Memperingati Hari Kartini pada tanggal 21 April dengan melihat bagaimana Kartini memperjuangkan hak perempuan di masa kolonial Belanda.
Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Hayo … siapa yang tahu ini lirik lagu apa?
Yup, bener banget! Ini adalah lirik lagu “Ibu Kita Kartini” (1929) yang diciptakan oleh W.R. Supratman. Gue yakin elo sudah familiar banget sama lagu ini, karena sejak kita duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), kita diajarkan banyak lagu nasional dan daerah. Salah satunya ya lagu “Ibu Kita Kartini” ini.
Dari lirik lagunya saja, rasanya kita kayak diajak mengikuti perjuangan Ibu Kartini, ya? Terutama buat para perempuan, kita bisa punya kesempatan mengemban pendidikan setinggi-tingginya juga nggak terlepas dari perjuangan Kartini. Ini juga yang bikin kita merayakan Hari Kartini setiap tanggal 21 April.
Sebelum pandemi sih, biasanya perayaan Hari Kartini diisi sama peragaan memakai busana daerah. Dulu gue sering banget pakai baju kebaya ke sekolah pas lagi merayakan Hari Kartini!
Ngomongin Hari Kartini, kira-kira elo tahu nggak apa yang melatarbelakangi perayaan hari nasional ini dan gimana perjuangan Ibu Kartini memperjuangkan hak perempuan pada masa penjajahan Belanda saat itu?
Nah, supaya elo semakin semangat menyambut Hari Kartini, ikut gue menelusuri perjuangan Ibu Kartini bareng-bareng, yuk!
Siapa Itu Kartini?
Seperti biasa sebelum kita membahas lebih dalam, kita kenalan sama sosok Ibu Kartini dulu, ya.
Lahir dengan nama Raden Ayu Kartini (atau yang lebih akrab disapa Raden Ajeng Kartini/R.A. Kartini), ia lahir di Jepara (pada saat itu masih wilayah Hindia Belanda) pada tanggal 21 April 1879. Kalau elo suka dengar istilah “bangsawan berdarah biru”, nah Kartini ini termasuk salah satu orang berdarah biru.
Ayahnya bernama Raden Mas Adipati (RMA) Ario Sosroningrat yang merupakan seorang patih/wedana sekaligus calon bupati Jepara. Sedangkan ibunya bernama M.A. Ngasirah yang merupakan seorang anak dari mandor pabrik gula.
Namun untuk bisa menduduki posisi bupati, ayahnya harus menikah dengan seorang bangsawan. Jadilah Kartini memiliki ibu tiri bernama R.A. Woerjan (Moerjam), keturunan dari Raja Madura.
Karena kedudukan ayahnya tersebut, Kartini bisa dibilang seorang anak yang lahir dari kalangan kelas bangsawan Jawa. Terlebih lagi pada masa itu, perempuan yang berasal dari keturunan terhormat nggak punya kesempatan buat bebas berekspresi.
Jangankan berekspresi, kalau mau bicara saja cuma boleh kalau benar-benar perlu, itu juga sambil bisik-bisik! Cara jalannya juga sangat diperhatikan di mana mereka harus berjalan pelan, tertawa tanpa suara, dan nggak boleh terlihat gigi.
Meskipun lingkungannya sangat kental dengan aturan, ayah Kartini berpikiran terbuka dan memberikan kesempatan untuk Kartini bersekolah di Europese Lagere School (ELS), yaitu Sekolah Dasar (SD) yang berisikan anak-anak bangsawan/pejabat di Hindia Belanda.
Mulai dari sini, kehidupan Kartini perlahan berubah. Seakan matanya terbuka dengan persepsi baru sampai ia memiliki cita-cita mulia untuk mendirikan sekolah supaya bisa menyekolahkan anak perempuan pada masa itu.
Kalau elo penasaran sama cerita kehidupan Kartini mulai sejak kecil hingga tutup usia, elo bisa baca kisah lengkapnya di Kartini: Bukan Hanya tentang Kebaya
Perayaan Hari Kartini
Kisah hidup Kartini yang sangat inspiratif membuat dirinya dikenang sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Nggak cuma itu saja, tapi hari kelahirannya juga menjadi hari perayaan nasional, Hari Kartini, setiap 21 April.
