
Kekacauan Politik di Eropa Pemicu Perang Dagang: Sengsara Membawa Nikmat
Perang dagang karena rempah. Setelah Portugis menguasai Nusantara dalam waktu “seumur jagung” saja, di Eropa lagi banyak kejadian penting. Perjanjian Tordesillas dan Zaragoza ga lagi dianggep penting karena taunya tahta kerajaan Spanyol dan Portugis nyatu dibawah kepemimpinan anaknya Carlos yang tadi menginspirasi nama Filipina yaitu Raja Felipe II pada tahun 1580, gara-gara bapaknya raja Spanyol, ibunya ratu Portugis.
Hal ini ga cuma ngaruh ke dua perjanjian itu, tapi juga ke hubungan internasional di Eropa yang ribetnya kaya benang kusut. Kenapa ribet? Karena kaya kisah penyatuan Spanyol-Portugis gara-gara perkawinan, para bangsawan dan anggota kerajaan di Eropa juga saling kawin satu sama lain. Jadi bisa aja pada satu titik dua kerajaan damai atau bahkan nyatu, di titik lain perang satu sama lain.
Hal-hal kaya yang di atas ini yang bikin persaingan, atau perang dagang rempah, jadi makin seru. Selain hubungan diplomasi yang acakadut, pada abad 16 terjadi perubahan besar dalam kehidupan sosial terkait religiusitas orang-orang Eropa, yaitu Reformasi Gereja.
Reformasi ini lucunya cuma ngaruh di beberapa negara, yang akhirnya memperunyam hubungan diplomasi Eropa yang tiba-tiba beda agama antar negara. Spanyol, Portugis, Italia, Irlandia, sebagian besar Perancis ga kepengaruh sama Reformasi. Belanda, Swiss, dan Jerman ngaruh banget. Inggris? Inggris punya Reformasinya sendiri yang aneh ketimbang Belanda dan Jerman.
Kalau Jerman, Belanda, sebagian Perancis, dan Swiss pindah ke Protestan gara-gara protes para tokoh gereja yang bernama Martin Luther, Jehan Calvin, dan Ulrich Zwingli, Inggris memisahkan diri dari Kepausan gara-gara Raja Henry VIII mau kawin lagi dan ga dibolehin sama Paus.
Tanpa disangka-sangka, kekacauan diplomatik dan agama yang kejadian di Eropa ini ngaruh banget sama perang dagang rempah di Nusantara. Hal ini, mau ga mau akhirnya jadi salah satu pembentuk negara modern Indonesia. Gimana caranya? Kita lanjut diskusi kita ke kolonialisme modern.
Alkisah, dulu ada raja Inggris yang bernama Henry VIII, sebelom poligami, Henry kawin sama anak dari pasangan bahagia Raja Ferdinand dan Ratu Isabella yang kita sebut-sebut di bagian sebelumnya. Puteri asal Spanyol yang bernama Catalina dari Aragon.
Setelah kawin dengan Henry, pasangan ini ga berhasil ngelahirin anak cowo yang akhirnya bikin Henry kesel. Singkat kata dia kawin lagi sama anak seorang diploma Inggris yang bernama Anne Boleyn, dan Henry bersikeras agar perkawinannya sama Catalina digugurkan oleh Sri Paus. Ujung dari prahara ini adalah Henry memerintahkan agar Inggris mengeluarkan diri dari Kepausan dan memeluk agama resmi Gereja Anglikan. Hal ini sangat didukung sama masyarakat Inggris.
Pihak Spanyol belom marah besar gara-gara ini, karena anak dari pasangan Henry dan Catalina, yaitu Mary, naik jadi Ratu Inggris gantiin kakak tirinya. Berdarah setengah Spanyol, Mary nyoba buat ngebalikin lagi kekuasaan Katolik dengan ngebunuh-bunuhin supporter Anglikan. Maka dari itu dia dijulukin “Bloody Mary”.
