Kata siapa sikap anti-asing tidak membahayakan? Ini cerita bagaimana Kehancuran Tiongkok karena menolak kolaborasi teknologi dari kebudayaan Barat.
Halo ketemu lagi sama gw Marcel, di topik sejarah Zenius Blog! Pada kesempatan kali ini gua mau ceritain kisah tentang hubungan 2 kekaisaran raksasa yang unik banget, yaitu tentang Kekaisaran Rusia dan Kekaisaran Tiongkok pada abad 17-20. Wah, kok tiba-tiba Zenius bahas tema yang aneh begini?
Nah justru itu, topik ini jarang banget dibahas dalam pelajaran sejarah, tapi sebetulnya hubungan kedua kekaisaran raksasa ini menarik banget. Karena pada akhirnya, hubungan unik antar 2 kerajaan ini akan berujung pada 2 peristiwa sejarah yang besar, yakni:
- Aneksasi (pengambilalihan kekuasaan) paling brilian sepanjang sejarah! Bagaimana kekaisaran Rusia bisa mencaplok sebuah wilayah kekaisaran Tiongkok dengan luas 600.000 km² tanpa adanya bentrokan senjata sama sekali!
- Sebagai salah satu pemicu runtuhnya Kekaisaran Tiongkok yang sudah berumur lebih dari 4.000 tahun! Peristiwa ini nantinya ditandai oleh revolusi Tiongkok oleh Sun Yat Sen menjadi Republic of China di tahun 1912.
Nah, buat lo yang penasaran, langsung aja kita meluncur dengan mesin waktu ke tahun 1650an. Pada era inilah, kontak pertama antar 2 kekaisaran raksasa ini terjadi.
First Contact antara 2 Kerajaan Raksasa (1650-1689)
Kontak pertama antara kekaisaran Rusia dan Cina terjadi di daerah sungai Sungari (anak sungai Amur), daerah yang bisa disebut “Manchuria Luar” di tahun 1650an. Pada abad 17 dulu, pusat peradaban Kekaisaran Rusia berkembang sangat pesat di daerah Barat, dimana pusatnya adalah di Moscow. Sebagai kekaisaran yang besar, ada banyak para penjelajah Rusia yang penasaran:
“Ada apa sih di sisi Timur sana? Sampai di mana sih ujung dataran yang maha luas ini?”
Maka dari itu, dimulailah penjelajahan bangsa Rusia ke arah timur jauh. Dalam menjelajah, bangsa Rusia ini menggunakan kuda selama puluhan tahun! Pada saat penjelajahan inilah, bangsa Rusia pertama kali bertemu dengan orang-orang Asia tengah, orang-orang Mongoloid, dan juga Sino Tibetan. Sampai akhirnya mereka tiba juga di ujung “dunia”, yang para ahli sejarawan bersepakat menamai daerah tersebut dengan sebutan Outer Manchuria atau Manchuria luar. Kira-kira lokasinya di sini:
Jauh buangeet yak! Kalo dikira-kira jarak antara Moscow ke daerah paling ujung Manchuria luar itu sekitar 9.000 km! Ga heran kalo para penjelajah itu butuh waktu bertahun-tahun untuk sampai ke situ.
Kembali ke para penjelajah Rusia, singkat cerita pasukan berkuda kekaisaran Rusia tiba di Manchuria Luar di tahun 1650, tapi mereka gagal untuk menguasai daerah yang pada saat itu diduduki oleh suku Manchu yang baru saja menaklukkan Tiongkok dan mendirikan Kekaisaran Qing. Pasukan Rusia yang berada jauh sekali dari ibukota mereka, kalah jumlah dan kalah persenjataan dibandingkan pasukan Qing. Di tahun 1672, pasukan Rusia kembali untuk mencoba menguasai daerah itu lagi, tetapi sekali lagi pasukan Qing mengalahkan pasukan Rusia.
Berbagai macam upaya Rusia untuk menaklukan tanah yang amat jauh dari ibukota mereka ini berkali-kali digagalkan oleh tentara Qing. Sampai akhirnya, disepakatilah perjanjian Nerchinsk di tahun 1689. Menurut perjanjian ini, pegunungan Stanovoy dan Sungai Argun menjadi perbatasan kedua negara: sisi Utaranya adalah milik Kekaisaran Rusia, sisi Selatannya milik Kekaisaran Qing. Dengan lahirnya perjanjian Nerchinsk, untuk sementara kontak antar 2 kekaisaran raksasa ini selesai. Kalo lo mau tau perbatasan Qing dan Rusia, kira-kira gambarannya seperti ini:
Hubungan Dagang di Lembah Kyakhta
Setelah puluhan tahun berlalu, 2 kerajaan raksasa ini saling diem-dieman dan cuek-cuekan, akhirnya tiba juga saat ketika kedua kerajaan ini kembali melirik satu sama lain. Alasannya apa? Kali ini bukan dalam konteks perang, tapi urusan dagang! Yah, namanya juga bisnis dan uang adalah hal yang universal ya. Kalo ada kesempatan dagang & saling menguntungkan, kenapa nggak?