Hari Kartini pertama kali dirayakan sebagai hari nasional pada tahun 1964, yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada saat itu.
Perayaan Hari Kartini ini merupakan simbol emansipasi wanita yang dilakukan oleh R.A. Kartini pada zaman kolonial Belanda. Kartini berjuang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, khususnya hak mendapatkan kesetaraan dalam bidang pendidikan untuk bisa mengemban ilmu dan bersekolah.
Biasanya, perayaan Hari Kartini lekat banget dengan kebaya, pakaian adat, dan lagu-lagu nasional khususnya lagu “Ibu Kita Kartini”. Tapi, sebenarnya Hari Kartini lebih dari itu. Apalagi mengingat perjuangan Kartini yang sangat menginspirasi lewat intelektual dan keberaniannya sebagai perempuan di masa penjajahan Belanda.
Penasaran nggak, gimana latar belakang munculnya perayaan Hari Kartini?
Baca Juga: Hari Perempuan Sedunia: Gimana Perempuan di Dunia Berjuang Menuntut Kesetaraan Hak?
Latar Belakang Hari Kartini
Nah, kalau kita berbicara tentang latar belakang Hari Kartini, ini berarti kita harus tahu dulu latar belakang Kartini ingin memperjuangkan hak asasi manusia (khususnya hak perempuan) pada masa kolonial Belanda.
Memangnya bagaimana sih kehidupan bangsa Indonesia pada masa kolonialisme? Nah, elo bisa pelajari sejarah lengkapnya lewat materi belajar di bawah ini, ya!
Jadi, pada masa penjajahan Belanda, perempuan seakan nggak punya ruang gerak yang bebas. Perempuan keturunan dari keluarga terhormat seperti Kartini saja merasa sesak, gimana perempuan lainnya?
Bisa dibilang, saat itu perempuan Indonesia punya hak yang sangat terbatas. Contohnya, hanya sedikit dari mereka yang beruntung untuk bisa mendapatkan pendidikan yang baik. Ya … perempuan yang bisa sekolah merupakan perempuan keturunan bangsawan pada saat itu.
Meskipun Kartini menjadi salah satu perempuan yang cukup beruntung karena bisa mencicipi pendidikan, tapi sayang, ia juga tetap harus menjalani masa “isolasi” atau “pingitan” setelah menginjak usia sekitar 12 tahun.
Singkatnya, perempuan hanya dipersiapkan untuk menikah saja pada saat itu. Ketika lagi menjalani masa isolasi ini, perempuan juga dilarang untuk keluar rumah sampai mereka menikah.
Selama masa pingitan, perempuan diharapkan bisa menjadi istri yang baik dengan kemampuan memasak, menjahit, nurut sama suami, dan bisa melakukan pekerjaan rumah tangga dengan baik. Ya istilahnya … sebagai perempuan, hanya perlu kemampuan untuk mengurus rumah sebagai istri saja, deh!
Kartini memang mau nggak mau menjalani masa pingitan, tapi jiwa pejuangnya nggak pudar. Dilansir dari Tirto, Kartini mengisi waktu selama dipingit dengan menuliskan surat untuk teman-temannya yang banyak berasal dari Eropa.
Surat-surat Kartini pun kemudian diterbitkan menjadi buku yang dikenal dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang (1911) yang diterjemahkan oleh Armijn Pane.
Melansir Kompas, buku Habis Gelap Terbitlah Terang berisikan banyak tentang nasionalisme, negara, bangsa, demokrasi, kesadaran nasional, hingga kemerdekaan. Ini juga yang mendorong semangat Kartini untuk mendirikan sekolah perempuan pertama di daerah Rembang, Jawa Tengah.
Karena perjuangannya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan yang tertulis dalam nilai-nilai Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Presiden Soekarno menetapkan Kartini sebagai salah satu pahlawan nasional dan Hari Kartini resmi menjadi hari nasional pada tanggal 2 Mei 1964.