Kekuasaan Mary hanya berlangsung lima tahun, dan dia diganti sama adek tirinya, Elizabeth, anak dari Henry dan Anne Boleyn. Nah, Elizabeth ngikutin sikap bapaknya untuk ngelepasin diri dari Paus, dan permanen sampe sekarang. Hal ini yang akhirnya bikin retak hubungan Inggris dan Spanyol.
Di mata pihak Spanyol, ga cuma Inggris doang yang dianggep kualat sama Gereja Katolik. Belanda pada abad 15-16 berada di bawah kekuasaan Wangsa Habsburg, yang waktu masa Reformasi Gereja dipimpin oleh tidak lain dan tidak bukan adalah si sakti Carlos I (Carlos I dari Spanyol, Kaisar Karl V dari Romawi Suci, dan Raja Karel III Belanda, sekaligus).
Kekuasaan Carlos di Spanyol dan Belanda turun ke anaknya, Felipe II, yang waktu naik tahta Belanda sebel banget liat rakyat Belanda rame-rame pindah agama ke Protestan. Seperti biasa, klo bawa-bawa isu agama gini pasti rentan banget jadi konflik skala gede. Akhirnya rakyat Belanda memberontak di bawah pemimpin lokal yang bernama Willem I van Oranje (makanya sekarang timnas Belanda dan Persija warnanya oranye). Pecah deh perang antara Spanyol dan Belanda.
Pecah perang antara Spanyol dan Inggris – Belanda ini bikin perdagangan rempah di Eropa jadi sedikit ga imbang. Tapi kedua negara musuh Spanyol ini masih santai. Mereka masih bisa belanja rempah ke Portugis. Hingga akhirnya, jder! Tiba-tiba Felipe II diangkat juga jadi raja Portugis. Asem deh Inggris dan Belanda. Mau belanja rempah ke siapa? Akhirnya Inggris bergerak lebih cepat.
Ratu Elizabeth I merintahin Francis Drake untuk ngeganggu-gangguin armada Spanyol di Dunia Baru, sekaligus cari jalan menuju Kepulauan Rempah. Pada tahun 1579 ia berhasil nyampe ke Ternate dan dapet kesempatan untuk bertamu ke Sultan Baabullah yang berhasil ngusir Portugis dari Kepulauan Rempah. Karena jiper sama sang Sultan, Drake harus rela keringetan nungguin Sultan bersedia nemuin dia. Tapi emang pada dasarnya Sultan-sultan Ternate terbuka sama orang asing asal jangan kurang ajar, Drake pun diterima dengan baik sama Baabullah.
Keberhasilan ekspedisi Drake bikin Elizabeth makin napsu buat ngehajar Spanyol-Portugis dengan nyuruh James Lancaster buat berlayar ke Kepulauan Nusantara buat perang dan ngancur-ngancurin armada Portugis yang pada mangkal di Malaka. Singkat kata, Inggris bodo amat sama Perjanjian Tordesillas dan Zaragoza. “Siape elu main bagi-bagi aja dunia seenak jidat?”. Gitu kira-kira yang ada di benak Elizabeth.
Belanda gimana nasibnya? Beda sama Inggris, Belanda merdeka dari Spanyol dan jadi republik. Republik ini lagi pusing karena harga rempah-rempah mahal. Oleh karena itu, pada tahun 1592 para pimpinan Republik nyuruh seorang navigator ulung Belanda buat nyamar pura-pura jadi orang Portugis dan berguru ke Portugis untuk colong rahasia jalur menuju Kepulauan Rempah.
Navigator ini bernama Cornelis de Houtman. Balik-balik ke Belanda, semua pengetahuan tentang jalur, arah angin, arus laut, terumbu karang, sampe ke sifat-sifat orang lokal Nusantara udah dikantongin Pak Cornelis. Para petinggi Republik pun bersedia ngebiayain ekspedisi mandiri pertama Belanda ke Kepulauan Rempah pada tahun 1595.
Ternyata pengetahuan doang ga cukup untuk bisa bikin sebuah perjalanan berjalan mulus. Sifat Cornelis yang sengak bikin perjalanan yang niatnya baik berujung petaka.
