Hai, ini adalah lanjutan dari seri artikel mengenai genetika. Pada blog sebelumnya, kalian sudah baca tentang sejarah penemuan DNA, dan artikel mengenai hukum Mendel sebagai probabilitas. Nah, pada artikel ini gw akan menjelaskan mengenai salah satu materi yang mungkin cukup misterius bagi banyak siswa. Yaitu, penyimpangan semu hukum Mendel.
Kalian pasti udah tau tentang hukum Mendel dan pola hereditas yang ditemukan oleh Gregor Mendel. Setidaknya kalian sudah pernah mempelajarinya dari pelajaran SMP. Kalian mungkin sempat bertanya-tanya, kenapa bisa ada fenomena penyimpangan hukum Mendel? Apakah artinya hukum Mendel tidak selalu benar?
Sebenarnya, yang disebut sebagai penyimpangan hukum Mendel hanyalah penyimpangan semu. Karena, sebenarnya penyimpangan ini hanya tampak menyimpang secara permukaan saja. Jika kita gali lebih dalam, sebenarnya jenis-jenis penyimpangan yang disebut di buku pelajaran sekolah itu masih mengikuti hukum Mendel.
Pada artikel ini gw akan mencoba menggali materi genetika lebih dari permukaan yang dijelaskan di buku pelajaran sekolah. Agar benar-benar tampak, bagaimana penyimpangan semu hukum Mendel terjadi. Juga, menjelaskan bagaimana sebenarnya cara kerja dan fungsi dari DNA dan gen bagi fungsi sel dan tubuh kita.
Intro Pembelahan Sel
Sebelum membahas mengenai DNA dan gen, serta fungsinya, gw akan jelasin dulu tentang proses pembelahan sel secara meiosis. Karena, proses pembelahan meiosis ini adalah kejadian dimana penurunan sifat terjadi, dan penyebab munculnya pola hereditas Mendel.
Bisa dilihat pada gambar di atas, pada pembelahan sel secara meiosis jumlah kromosom yang awalnya sebanyak 2n terbagi dua menjadi n. Pada proses meiosis ini, kromosom homolog yang awalnya berpasangan atau diploid menjadi terpisah di masing-masing sel gamet yang bersifat haploid. Pada proses ini gen warna kuning “KK” yang awalnya berpasangan, terpisah menjadi “K” pada masing-masing sel gamet. Karena itulah kita menyaksikan fenomena Hukum Mendel yang pertama.
Kemudian dua sel gamet yang berbeda, misalnya sel sperma dari jantan dan sel telur dari betina, melakukan fertilisasi. Sel yang awalnya bersifat haploid, kembali menjadi diploid. Jika kedua sel gamet itu dapat membawa alel “K” atau “k”, maka gamet yang melakukan fertilisasi akan terjadi secara acak. Bisa menjadi “KK”, “Kk”, atau “kk”, seperti yang kita lihat pada contoh persilangan di atas. Fenomena inilah yang kita amati sebagai Hukum Mendel yang kedua.
Intro Hukum Mendel
Pertama kita coba lihat dulu contoh persilangan monhibrid berikut ini.
Tanaman ercis berbiji kuning disilangkan dengan tanaman ercis berbiji hijau. Kedua tanaman ini adalah galur murni, yang artinya masing-masing diturunkan dari tanaman yang juga berbiji kuning atau hijau.
Generasi pertama dari persilangan ini, F1, semuanya memiliki biji berwarna kuning.
Kemudian, tanaman berbiji kuning dari F1 ini disilangkan kembali ke sesama F1, dan hasil persilangan ini ditemukan anakan F2 yang berbiji kuning dan hijau, dengan rasio 3:1.
Pada contoh di atas kita akan lihat apa yang disebut sebagai hukum segregasi Mendel. Kita bisa lihat itu pada kolom dengan label Gamet. Dimana, “KK” dan “kk” mengalami segregasi atau pemisahan menjadi “K” dan “k”. Ini yang disebut sebagai hukum Mendel yang pertama, tentang segregasi.
Kemudian setelah K dan k terpisah, mereka akan berpasangan kembali secara acak setelah dilakukan persilangan. Alel “K” dapat berpasangan dengan “K” maupun “k”. Hal inilah yang disebut juga sebagai Hukum Mendel yang kedua, tentang penggabungan acak.
Contoh di atas adalah aplikasi hokum Mendel untuk persilangan monohybrid, dimana kita hanya memperhatikan bagaimana satu gen diturunkan. Nah, bagaimana dengan 2 gen sekaligus? Kita bisa melihatnya pada tabel di bawah ini.