Perayaan Hari Kartini pun dipilih bertepatan dengan hari lahirnya Kartini yaitu tanggal 21 April.
Oh iya, selain R.A. Kartini, ada juga pahlawan perempuan yang tak henti memperjuangkan pendidikan perempuan di Indonesia, lho. Elo mungkin sudah familiar sama sosok yang bernama Raden Dewi Sartika.
Kalau elo mau baca cerita perjuangan Raden Dewi Sartika dalam memperjuangkan pendidikan, elo bisa baca selengkapnya di artikel Raden Dewi Sartika dan Perjuangannya dalam Pendidikan ini, ya!
Perjuangan dan Bentuk Perlawanan Kartini
Ternyata kehidupan perempuan di masa lalu tuh nggak gampang, ya. Apalagi feodalisme dan budaya patriarki masih sangat kental saat itu.
Feodalisme itu apa, sih? Buat elo yang belum tahu, feodalisme merupakan sistem yang menempatkan para bangsawan atau orang berpengaruh lainnya memegang kendali atas suatu wilayah.
Jadi, rakyat kecil yang nggak punya apa-apa meminta perlindungan kepada para bangsawan dengan catatan mereka harus bekerja atau menjadi buruh bagi si bangsawan ini.
Kartini yang lahir sebagai keturunan dari keluarga terhormat saja merasa sesak dengan segala keterbatasan yang ada di zaman ini, apalagi perempuan yang lahir dari rakyat kelas bawah. Mereka seakan nggak punya hak untuk memilih jalan hidup mereka sendiri.
Terlebih lagi, budaya patriarki masih sangat kental dan mendominasi di kala itu. Budaya patriarki merupakan perlakuan yang menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Di dalam budaya patriarki, laki-laki dinilai memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Hal ini kemudian membuat ruang gerak perempuan semakin sempit, mengingat laki-laki memiliki kebebasan lebih banyak yang berasal dari status gendernya. Sejak menginjak bangku sekolah, Kartini menginginkan kehidupan perempuan yang berbeda dari yang seharusnya di masa itu.
Kartini sudah menunjukkan ketertarikannya untuk memperjuangkan hak perempuan supaya bisa memiliki pendidikan yang setara dengan laki-laki sejak berumur belasan tahun. Melansir dari Jurnal Perempuan: Kartini: Pembebasan Laki-laki dari Patriarki (2015), ketika memasuki usia kepala dua, Kartini semakin berani menunjukkan keinginannya tersebut.
Ia sering mengkritik hal-hal yang berkaitan erat dengan stereotip perempuan di masa itu seperti masalah poligami, keterbatasan pendidikan, minimnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan, dan posisi perempuan di dalam rumah tangga. Apalagi peraturan adat Jawa saat itu mengharuskan perempuan rela dimadu juga.
Sebagai seorang perempuan, sulit rasanya bagi Kartini untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia pun harus menerima aturan yang sangat membatasi perempuan berekspresi pada saat itu dengan setuju menikahi Bupati Rembang bernama KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Tetapi perjuangan Kartini nggak berhenti hanya karena ia telah berstatus sebagai seorang istri, justru ia malah semakin bersemangat untuk memperjuangkan hak dan derajat perempuan khususnya di bidang pendidikan.
Melansir VOI, atas dukungan dari suaminya, sebuah sekolah perempuan akhirnya didirikan di sebelah timur pintu gerbang Kantor Bupati Rembang. Di masa sekarang, gedung sekolah ini dikenal menjadi Gedung Pramuka.
Setelah Kartini wafat pada 17 September 1904, butuh waktu bertahun-tahun lamanya sampai akhirnya cita-cita dan perjuangan Kartini dilihat oleh banyak orang. Dimulai dari diterbitkannya surat-surat Kartini pada tahun 1911.
Kemudian, seorang tokoh politik etis Belanda bernama Conrad Theodore van Deventer yang terkesan dengan tulisan-tulisan Kartini merasa tergerak untuk membantu mewujudkan keinginan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan.