Belom sampe ke Nusantara, baru sampe Madagaskar, 70 orang harus dikubur gara-gara radang mulut. Sampe ke Banten, dia marah sampe ngehina Sultan Banten karena ngerasa bahwa Banten lebih milih Portugis, sehingga dia keusir dari Banten. Karena perlu air bersih, armadanya singgah di Lampung yang mana dia dan kawanannya diculik dulu sampe ditebus. Pas ditebus, Cornelis ngebales dengan bombardir daerah itu sampe rata.
Gara-gara kejadian ini, pihak Banten ngirim surat ke penjuru-penjuru pulau Nusantara bahwa ati-ati sama orang Belanda. Cornelis niat ngelanjutin perjalanannya sampe Kepulauan Rempah. Di tengah Jalan, tepatnya deket-deket Madura, dia diserang bajak laut. Setelah berhasil perang sama bajak laut, dia langsung nyerang armada laut Madura yang saat itu dinaikin putera mahkota Kesultanan Madura. Bikin pusing aja emang kelakuannya Cornelis ini.
Karena ngerasa ga diterima sama orang-orang lokal, Cornelis mutusin buat cabut aja ke Belanda. Tapi malu juga sih dia kalo ga bawa hasil apa-apa. Akhirnya dia nyari daerah yang lumayan bersahabat, dan mendarat ke Singaraja, Bali.
Untungnya orang-orang Bali waktu itu cukup terbuka dan lumayan deh, Cornelis bisa bawa pulang 245 kantong lada, 45 ton biji pala, dan 30 bal salut biji pala. Ekspedisi yang penuh sengsara ini masih untung dikit dari modal, walaupun yang kembali cuma 94 orang dari 248 total kru waktu berangkat.
Emang hoki juga kadang-kadang berpengaruh sama keberhasilan ekspedisi. Sepulangnya Cornelis, pihak Republik langsung mencanangkan ekspedisi lanjutan, kali ini di bawah Kapten Jacob van Neck, seorang pelaut berpengalaman yang mentalnya lebih stabil ketimbang Cornelis. Ga pake lama armada van Neck sampe ke Banten. Nah di sini nasibnya beda sama Cornelis.
Kali ini, pihak Banten abis perang sama Portugis sampe ngusir mereka dari Banten. Takut kalo-kalo ada pembalasan dendam, Banten mohon bantuan dari van Neck yang baru aja sampe. Dari persahabatan ini akhirnya van Neck ga usah mikir-mikir buat ke Kepulauan Rempah. Daripada nemu nasib serupa kaya Cornelis, van Neck langsung ngisi penuh kapalnya dengan rempah-rempah.
Ekspedisi ini akhirnya ngebawa pulang 450 ton lada dan cengkeh, dan setengah kapal penuh pala dan kayu manis. Keuntungannya mencapai 600 kali lipat dari modal. Sesampai di Amsterdam, van Neck diarak layaknya pahlawan dan dikasih piala emas murni. Belanda siap untuk mengadakan pelayaran lebih rutin ke Nusantara.
Efeknya berimbas negatif. Banyak pengusaha asal Republik yang saling bersaing buat bikin ekspedisi ke Nusantara. Hal ini dianggep ga efisien buat Republik, dalam hal modal yang ga segitu gede pasti ngebawa hasil yang juga ga gede. Ngabisin tenaga doang.
Cornelis pun ikut ekspedisi-ekspedisi kecil macem ini, tapi sifatnya yang sengak akhirnya bikin idup dia pendek. Dia bikin ulah sama Sultan Iskandar Muda dari Aceh yang akhirnya bikin dia tewas di ujung pedang Laksamana Keumalahayati, pemimpin armada laut Kesultanan Aceh Darussalam.