Tabel Persilangan F1 & F2
Tabel Persilangan F2
Pada kedua tabel di atas, kita bisa melihat proses persilangan dihibrid. Kita bisa lihat, kalau rasio 9:3:3:1 adalah rasio antara jumlah individu yang memiliki alel dominan untuk kedua gen, memiliki alel dominan hanya untuk satu gen, dan hanya memiliki alel resesif. Ingat baik-baik rasio ini, dan bagaimana rasio ini bisa muncul, karena akan sangat penting dalam menjelaskan bagaimana pola penurunan gen yang saling berinteraksi.
DNA Sebagai Materi Genetik
DNA, atau deoxyribonucleic acid, adalah suatu molekul polimer yang disusun oleh molekul lebih kecil yang berulang-ulang. Molekul lebih kecil ini disebut juga sebagai nukleotida, yang terdiri dari 4 macam, Adenin (A), Timin (T), Guanin (G), dan Sitosin (C). Molekul nukleotida ini tergabung dengan yang lain, seperti halnya mata rantai saling terhubung menjadi rantai yang panjang. Panjang rantai nukleotida dan membentuk DNA ini bisa terdiri dari ratusan, ribuan, sampai miliaran nukleotida.
Rantai panjang DNA ini kemudian akan berpasangan dengan rantai DNA lainnnya, yang memiliki urutan yang berlawanan atau komplemen. Pasangan DNA ini terjadi karena nukleotida A akan selalu berpasangan dengan T, dan nukleotida G akan selalu berpasangan dengan C. Rantai yang sudah berpasangan ini, yang kita sebut juga sebagai rantai ganda, kemudian akan membentuk struktur heliks ganda, yang khas dimiliki oleh DNA dan sering kita lihat seperti pada ilustrasi di bawah ini.
Sebuah rantai ganda DNA di dalam sel umumnya disebut juga sebagai kromosom. Jika di dalam sel memiliki 23 pasang, atau 46 kromosom, seperti halnya manusia, artinya di setiap sel manusia terdapat 46 molekul DNA.
Pada organisme diploid seperti manusia, separuh kromosom yang ada di sel akan berasal dari ayah, dan separuh berasal dari ibu. Kromosom yang membawa gen yang sama, akan berpasangan satu sama lain. Kromosom yang berpasangan ini disebut juga sebagai kromosom homolog. Adanya kromosom dengan gen yang sama berpasangan inilah yang menyebabkan setiap penulisan gen selalu dalam bentuk pasangan, contohnya AA atau Aa.
Gen dan Alel
Di dalam setiap molekul DNA, terdapat bagian-bagian yang berisi urutan kode yang membawa sifat. Bagian DNA yang mengkode suatu sifat ini disebut juga sebagai gen. Sifat yang dituliskan di dalam gen bisa seperti yang tampak di luar, seperti warna rambut, tinggi badan, golongan darah. Namun, gen juga mengkode komponen dari setiap bagian tubuh kita. Mulai dari enzim-enzim pencernaan, hemoglobin darah, protein otot, dan lainnya. Gen-gen ini dapat memiliki variasi. Contohnya, gen golongan darah dapat menghasilkan variasi golongan darah A, B, AB, dan O. Gen ini juga bisa dalam bentuk suatu penyakit genetis. Misalnya terdapat variasi gen hemoglobin normal, dan hemoglobin abnormal yang menyebabkan penyakit talasemia. Variasi gen ini disebut juga sebagai alel.
Dari pelajaran mengenai hereditas Mendel, kalian pasti sudah tau tentang adanya alel yang dominan dan resesif. Di antara kalian pasti ada yang bertanya-tanya, kenapa ada alel yang bersifat dominan dan resesif? Selain itu, ada juga alel yang bersifat kodominan, yang artinya alel-alel tersebut sama-sama bersifat dominan dan dapat muncul secara bersamaan. Contohnya adalah alel A dan alel B pada golongan darah, yang bersifat kodominan sehingga memunculkan golongan darah AB.
Pada bab mengenai materi genetik, kalian pasti sudah belajar mengenai apa yang disebut sebagai ekspresi gen. Ekspresi gen yang dimaksud disini adalah proses transkripsi DNA menjadi RNA, dan dilanjutkan dengan proses trasnslasi menjadi protein. Dari proses ini kita tau kalo kode yang ada di DNA akan diekspresikan sebagai protein.