Hingga pada akhirnya, di tahun 1912, didirikanlah sekolah perempuan di bawah Yayasan Sekolah Kartini di Semarang. Sekolah tersebut dinamakan Sekolah Kartini. Pendirian sekolah perempuan pun semakin meluas hingga ke beberapa daerah lainnya seperti Cirebon, Yogyakarta, Madiun, Malang, dan Surabaya.
Perjuangan Kartini ini berhasil membuka kesempatan bagi para perempuan untuk bisa mengemban pendidikan yang layak. Sampai hari ini, masih banyak perempuan yang meneruskan perjuangan Kartini.
Melansir BBC Indonesia, bisa terlihat bagaimana representasi perempuan yang bisa duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak tahun 1955–2024 mengalami peningkatan walaupun nggak secara drastis.
Pada periode tahun 1955–1971, laki-laki mendominasi kursi DPR hingga 94,1%, sedangkan perempuan hanya 5,9%. Tapi, pada periode 2019–2024 sekarang, jumlah perempuan yang menduduki kursi DPR sudah meningkat hingga 20,5%.
Terlebih lagi, Indonesia pernah dipimpin oleh presiden perempuan pertama yaitu Megawati Soekarnoputri yang memimpin Indonesia sejak tahun 2001–2004.
Meskipun laki-laki masih mendominasi, tapi setidaknya, sudah terlihat bagaimana perempuan bisa perlahan menghapuskan anggapan kalau perempuan hanya cocok untuk bekerja di dapur sebagai ibu rumah tangga, dan memiliki status dalam bidang politik yang sama dengan laki-laki.
Baca Juga: 3 Cerita Sedih RA Kartini: Kena Diskriminasi hingga Putus Sekolah
Tujuan Memperingati Hari Kartini
Setelah melihat perjuangan Kartini yang luar biasa sehingga bisa melahirkan banyak perempuan berpendidikan hebat hingga hari ini, sebenarnya apa sih tujuan memperingati Hari Kartini?
Dilansir dari Facts of Indonesia, Hari Kartini yang dirayakan setiap tanggal 21 April di seluruh Indonesia ini bertujuan untuk memperingati sekaligus menghormati perjuangan R.A. Kartini selama memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan khususnya dalam bidang pendidikan.
Perayaan Hari Kartini diharapkan mampu mendorong semangat para perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan emansipasi perempuan di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Terus, mengapa Hari Kartini lekat dengan yang namanya emansipasi perempuan?
Alasannya karena Kartini berjuang supaya bisa menyekolahkan para perempuan agar mereka bisa bekerja dan membantu keluarganya kelak. Nggak cuma dipersiapkan untuk menjadi seorang istri yang terdiam di dalam rumah tangga saja.
Meskipun perjuangan Kartini nggak dilakukan dengan perang seperti yang dilakukan Cut Meutia, tapi Kartini berhasil membangun persepsi lain tentang betapa pentingnya pendidikan nggak hanya untuk laki-laki tapi juga perempuan, melalui pemikiran cerdas dan modern yang efektif.
Selain itu, tujuan memperingati Hari Kartini juga dilakukan untuk mengenalkan sosok Kartini kepada para generasi muda penerus bangsa. Ceritanya yang inspiratif dan sosoknya yang menawan ini terus diperkenalkan secara turun temurun, dengan lagunya yang dinyanyikan sebagai lagu nasional sepanjang masa.
Jadi, selain bisa mengenal sosok Kartini, acara ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengenalkan budaya Indonesia yang diperlihatkan lewat pakaian adat dan lagu-lagu nusantara kepada para siswa.
Baca Juga: Hari Perempuan Sedunia: 3 Perempuan Hebat dan Pengaruhnya
Ide Memperingati Hari Kartini
Setelah tahu tujuan memperingati Hari Kartini, sudah mulai ada ide memperingati Hari Kartini belum, nih?
Seperti yang sudah sempat disinggung sebelumnya, sebelum masa pandemi, sekolah biasanya mengadakan acara parade budaya pada Hari Kartini.