Di satu sisi, para pedagang di Rusia sadar bahwa Tiongkok memiliki komoditas yang mereka inginkan seperti teh dan sutera. Di sisi lain, Rusia juga memiliki segudang hasil tambang, kulit hewan, dan bulu yang bisa mereka tawarkan ke para pedagang Tiongkok. Singkat cerita, kedua kekaisaran ini mengirimkan utusannya untuk berunding, pihak Rusia diwakili oleh seorang bangsawan-pedagang Serbia bernama Sava Vladislavich. Utusan ini bertemu di lembah terpencil bernama lembah Kyakhta tahun 1727.
Pada akhirnya, kedua utusan ini bersepakat untuk memulai perdagangan antar 2 kerajaan. Namun, jangan dibayangkan jalur distribusi perdagangan antar 2 kebudayaan raksasa ini dibuka secara terbuka & luas di sebuah pelabuhan internasional yang megah. Ingat, pada tahun 1700an dunia ini belum se-global sekarang. Dalam arti, kedua bangsa yang sangat berbeda latar belakang budaya ini masih sungkan untuk bergaul, berkomunikasi, bahkan saling mengenal satu sama lain.
Dua bangsa yang sangat berbeda ini masih sama-sama memandang orang asing sebagai “orang bar-bar” yang udik & tidak beradab. Oleh karena itu, secara tidak langsung, kedua bangsa ini “bersepakat” untuk hanya membatasi hubungan ini sebatas bisnis saja. Dalam arti, tidak ada pertukaran ilmu pengetahuan, tidak ada saling bertegur sapa, apalagi saling berkenalan, tidak ada pertukaran budaya, dari cara berpakaian, jenis masakan, dan sejenisnya.
“Pokoknya jangan sampai deh orang-orang asing itu mengkontaminasi budaya bangsa kita yang luhur!”
Begitu kira-kira yang ada dalam pikiran dua kekaisaran besar ini. Dalam dunia modern sekarang ini, sikap yang anti orang asing seperti ini dikenal dengan nama Xenophobia, sementara sikap dari orang-orang yang dipicu oleh xenophobia disebut xenophobic.
Lha, terus kalo ogah-ogahan gitu gimana dong dagangnya? Di sini uniknya, kedua bangsa ini berdagang di sebuah lembah tandus dan sangat tidak strategis untuk dijadikan tempat tinggal. Di lembah tersebut, pihak Rusia akan membangun kota kecil bernama Kyakhta. Beberapa ratus meter di arah selatan, pihak Tiongkok juga akan membangun kota kecil bernama Maimaicheng (Artinya: kota jual-beli). Bayangkan, sumber air terdekat berada 20 menit dari kedua kota ini, padahal di zaman itu belum ada teknologi air ledeng modern. Saking xenophobic-nya, Dinasti Qing bahkan melarang perempuan memasuki Kota Maimaicheng! (agar jangan sampai ada yang kawin campur).
Maka, selama ratusan tahun berikutnya, hanya 2 kota tandus, jorok, bau, dan kotor inilah yang boleh menjadi penghubung perdagangan hubungan dagang komoditas antar dua kekasairan raksasa ini. Semua kontak maupun perdagangan di daerah lain akan dianggap penyelundupan, dan diancam hukuman berat!
Keadaan kedua kota tsb kontras dengan perdagangan yang melalui dua daerah itu. Ribuan ton kulit, bulu, kain kasar, dan ginseng mengalir dari Kyakhta ke Maimaicheng. Dari arah sebaliknya, mengalirlah ribuan ton sutra, teh, dan rhubarb (sejenis genjer). Pihak Rusia menjual komoditas-komoditas dari Tiongkok itu bukan cuma untuk rakyatnya sendiri, tapi juga untuk dijual kembali ke negara-negara Eropa lainnya. Jadi, Kyakhta dan Maimaicheng praktis menjadi gerbang export-import antara Tiongkok dengan benua Eropa! Nilai komoditas-komoditas itu mencapai trilyunan Rupiah kalau dihitung dengan uang zaman sekarang! Ironi tersebut membuat banyak celetukan
“Rusia & Tiongkok adalah 2 kerajaan besar yang sangat kaya, tapi kok dagangnya di tempat kumuh begini ini sih?”
Perdagangan yang didasari oleh xenophobia ini berlangsung selama lebih dari 100 tahun sampai di era tahun 1800an. Dalam kurun waktu ini, bisa dikatakan Kerajaan Dinasti Qing tidak pernah punya kontak langsung dengan negara-negara Eropa lain, selain dengan kerajaan Rusia. Sampai tiba saatnya dimana bangsa-bangsa Eropa lain (selain Rusia) berhasil mencapai Tiongkok lewat jalur laut.
Bangsa Eropa mulai Berkembang, Tiongkok mulai Tertinggal
Kita rehat sejenak cerita tentang hubungan antar Kekaisaran Rusia dengan Kekaisaran Qing. Ada cerita menarik tentang bagaimana Kaisar Qing merespon kedatangan kapal-kapal dari Eropa, yang nantinya akan berdampak besar bagi hubungan Tiongkok dengan Rusia.