Belanda harus ninggalin cara kaya gini biar bisa untung gede dan ga ngabis-ngabisin nyawa dengan perang yang merugikan. Di pihak lain, Inggris udah mulai nyium aroma bahwa Belanda yang tadinya senasib sepenanggungan sama mereka mulai nyaingin mereka di perdagangan rempah. Ini belum termasuk pemicu perang dagang saat itu.
Pada 1600, Ratu Elizabeth I mendirikan East India Company (EIC) untuk bisa lebih efisien dalam pelaksanaan manajemen ekspedisi rempah. Fokus dari EIC ini cukup imbang antara India Barat (Karibia dan Amerika) dan India Timur (India dan Asia Tenggara).
Elizabeth yang denger kabar soal ketololan Cornelis langsung kirim surat ke Iskandar Muda yang isinya intinya bilang kalo Inggris ga sekejam Belanda, dan menyanjung-nyanjung kehebatan Aceh. Inggris pun diterima dengan terbuka oleh Iskandar Muda.
Penerus Elizabeth, James 1 dari Inggris dan Skotlandia, menjadi sahabat baik dari sang Sultan. James Lancaster, kepercayaannya Elizabeth dan James, megang daerah India, Sumatera, dan Malaya, sedangkan Henry Middleton dipercayai fokus berdagang di Kepulauan Rampah.
Kolonialisme Modern di Nusantara, VOC vs EIC
Karena ngerasa keduluan oleh Inggris dalam efisiensi ekspedisi perdagangan rempah, akhirnya pemimpin dari 17 Provinsi Belanda berkumpul untuk ngumpulin modal demi mendirikan perusahaan terbuka multinasional pertama di dunia, yaitu United East Indies Company (Vereenigde Oost-indische Compagnie – VOC), pada tanggal 20 Maret 1602.
Walaupun perusahaan, VOC dikasi wewenang sama Republik Belanda untuk bisa bikin tentara sendiri, cetak mata uang sendiri, serta berhak melakukan diplomasi ke penguasa-penguasa Nusantara layaknya sebuah negara.
Ngerasa imbang, VOC akhirnya mulai menancapkan taringnya ke perdagangan rempah di Nusantara, dan bersahabat dengan banyak pemimpin lokal Nusantara. Bom waktu untuk perang melawan pihak Inggris di Nusantara tinggal tunggu waktu.
Pada tahun 1603, VOC berhasil ngantongin surat ijin dagang dari Sultan Banten, dan naro pos dagangnya di tepi Sungai Ciliwung, Sunda Kalapa. Hal ini belum memicu perang dagang yang sebenarnya.
Lebih lanjut, pada tahun 1605, VOC berhasil nguasain benteng milik Portugis di Ambon, dan perlahan-lahan mulai ngegantiin peran Portugis sebagai kekuasaan Eropa terbesar di Kepulauan Rempah. Tapi peran ini bukannya ga pake hambatan. EIC terus nyoba buat nyaingin VOC di daerah manapun VOC beroperasi.
Banten dia ngikut, Ambon dia ngikut juga. Di tulisan gue yang sebelumnya tentang ulang tahun Jakarta pernah gue ceritain tentang gimana carut-marut persaingan VOC dan EIC yang dipanas-panasin sama Sultan Banten dan Pangeran Jayawikarta (walikota Sunda Kalapa waktu itu). Singkat kata singkat cerita, Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon-Coen berhasil bikin Sunda Kalapa rata jadi tanah, EIC kabur dari Sunda Kalapa, dan Pangeran Jayawikarta dipecat sama Sultan Banten. Menang banyak. Akhirnya sejak tahun 1619 berdirilah kota Batavia sebagai pusat dagang VOC yang akhirnya berkembang jadi kota metropolitan pertama di Asia Tenggara.
Konflik-konflik yang bisa menyebabkan perang dagang kaya gini ga cuma kejadian di Jawa aja, sering banget kejadian di mana-mana. Oleh karena itu Raja James I dan para petinggi Republik Belanda bikin perjanjian “Treaty of Defence” yang ngebagi operasi monopoli di Nusantara biar imbang antara kedua belah pihak.