Di sisi lain, ide memperingati Hari Kartini juga nggak harus terbatas pada sanggul dan kebaya saja, tapi juga bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih besar, seperti:
- Sebagai momen untuk memperkuat pemberdayaan perempuan di Indonesia dan dunia secara lebih luas.
- Momentum penguatan advokasi dan aksi nyata dalam meningkatkan kualitas pendidikan formal yang kemudian bisa meningkatkan kualitas hidup perempuan.
- Hari untuk mendorong kesadaran laki-laki untuk terlibat aktif dalam mewujudkan keadilan gender.
- Hari untuk memperkuat penghapusan kekerasan pada perempuan, baik itu kekerasan fisik, mental, maupun kekerasan dalam rumah tangga.
Relevansi Kartini di Masa Sekarang
Wah, perayaan Hari Kartini ternyata seru banget, ya!
Elo nggak cuma merayakannya buat menghormati perjuangan R.A. Kartini, tetapi juga bisa meneruskan perjuangannya untuk mendapatkan kesetaraan gender yang layak antara laki-laki dan perempuan.
Kalau kita melihat ke masa sekarang, sih, rasanya perempuan sudah memiliki kesempatan yang lebih baik dalam berekspresi, ya? Buktinya saja, kita punya bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya mulai dari SD sampai ke tingkat universitas.
Ini juga merupakan hasil nyata dari perjuangan Ibu Kartini, lho! Bayangkan kalau nggak pernah ada Kartini di Indonesia, mungkin nasib perempuan bisa berbeda, nggak kayak sekarang. Pada masanya, Kartini melawan norma-norma yang mungkin dianggap sudah usang di masa sekarang.
Meskipun kita sudah bisa bersekolah dengan lebih leluasa dibandingkan ketika perempuan hidup di zaman penjajahan, kita belum benar-benar mendapatkan kesetaraan gender yang maksimal.
Menurut data dari Statista, hanya 15% dari 500 perusahaan yang tergabung dalam Fortune 500 Companies yang memiliki Chief Executive Officer (CEO) perempuan di Amerika Serikat.
Jadi, bagaimana relevansi perjuangan Kartini dalam kehidupan kita di masa sekarang? Menurut Nisrina Candra Kirana, seorang reporter berita di Metro TV, Kartini merupakan sosok yang sangat menginspirasi yang bisa mendorong perempuan untuk menjadi pejuang perubahan bangsa.
Buah pikir Kartini di masa lalu juga masih sangat terasa relatable hingga sekarang, salah satunya yaitu emansipasi perempuan.
“Berkat perjuangan Kartini, sampai dengan saat ini, para perempuan Indonesia bisa meraih pendidikan yang tinggi (kalau mereka mau). Bahkan, seorang perempuan juga bisa menduduki posisi yang tinggi dalam sebuah kepemimpinan. Emansipasi perempuan memberikan kesempatan yang sama untuk perempuan berprestasi di berbagai bidang yang sama dengan laki-laki,” tanggapan Nisrina saat ditanya mengenai peninggalan Kartini yang masih melekat di kehidupan perempuan saat ini.
Lalu, bagaimana nih cara kita supaya bisa meneruskan perjuangan Kartini di era modern ini? Menurut Nisrina, caranya adalah dengan terus belajar.
“Ilmu merupakan sebuah pintu. Jadi, ketika pintu itu sudah bisa terbuka (dengan terus belajar), maka seorang perempuan bisa menemukan ribuan jalan yang bisa dipilih untuk ikut berkontribusi di dalam masyarakat.”
Itu dia tadi cerita tentang bagaimana Kartini memperjuangkan hak perempuan di masa kolonial Belanda. Memang banyak rintangan yang dihadapi, tetapi itu nggak memadamkan semangat perjuangan Kartini untuk perempuan bisa mendapatkan pendidikan yang layak.
Kartini pun menjadi simbol emansipasi perempuan yang artinya, siapapun bisa menjadi sosok Kartini dan membawa semangat perjuangannya dari masa ke masa. Kira-kira, elo siap nggak jadi sosok Kartini selanjutnya?
Selamat Hari Kartini, Sobat Zenius!
Leave a Comment