Ketika kapal-kapal Eropa seperti Inggris, Spanyol, dan Belanda mulai berdatangan ke wilayah Tiongkok melalui jalur laut. Dinasti Qing dibawah Kaisar Qianlong yang xenophobic, chauvinis, dan rasis menolak dengan tegas budaya asing dari Eropa. Kaisar Qianlong menyatakan kekaisaran Qing sudah memiliki segalanya, sehingga tak membutuhkan barang apapun maupun ilmu pengetahuan dan teknologi dari “negeri orang barbar” dari Eropa.
Selama puluhan tahun, Kekaisaran Qing hampir selalu menolak utusan dari kerajaan Eropa yang berminat untuk berdagang, dari mulai utusan dari Inggris tahun 1793, disusul dengan penolakan terhadap utusan Belanda (1794), dan utusan Russia (1805), dll. Satu-satunya perdagangan yang akhirnya diizinkan hanyalah di area yang sangat ketat dibatasi, yakni Kota Guangzhou.
Sama seperti di Kyakhta, perdagangan di Guangzhou juga dipantau ketat oleh dinasti Qing agar tidak terjadi pencemaran budaya. Orang-orang Eropa hanya boleh ditempatkan di daerah khusus dan tidak boleh keluar, mereka juga tidak boleh belajar bahasa Mandarin, dan cuma boleh bertemu pejabat rendahan, bukan kontak langsung dengan rakyat jelata. Tujuannya sama, agar tidak ada pencampuran budaya. Akibatnya, perdagangan di Guangzhou itu tidak bisa berkembang dalam skala yang besar.
Sikap xenophobia dari Dinasti Qing, khususnya Kaisar Qianlong ini justru menjadi salah satu pemicu awal keruntuhan budaya dan Kekaisaran Tiongkok. Lho kok bisa begitu? Karena sikap anti-asingnya ini, membuat Tiongkok tidak bisa mengejar ketertinggalan teknologi dan ilmu pengetahuan dengan budaya luar, khususnya budaya dan teknologi di Eropa.
Ketika James Watt menciptakan mesin uap di akhir abad 18, perkembangan industri, teknologi, dan ilmu pengetahuan di Eropa melesat jauh dengan kecepatan tinggi. Dengan adanya mesin uap, revolusi industri dimulai. produksi industri baja, tekstil, kertas, dan makanan meningkat drastis luar biasa. Selain itu, pelayaran dari Eropa ke benua-benua lain tidak terbatas oleh angin, tapi dengan uap sehingga mampu mempersingkat waktu dan memperkecil biaya perjalanan. Pada saat itulah, Bangsa Eropa tidak hanya membuka jaringan perdagangan ke manca negara, tapi juga memperluas kekuatan militernya ke seluruh penjuru dunia.
Pada masa inilah, tanpa sadar Kaisar Qianlong membuang kesempatan untuk merevolusi teknologi dan ilmu pengetahuan Tiongkok. Jika kita melihat pada era abad 17-18, bisa dikatakan, dari sisi teknologi maupun militer, Kekaisaran Qing jauh lebih unggul dari kerajaan-kerajaan di Eropa. Sampai tahun 1775, kekaisaran Qing adalah kekuatan yang ditakuti oleh semua seluruh dunia, baik secara ekonomi, budaya, dan militer. Namun, sikap anti asing yang berlarut-larut ini akhirnya membuat Kekaisaran Qing “ketinggalan kereta” dibandingkan kerajaan-kerajaan lain, khususnya Bangsa Eropa.
Kemunduran kekaisaran Qing ini menjadi jelas saat Inggris memaksa untuk menjual opium dengan kekuatan militernya, dan berhasil mengalahkan kekaisaran Qing dalam Perang Candu Pertama (1839-1842). Opium inilah (sejenis narkoba) yang nantinya menjadi salah satu biang kerok kekacauan di negeri Tiongkok, dimana jutaan orang Tionghoa menjadi kecanduan opium! Dari rakyat jelata hingga para bangsawan bahkan keluarga inti kekaisaran jatuh pada kecanduan opium. Kelak, opium inilah yang nantinya akan menjadi salah satu pemicu runtuhnya Kekaisaran Tiongkok pada awal abad 20.
Ketakutan Rusia terhadap Ekspansi Negara Eropa Lain.
Saat Kerajaan Qing mulai “diserang” oleh kekuatan Eropa, pihak Rusia justru yang mulai khawatir. Lho kok Rusia jadi ikutan khawatir, apa urusannya? Sebagaimana kita ketahui, wilayah Rusia itu luas sekali, membentang dari ujung Barat Moscow, sampai ke ujung Timur perbatasan sungai Amur di Manchuria.
Nah, bicara soal perbatasan wilayah timur, selama ini perbatasan wilayah di Manchuria ini terkunci oleh perjanjian Nerchinsk dengan Kerajaan Qing yang dibuat sekitar 150 tahun sebelumnya. Tapi di sisi lain, dengan semakin melemahnya kekuatan militer Kekaisaran Qing, area Outer Manchuria ini terancam dikuasai oleh para penjelajah Eropa lainnya.