Jika alel dari suatu gen adalah suatu DNA yang dapat menghasilkan suatu protein yang berfungsi, maka alel tersebut akan bersifat dominan. Jika alel tersebut merupakan DNA yang mengalami mutasi, sehingga tidak lagi menghasilkan protein yang berfungsi, maka alel itu akan bersifat resesif.
Coba gw pake gen warna bunga sebagai contoh, ada alel bunga berwarna putih dan ungu. Kira-kira manakah alel warna manakah yang bersifat dominan/resesif? Untuk mengetahui hal ini, kita harus mengetahui dua hal. Pertama, bagaimanakah proses kimiawi pembentukan warna pada bunga? Kedua, seperti apa aktivitas protein yang diekspresikan oleh masing-masing alel?
Misalkan jawaban dari petanyaan pertama adalah, terdapat suatu senyawa pigmen berwarna putih yang diubah oleh enzim X menjadi pigmen berwarna ungu. Dari informasi ini, kita dapat menduga kalau bunga akan menjadi berwarna ungu ketika enzim X dihasilkan, dan berwarna putih ketika enzim X tidak dihasilkan. Kemudian, ternyata alel dari warna ungu adalah suatu DNA yang mengkode enzim X yang aktif, sedangkan alel warna putih adalah DNA yang mengkode enzim X yang inaktif.
Ketika bunga ini membawa sepasang alel yang membawa enzim yang aktif, sebut saja XX, maka bunga yang dihasilkan akan berwarna ungu. Jika hanya salah satu saja alel pengkode enzim aktif, atau Xx, akan tetap tersedia enzim yang mengahsilkan pigmen ungu. Sehingga bunga akan tetap berwarna ungu. Ketika bunga hanya memiliki alel pengkode enzim inaktif, atau xx, bunga tersebut akan berwarna putih.
Hasil ini menunjukkan bahwa alel untuk warna ungu bersifat dominan, sedangkan alel putih bersifat resesif. Hal ini disebabkan karena, alel ungu membawa suatu enzim yang berfungsi, sedangkan alel putih tidak. Pola ini akan kita temukan pada semua jenis gen dan alel. ketika suatu alel membawa suatu komponen yang berfungsi, maka dia akan bersifat dominan. Ketika hanya salah satu alel membawa fungsi, maka alel lainnya akan bersifat resesif. Seperti pada contoh warna bunga di atas. Namun, ketika lebih dari satu alel membawa fungsi, seperti alel golongan darah A dan B, maka alel tersebut akan bersifat kodominan.
Interaksi Gen
Gen dan produk-produknya dapat berinteraksi satu sama lain. Hal itu disebabkan karena gen dan protein berada di dalam suatu sistem besar bernama sistem metabolisme. Sistem metabolisme in meliputi semua proses biokimia di dalam tubuh, semua reaksi kimia yang terjadi, oleh enzim tertentu, dan dalam kondisi tertentu. Ketika protein, produk dari gen, berinteraksi dengan protein lainnya, itu adalah salah satu cara gen bisa berinteraksi satu sama lain. Ketika terjadi mutase pada salah satu gen yang berinteraksi ini, kita akan mengamati efeknya dalam bentuk penyimpangan semu Mendel.
Sekarang gw bakal kasih contoh bagaimana gen bisa berinteraksi satu sama lain, dan bagaimana konsekuensinya. Sekarang coba amati beberapa jalur metabolisme pembentukan pigmen bunga berikut ini.
Kriptomeri
Kriptomeri adalah fenomena dimana suatu sifat tidak dapat muncul jika hanya salah satu alel dominan yang muncul, dan membutuhkan kerja dari dua alel dominan untuk dapat diekspresikan. Fenomena ini dapat muncul jika suatu sifat membutuhkan dua enzim untuk dapat diekspresikan, seperti pada contoh pertama.
Pada contoh pertama, reaksi dari pigmen putih membutuhkan kerja dari enzim A dan enzim B. Enzim A dikode oleh alel dominan A, dan enzim B dikode oleh alel dominan B. Alel resesif dari kedua enzim adalah a dan b.
Jika suatu individu memiliki genotipe A_B_, atau alel dominan untuk kedua enzim, maka individu tersebut akan berwarna merah karena memiliki reaksi yang sempurna.
Untuk semua genotype yang lain, A_bb, aaB_, dan aabb, pigmen putih tidak dapat diubah menjadi pigmen merah.