Di pihak petinggi sih udah ada kesepakatan. Tapi di lapangannya, gengsi-gengsian dan sensi-sensian tetep berkobar di kalangan pegawai rendahan kolonial.
Puncaknya kejadian pas pada suatu malem kapten Belanda untuk daerah Ambon, Herman van Speult, ngegepin seekor ninja yang lagi mata-matain benteng Victoria punyanya Belanda. Ninja waktu itu emang lagi sering diimpor dari Jepang oleh para pedagang kolonial buat ngamanin aset dagang dan juga mata-mata.
Setelah disiksa, ninja ini ngaku klo dia dan temen-temennya (total ada sembilan ninja) diperintah oleh Gabriel Towerson, komandan EIC di Kepulauan Rempah. Gabriel dan sembilan orang Inggris lainnya ditangkep pihak VOC dan tanpa pengadilan yang jelas dieksekusi dengan cara pancung di depan publik. Total ada sepuluh orang Inggris, sembilan ninja, dan seorang Portugis yang kerja untuk EIC.
Kejadian ini bikin gempar Eropa. Perang sentimen dan propaganda marak antara kedua belah pihak. Ujung-ujungnya, kejadian ini dijadiin propaganda Inggris untuk memulai peperangan antara Inggris dan Belanda yang berlangsung berkali-kali sepanjang abad 17 dan 18.
Bayangin bahwa nafsu untuk nguasain perdagangan rempah Nusantara bisa bikin dua negara yang jaraknya belasan ribu kilometer jadi perang satu sama lain. Kejadian satu lagi hampir bikin dua negara ini perang terbuka di Kepulauan Rempah, tapi untungnya bisa diakhiri dengan tuker-tukeran pulau.
Pada tahun 1616 VOC mengklaim bahwa Pulau Run, di Kepulauan Banda penghasil satu-satunya pala di dunia, adalah miliknya. Pihak Inggris yang sejak 1603 udah berdagang di situ marah dan mau nyerang Belanda di situ. VOC menuduh para penduduk lokal berkonspirasi dengan EIC sehingga perang dan ngebantai penduduknya yang laki-laki hingga tinggal nyisa beberapa puluh orang doang. Hal ini makin bikin EIC ngamuk dan akhirnya ngepung Pulau Run, walaupun akhirnya pasukan Inggris mundur.
Kejadian ini akhirnya dibiarin berlangsung panas sampe akhirnya 1667 terjadi kesepakatan antar dua belah pihak. Belanda waktu itu juga main di daerah Amerika dan Karibia sehingga bisa nguasain sebuah pulau yang bernama Manhattan, dan menamain daerah itu sebagai Nieuw Amsterdam. Dari perjanjian tahun 1667 ini, pihak Inggris merelakan Pulau Run untuk pihak Belanda, sedangkan Manhattan diserahin ke pihak Inggris dan diganti nama jadi “New York”.
Bayangin, demi pala doang, Belanda rela nyerahin Manhattan. Kalau aja yang ikut perjanjian waktu itu bisa ngeliat kaya apa Manhattan dan New York sekarang, kira-kira pada nyesel ga ya?
Semenjak itu pula, VOC bisa lebih leluasa menguasai perdagangan di Nusantara. Praktis ga ada lagi kekuatan asing yang sanggup perang sama VOC. VOC bertindak layaknya Portugis satu abad sebelumnya dengan mengontrol para penguasa lokal biar bisa nguntungin VOC.
Semua gara-gara rempah, yang sampe saat ini masih menghias makanan-makanan lo di meja makan. Gara-gara rempah, daerah-daerah Nusantara diminati Eropa. Gara-gara rempah, Belanda bisa sudi capek-capek perang demi mempertahankan kekuasannya di Nusantara. Gara-gara rempah, Belanda nyatuin seluruh kerajaan di Nusantara. Gara-gara rempah, Nusantara bersatu. Daerah yang tadinya terdiri dari puluhan kerajaan, akhirnya bisa jadi satu negara bersatu yang bernama Indonesia.
Leave a Comment