Potensi pencaplokan area Outer Manchuria ini sangat tidak diinginkan oleh Rusia, kenapa? Karena sebetulnya sudah lama sekali Rusia menginginkan akses wilayah ini dikuasai oleh Rusia. Karena lokasi ini dinilai sangat strategis sebagai urat nadi perdagangan Rusia di masa depan ke kawasan Asia Timur: dari Korea, Jepang, Tiongkok, bahkan negara-negara di Asia Tenggara. Salah satu keistimewaan lain dari pesisir laut Outer Manchuria adalah kawasan dimana pantainya tidak beku ketika musim dingin. Otomatis lokasi itu menjadi sangat strategis untuk dijadikan dermaga perdagangan oleh Bangsa Rusia yang sangat menginginkan akses perdagangan ke wilayah timur jauh.
Kekhawatiran ini semakin nyata ketika Nikolay Muravyov, seorang gubernur daerah Siberia yang melihat kapal-kapal perang, nelayan, dan penjelajah milik Inggris, Perancis, Amerika Serikat yang mulai bergentayangan di muara sungai Argun dan Sungai Amur. Sementara itu, daerah pesisir Outer Manchuria yang seharusnya dikuasai oleh Kekaisaran Qing ternyata kosong! Tidak ada penduduk, tidak ada tentara, tidak ada benteng, tidak ada pangkalan militer! Area itu hanyalah hutan belantara tempat berburu sebagian kecil kelompok masyarakat setempat. Betapa cemasnya Muravyov atas kondisi ini sampai dia mengatakan
“Siapapun yang menguasai muara sungai Amur akan menguasai Siberia sampai ke Danau Baikal!”
Dengan segera, Muravyov berupaya mengabarkan pihak Tiongkok, agar Kekaisaran Qing segera mempertegas bahwa orang-orang Eropa tidak boleh memiliki akses ke Sungai Amur, dan yang berhak mengakses sungai Amur hanyalah orang Rusia & Tiongkok sesuai dengan perjanjian Nerchinsk!
Namun, walaupun telah berkali-kali pihak Kerajaan Rusia mengirimkan surat ke pihak Kekaisaran Qing, tetap tidak ada jawaban. Rupa-rupanya, di saat yang sama, kekaisaran Qing sedang kerepotan menghadapi pemberontakan Taiping (1850-1871) di daerah Cina Selatan. Di tengah repotnya meredam pemberontakan, pihak Tiongkok tidak beranggapan bahwa area perbatasan Manchuria penting untuk diurusin. Ada prioritas lain yang lebih penting, dan hampir semua tentara Qing difokuskan untuk meredam pemberontakan.
Akhirnya, Muravyov mengambil inisiatif sendiri untuk mengirim tentara Rusia dan membuat benteng di daerah Outer Manchuria untuk menjaga dari potensi invasi Inggris dan Perancis. Bukan cuma daerah sungai Amur, Muravyov juga mengirim tentara untuk “menjaga” pulau Sakhalin yang berada di seberang! Alhasil, tentara Rusia secara tidak langsung menduduki daerah tersebut.
Kekhawatiran pihak Rusia terbukti saat di tahun 1854 dan 1855 armada Inggris dan Perancis menyerang pantai Manchuria luar, karena waktu itu keduanya berperang melawan Rusia dalam Perang Krimea (1853 – 1856). Khawatir kalah jumlah, Muravyov mengatakan kepada pihak Kekaisaran Qing bahwa Inggris dan Perancis memasok persenjataan kepada pemberontak Taiping. Sehingga akhirnya, pasukan Qing membantu tentara Rusia membentengi area Manchuria dengan memberikan mereka peta, makanan, kuda, pemandu, dll. Lamban laun, Muravyov bukan cuma menempatkan tentara Rusia di daerah tsb, tapi juga penduduk sipil Rusia untuk mulai bermukim di daerah tersebut.
Kekurangan uang, tenaga manusia, energi, dan perhatian, Kekaisaran Qing semakin tidak punya waktu untuk memperhatikan perbatasan daerah Sungai Amur ini. Keadaan makin runyam karena Kekaisaran Qing yang rasis ngotot untuk melarang orang Han (salah satu etnis di rumpun besar Bangsa Tionghoa) bermukim di daerah Manchuria Luar ini. Semata-mata hanya karena tanah ini dikenal sebagai kampung halaman orang Manchu. Akibatnya, selama bertahun-tahun berikutnya penduduk Rusia yang bermukim semakin banyak, membuka pertanian di lahan tersebut, bahkan memasok gandum bagi penduduk Rusia di Siberia. Kedudukan Rusia di Manchuria Luar menjadi semakin mantap.
Upaya Pencaplokan Wilayah dengan 2 Perjanjian
Ketika perang Krimea berakhir di tahun 1856, Inggris dan Perancis mengajak Rusia untuk bergabung dengan mereka untuk menekan Kekaisaran Qing dan mendirikan koloni perdagangan Eropa di wilayah Asia Timur. Seolah ini tawaran yang bagus, tapi ternyata Rusia menolak pendekatan militer dan kekerasan. Lho, kok begitu? Bukannya kalau Kekaisaran Qing didesak oleh 3 kekuatan besar Eropa, mereka ga punya pilihan lain selain menurut?