Jika dua individu dengan genotype AABB dan aabb disilangkan, dan F1 dari mereka dengan genotype AaBb disilangkan kembali ,maka rasio anakannya akan menjadi seperti di bawah ini:
Epistasis
Epistasis adalah suatu fenomena dimana suatu alel dominan tidak dapat diekspresikan tanpa adanya alel dominan yang lain. Menandakan adanya alel dominan yang derajatnya lebih tinggi dibanding yang lain. Hal ini dapat disebabkan karena kedua alel dominan mengkode enzim/protein yang berada dalam satu jalur metabolism, dan alel yang lebih dominan berada di posisi lebih awal. Fenomena seperti ini dapat ditunjukkan oleh contoh 2.
Pada contoh kedua, terdapat jalur reaksi pigmen putih menjadi kuning, kemudian merah. Reaksi dari pigmen putih menjadi merah dilakukan oleh enzim A, dan reaksi pigmen kuning ke merah oleh enzim B. ekspresi enzim A dikode oleh alel dominan A, dan enzim B dikode oleh alel dominan B. alel resesif untk masing-masing enzim adalah a dan b.
Jika suatu individu memiliki genotipe A_B_, atau alel dominan untuk kedua enzim, maka individu tersebut akan berwarna merah karena memiliki reaksi yang sempurna.
Jika genotype yang dimiliki adalah homozigot resesif untuk kedua enzim, atau aabb, maka reaksi akan tertahan di pigmen putih, menyebabkan bunga berwarna putih.
Jika individu tersebut memiliki genotipe A_bb, atau memiliki alel dominan untuk Enzim A namun homozigot resesif untuk Enzim B, maka senyawa pigmen merah tidak dapat dihasilkan, dan reaksi hanya akan tertahan di pigmen kuning. Menghasilkan individu dengan bunga bewarana kuning.
Jika genotipe yang dimiliki adalah aaB_, atau homozigot resesif Enzim A dan memiliki alel dominan Enzim B, maka pigmen kuning dan merah tidak akan dihasilkan sekalipun Enzim B tersedia. Menyebabkan bunga yang dihasilkan berwarna putih. Kejadian ini menunjukkan bahwa alel E1 lebih dominan dibandingkan E2. Dengan kata lain, E1 bersifat Epistasis terhadap E2 (Epi = atas), dan E2 bersifat Hipostasis terhadap E1 (Hipo = bawah).
Jika dua individu dengan genotype AABB dan aabb disilangkan, dan F1 dari mereka dengan genotype AaBb disilangkan kembali ,maka rasio anakannya akan menjadi seperti di bawah ini:
Polimeri
Pada contoh ketiga, reaksi pigmen bunga putih menjadi pigmen bunga merah dapat dilakukan oleh 2 enzim, enzim A dan enzim B. Kedua enzim dikode oleh alel dominan A dan B, seperti pada contoh sebelumnya. Dengan ini, selama salah satu alel dominan ada, maka pigmen merah akan dihasilkan. Hanya jika gen untuk enzim alel bersifat homozigot resesif , aabb, maka bunga yang dihasilkan akan berwarna putih.
Jika dua individu dengan genotype AABB dan aabb disilangkan, dan F1 dari mereka dengan genotype AaBb disilangkan kembali ,maka rasio anakannya akan menjadi seperti di bawah ini:
Atavisme
Pada contoh keempat, pigmen putih dapat diubah menjadi pigmen merah oleh enzim A, dan menjadi biru menjadi enzim B. Ketika enzim A dan B diekspresikan bersamaan, maka pigmen merah dan biru akan diekspresikan bersamaan dan bercampur menjadi warna ungu.
Persilangan antara individu heterozigot untuk kedua gen (AaBb) akan menghasilkan hasil seperti ini.
Pada keempat contoh penyimpangan Mendel diatas, tampak bahwa semua rasio hasil persilangan dihibrid hanya sebuah modifikasi dari rasio 9:3:3:1. Modifikasi yang terjadi sangat tergantung dengan bagaimana gen yang berbeda saling berinteraksi. Keempat contoh yang ada diatas hanyalah sebagian kecil dari bagaimana gen, enzim, dan protein dapat berinteraksi satu sama lain. Karena sistem metabolisme adalah sebuah sistem yang sangat besar, yang melibatkan ribuan gen sekaligus. Karena itu bagaimana satu gen berinteraksi dengan gen lainnya masih diteliti terus menerus sampai hari ini.
Masih butuh closing kayaknya. Endingnya sedikit gantung. Mungkin tease untuk seri selanjutnya (kalo ada)?
Leave a Comment