Nah, justru itu. Pihak Rusia tau bahwa mereka adalah satu-satunya pihak yang akan memegang kunci dari kedua pihak, bila upaya kolonialisasi dilakukan dengan jalan perundingan! Ingat, selama ratusan tahun Tiongkok selalu menutup diri dengan orang-orang Eropa. Hanya orang Rusialah yang berpengalaman berdagang dengan orang-orang Tiongkok selama ratusan tahun di lembah Kyakhta! Di sisi lain, Kekaisaran Qing juga tidak punya akses sama sekali ke orang-orang Eropa, selain melalui Kerajaan Rusia! Jadi otomatis Rusia adalah satu-satunya mediator kunci dalam upaya negosiasi dan perundingan dagang!
“Oh, lo mau negosiasi sama orang China? Melalui gue aja! Gue kan udah pengalaman dagang sama mereka ratusan tahun!” – Rusia kepada pihak Inggris dan Perancis
“Oh, lo mau negosiasi sama orang Eropa? Melalui gue aja! Rusia kan negara tetangga mereka di Eropa, kami udah sering menjalin hubungan bilateral.” – Rusia kepada pihak Tiongkok
Padahal, di balik semua ini, Rusia punya rencana tersembunyi, yaitu merebut seluruh Manchuria Luar tanpa menembakkan satu peluru pun.
Dalam upaya negosiasi, pemerintah Rusia mengirim seorang diplomat berpengalaman: Laks. Yevfimiy Vasilyevich Putyatin, yang bergabung dengan utusan Eropa ke kota pelabuhan Tianjin, dekat ibukota Peking. Namun demikian, Kekaisaran Qing memutuskan untuk melakukan perundingan terpisah, dengan harapan terjadi perpecahan antar orang-orang Eropa yang sebetulnya saling bersaing satu sama lain.
Maka terjadilah perundingan paralel. Di Peking, Kekaisaran Qing berunding dengan negara-negara Eropa. Di kota Aigun, Kekaisaran Qing berunding dengan Kerajaan Rusia. Di Peking, Putyatin yang mewakili orang-orang Eropa, sementara di Aigun, Muravyov yang menjadi perwakilan kekaisaran Rusia. Ujung-ujungnya kedua perjanjian dimediasi oleh orang Rusia juga deh! hehe…
Mediasi Muravyov di Perjanjian Aigun (1858)
Di Aigun, Muravyov dengan gamblang memberitahu utusan kekaisaran Qing bahwa Rusia menginginkan bagian utara sungai Amur dan Timur Sungai Ussuri, atau yang dikenal juga dengan Outer Manchuria. Dia juga menuntut agar semua orang Manchu meninggalkan daerah itu.
Mendengar permintaan ini, utusan Kekaisaran Qing memang tidak punya banyak pilihan. Di saat negaranya sedang kewalahan melawan pemberontakan Taiping, belum lagi kehilangan benteng Taku akibat serangan Inggris dan Perancis, masak sekarang mereka harus berperang melawan Rusia juga? Di sisi lain, Kaisar sendiri memandang daerah itu “hanya” hutan belantara sebagai lahan berburu. Sang Kaisar berpikir, lebih baik mengalah dulu, daripada pihak Rusia ikutan menyerang Tiongkok, bisa tamat riwayat mereka semua.
Maka, tanggal 16 Mei 1858, ditandatanganilah perjanjian Aigun yang memberikan Muravyov dan Rusia apa yang selama ini diinginkan. Kendati demikian, Kaisar maupun utusannya, merasa perjanjian ini tidak berarti memberikan wilayah, tapi cuma memberikan “hak berdagang” dan “hak berlayar” saja. Di sisi lain, Kaisar juga meminta pihak Rusia membantu Qing dalam perundingan dengan Inggris dan Perancis. Makin kuat aja posisi Rusia sebagai juru kunci!
Mediasi Putyatin – Perjanjian Tianjin (1858)
Di Tianjin dan Peking, baik Inggris, Perancis, maupun negara-negara Eropa lainnya nggak tahu menahu soal perjanjian Aigun maupun soal niat Rusia menganeksasi daerah Manchuria Luar. Padahal, seandainya negara-negara Eropa itu sadar, mereka tentu tidak akan membiarkan Rusia mendapatkan Manchuria luar semudah itu. Mereka bisa saja meminta (misalnya) hak untuk berlayar di Sungai Amur juga! Karena itulah Putyatin mati-matian merahasiakan hasil negosiasi Muravyov di Aigun dari negara-negara Eropa lainnya.
Dalam perundingan ini, Putyatin bersikap seolah-olah membantu pihak Kekaisaran Qing untuk melunakkan tuntutan-tuntutan negara-negara Eropa. Putyatin memberi pengertian, bahwa kekaisaran Qing sudah habis-habisan dengan kondisi sekarang, menutut ganti rugi yang berlebihan cuma akan menghancurkan kekaisaran Qing ini. Kalau kekaisaran Qing ambruk, akan terjadi kekacauan besar dan itu adalah kabar buruk bagi bisnis dan rencana perdagangan Eropa.
Alhasil, Putyatin berhasil mengurangi tuntutan Inggris dan Perancis. Misalnya, semula kedua negara meminta hak untuk berlayar di semua sungai wilayah Tiongkok, termasuk di Sungai Amur. (Tentu saja hal ini tak diinginkan Putyatin & pihak Rusia) Namun karena omongan Putyatin, negara-negara Eropa cuma meminta hak untuk berlayar di sungai terbesar Tiongkok, yakni Sungai Yangtze. Namun di sisi lain, Putyatin juga menjanjikan pasokan senjata bagi Kekaisaran Qing untuk membantu meredam pemberontakan Taiping.
Akhirnya Perjanjian Tianjin ditandatangani tanggal 25 Juni 1858, Rusia mendapatkan hak untuk berdagang di Tiongkok dan juga hak untuk berlayar di Sungai Yangtze, bersama dengan negara-negara Barat lainnya. Tapi selain itu, Rusia juga memegang kunci perjanjian Aigun, dimana artinya hanya Rusia saja yang memiliki akses ke Sungai Amur.
Serangan Militer Eropa
Pengikatan 2 perjanjian Aigun maupun Tianjin, diharapkan akan menjadi momentum stabilitas ekonomi dan perdamaian bagi pihak Kekaisaran Qing dengan negara-negara Eropa. Namun sayangnya, ternyata kondisi damai itu tidak berlangsung lama.
Baru berselang satu tahun, pada tahun 1859 Gubernur Muravyov mulai mengirim ribuan penduduk Rusia ke sungai Ussuri untuk bermukim di sana. Melihat kejadian itu, Kekaisaran Qing tidak terima karena mereka berpikir bahwa perjanjian Aigun hanyalah sebatas perizinan akses dagang dan berlayar saja, bukan izin untuk menguasai wilayah dengan membuat pemukiman penduduk! Ditambah lagi, kiriman senjata yang dijanjikan Putyatin tak kunjung datang.
Maka Kekaisaran Qing secara sepihak membatalkan perjanjian Aigun, serta menegaskan bahwa batas kedua negara didefiniskan oleh pernjanjian Nerchinsk. Meskipun demikian, pemerintahan Qing tidak mampu berbuat banyak karena secara praktis daerah tersebut sudah terlanjur dikuasai oleh penduduk dan tentara Rusia.
Di saat yg sama, pihak Inggris dan Perancis merasa kekaisaran Qing tidak menjalankan perjanjian Tianjin. Dalam arti, keleluasaan dagang serta akses terhadap sungai Yangtze tidak betul-betul diberlakukan. Bahkan pada bulan Juni 1859, satu tahun setelah perjanjian Tianjin, pasukan Qing dan serdadu Inggris kembali terlibat kontak senjata di benteng Taku.
Melihat ketegangan semua pihak semakin mengkhawatirkan, pihak Rusia kali ini mengirimkan Mayor Jendral Ignatyev untuk mewakili pemerintahan Rusia dalam membereskan “masalah” ini, tentu saja dalam perspektif yang paling menguntungkan Rusia. Dalam pendekatan kali ini, Ignatyev menyarankan kepada pihak negara-negara Eropa bahwa sudah tidak diperlukan lagi perundingan. Pemerintahan Qing terbukti tidak bisa memegang janji komitmen dalam perjanjian.
Maka dari itu, Ignatyev menyarankan mereka untuk menggunakan kekuatan militer secara penuh. Maka dikerahkanlah pasukan Inggris dan Perancis, menghancurkan pasukan kekaisaran Qing sampai akhirnya mengancam Ibukota Peking!
Ketika pasukan besar tersebut merebut istana Musim Panas Qing yang berada di luar Peking, pihak Inggris dan Perancis menyerahkan semua dokumen departemen luar negeri kekaisaran Qing kepada Ignatyev. Mereka bahkan tak membaca isi dokumen tersebut, cuma melihat ada cap.
“Ah, ini dokumen tentang Rusia. Bukan urusan kita, kasih ke Ignatyev deh!”
Kekaisaran Qing yg terdesak tidak punya pilihan selain menuruti semua kemauan Rusia di bawah mediasi Ignatyev. Tak seperti Putyatin yang masih meringankan tuntutan Inggris dan Perancis, Ignatyev hanya berusaha untuk mempertegas penguasaan dari apa yang Rusia sudah incar dari awal: daerah Manchuria Luar.
Hasilnya, ditandatangilah perjanjian Peking pada tanggal 24 dan 25 Oktober 1860, yang pada intinya menegaskan perjanjian Tianjin untuk memberikan hak kepada Inggris, Perancis, Rusia, dan AS untuk berlayar di sungai Yangtze serta berdagang di seluruh Tiongkok. Perjanjian ini juga memastikan wilayah Manchuria Luar seluas sekitar 600.000 km² (Kira-kira seluas Pulau Sumatera + Pulau Jawa) jatuh secara mutlak tanpa syarat ke tangan Kekaisaran Rusia.
Dengan demikian, Kekaisaran Rusia berhasil mendapatkan area pelabuhan super strategis yang tidak pernah beku sepanjang tahun sekaligus lahan pertanian yang sejak 200 tahun yang lalu mereka incar. Semua itu didapatkan tanpa ada kontak senjata sama sekali dari pihak Rusia. Melainkan hanya didasari oleh kemampuan diplomasi dan negosiasi. Gokil banget yak!
Buat lo yang penasaran, saat ini nama wilayah Outer Manchuria setelah dianeksasi oleh Rusia telah terpecah menjadi beberapa provinsi. Di antaranya adalah Provinsi Primorsky Krai dan Khabarovsk Krai dimana salah satu nama Kota Pelabuhan yang sangat terkenal adalah Vladivostok.
Hasil Akhir
Perjanjian Peking ini amat memberatkan Kekaisaran Qing secara ekonomi, dan menghancurkan gengsi kekaisaran di mata negara lain maupun di mata rakyatnya sendiri. Kini, seluruh dunia tahu betapa lemahnya Tiongkok pada awal abad 20.
Sebuah bangsa yang tadinya begitu bangga akan kebudayaan dan kemajuan peradabannya selama lebih dari 4000 tahun harus dipecundangi oleh orang-orang asing, hanya karena sikap anti-asing yang membuat mereka ketinggalan teknologi begitu jauh dari negara-negara lain. Seandainya saja Kekaisaran Qing menerima teknologi dan pertukaran ilmu pengetahuan dengan Inggris di tahun 1793, mungkin pada tahun 1860 mereka tak perlu dipermalukan sedemikian rupa.
Selain masalah sikap xenophobic, satu hal lain yang menjadi kesalahan dari Kekaisaran Qing adalah kurangnya perhatian terhadap tanah perbatasan. Dengan membiarkan kosongnya daerah di Utara dan Selatan Lembah Sungai Naga Hitam, Kekaisaran Qing membuka kesempatan untuk pencaplokan dari negara tetangga.
Jika boleh gua rangkum, ada tiga pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah nyata sejarah kali ini adalah:
- Jangan menjadi orang yang xenophobic atau terlalu tertutup dengan orang asing. Sikap tertutup hanya akan membuat kita terlena, tidak mau belajar hal baru, dan akhirnya membuat kita tertinggal dengan orang lain.
- Jadilah pihak yang memegang kunci utama seperti Rusia. Pemegang kunci selalu dibutuhkan oleh semua pihak. Barangsiapa menjadi pihak yang paling dibutuhkan, dialah yang akan pegang kendali.
- Perhatikan daerah perbatasan negara, karena mereka adalah gerbang terdepan sebuah negara. Pastikan penduduk perbatasan memiliki kesejahteraan jika tidak ingin mereka diambil oleh negara tetangga. 🙂
Semoga artikel ini bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya!
****
Sumber:
The Cambridge History of China volume 9, edited by Denis Twitchett & John K. Fairbank (Cambridge University press: New York, 1978)
The Cambridge History of China volume 10, edited by Denis Twitchett & John K. Fairbank (Cambridge University press: New York, 1978)
Bruce Lincoln: The Conquest of A Continent: Siberia and the Russians (Cornell University Press: Ithaca & London, 1994)
https://en.wikipedia.org/wiki/Macartney_Embassy diakses tanggal 14 Juli 2017.
CATATAN EDITOR
Jika ada di antara kamu yang ingin ngobrol atau diskusi dengan Kak Marcel tentang sejarah aneksisasi Manchuria Luar oleh Kekaisaran Rusia dari wilayah Tiongkok, atau mungkin ada yang ingin ditanyakan seputar topik umum sejarah dunia, jangan ragu untuk bertanya pada kolom komentar di bawah artikel ini yak.
wuih…pinter banget politisi2 rusia. gak nyangka kalo ekspansi wilayah tuh gak mesti pake cara militer ?
Sun Tzu sendiri bilang:
“Negara paling hebat itu bukannya berperang 10x lalu menang 10x, tapinya negara yang mendapatkan apa yang dia mau tanpa berperang.”
Gila, suka banget sama cara lo bang bahas peristiwa – peristiwa sejarah. Request bahas opium war dong…
tenang, berikutnya kemungkinan Marcel akan menulis tentang Xinhai Revolution. Bagaimana proses keruntuhan Kekaisaran Tiongkok menjadi Republic of China dibawah kepemimpinan Sun Yat Sen. Dalam topik ini, opium war akan mendapat highlight lebih besar.
Wihh gila nih russia. Bang lain kali ulas donk tentang cerita samkok ( cerita 3 negara ). Itu kan paling asik dan membingungkan hehehhe
mungkin topik ini bisa ditulis sama Wisnu, tapi kalo dia lagi ga sibuk ye, hehe… 😀
Nanti kalo saya yg bahas, saya pake nama Hokkian semua mabok yg baca!
Wahahahaj mantab. Bang juga kenapa ya kalo cina jaman dulu itu kasim bisa lebih berkuasa dari yang lainnya. Terus apa bener kalo cina di jaman dinasti qing punya klan bernama aisin-gioro ? Trus juga lain kali ceritain puyi aatau revolusi xinhai lah ato ga ya ntu samkok bang wkwkwk
Soalnya, para kasim menguasai akses ke kaisar. Gak ada yg bisa menemui, atau bahkan surat-menyurat dg kaisar sebelum “difilter” oleh para kasim. Apalagi para kasim juga hidupnya di sekeliling kaisar, sehingga para kasim amat bisa mempengaruhi kaisar.
Kaisar² dinasti Qing itu nama keluarganya adalah “Aisin-Gioro”.
Sorry bang nanya lagi. Apa bener dulu itu cina pernah nguasain korea terus kalau yang alaska itu dulunya punya kekaisaran rusia itu gimana ceritanya bang ? Makasih
Korea itu dari dulu selalu dipengaruhi Cina, tapi jarang banget bener² dikuasai Cina. Sampai akhir abad 19pun Korea masih bayar upeti ke Cina.
Alaska dulunya sempat dikuasai oleh Rusia, setelah para penjelajah Rusia menyeberangi Selat Bering. Namun, mempertahankan Alaska dirasa terlalu mahal oleh kekaisaran Rusia. Kawatir Alaska akan direbut oleh Inggris atau Perancis atau Amerika Serikat, apalagi di tahun 1860an Rusia juga sedang membutuhkan uang untuk mengongkosi banyak hal (Salah satunya adalah kolonisasi dan pembangunan Outer Manchuria) Kaisar Alexander II akhirnya memutuskan untuk menjual Alaska ke Amerika Serikat seharga 1 juta Dolar kepada pemerintah Amerika Serikat.
dan sepertinya rusia rugi ya bang jual alaska ?
ide bagus tuh. gw suka banget sama Novel Samkok. mungkin klo ada waktu di buatkan ya. gw mau liat kehebatan Cao Cao, dan Zilong.
kak. bakalan lebih oke kalo kita dijelasin gimana bisa rusia dan tiongkok punya daerah kekuasaan seluas itu.
dan kalo boleh request kenapa ada negara” yang lebih maju dari negara” lain. kenapa kok mereka bisa maju gitu. cheers!
Untuk Rusia:
Daerah luas itu didapat dari penaklukkan suku² Tatar (Mongol) dan orang² dari suku turkic, altaic, dan suku² “primitif” lainnya yg merupakan penghuni asli “Siberia”. Mirip sama para imigran dari Inggris, Perancis dll menaklukkan tanahnya suku Indian dan membuat negara Amerika Serikat seluas sekarang. Orang² Rusia bergerak menaklukkan Siberia karena mereka tak bisa menaklukkan tetangga Barat mereka: Turki, Swedia, Austria, dll. Cuma Polandia-Lithuania saja tetangga Barat mereka yg bisa mereka taklukkan, itupun belakangan, setelah Prussia dan Austria membantu Rusia sebelum membagi 3 Polandia-Lithuania.
Untuk Cina:
Daerah luas itu didapat dari situasi geografisnya. Lembah sungai Yangtze dan Huangho itu subur, luas, rata, dan iklimnya juga masih memungkinkan untuk bertani. Pertanian di daerah itu jadinya menghasilkan makanan dalam jumlah besar. Keadaan tanah yg relatif rata juga membuat orang² kesulitan untuk mendirikan kerajaan yg terpisah, tidak seperti di Eropa. Akibatnya, sepanjang sejarah Cina, trendnya adalah ada dinasti/kekaisaran yg berhasil membangun kekuatan lalu merebut seluruh daerah tsb. Tentu saja ada pengecualian: sungai Yangtze dan Hwangho bisa jadi perbatasan alami, makanya ketika terjadi perang saudara, sering sekali sungai² besar ini menjadi perbatasan alami.
Kenapa ada negara lebih maju:
Dua faktor utama: geografis (Baca buku Jared Diamond: Guns Germs and Steel untuk detilnya) dan budaya (Baca buku Victor Davis Hanson: Carnage & Culture untuk lebih lengkapnya.)
Kalo menurut Jared Diamond, banyak daerah “sial” sehingga daerah² tsb tak memungkinkan manusia bertani (Terlalu kecil, terlalu kering, terlalu dingin, terlalu panas, dst) padahal pertanian adalah syarat mutlak untuk menciptakan negara. Makanya sampai sekarang masih banyak suku² pedalaman yg “jalan di tempat” selama ribuan tahun ketika orang² di tempat² lain udah pada maju.
Kalo menurut Victor Davis Hanson, budaya Barat jadi budaya paling maju karena budaya Barat itu paling cocok buat MEMBANTAI. Perhatikan, ini bukan masalah moral. Malah sebaliknya, budaya Barat kalo soal perang itu relatif lebih amoral daripada budaya² lain. Selain lebih amoral, budaya Barat di bidang militer juga menggunakan konsep “kewarganegaraan” yg membuat pasukan Barat lebih setia kepada negara, “kapitalisme” yg membuat negara Barat lebih mampu mengongkosi militernya, “individualisme” yg membuat kritik dan koreksi menjadi mungkin, “sains” yg menciptakan penemuan² dan senjata² baru, dan 1001 konsep lainnya secara bersamaan, membuat budaya militer Barat yg paling bisa menerima perbedaan, menerima kritik, dan memperbaiki diri, memberikan mereka keunggulan ketika mereka berperang melawan kebudayaan lain.
Namun, kedua faktor itu berhubungan banget. Budaya itu juga lahir dari interaksi manusia dg faktor² geografisnya jugakan? Jadi, ringkasnya sih buat saya, kemajuan sebuah bangsa bergantung pada kondisi geografis dan kualitas budayanya.
Mungkin karena perbedaan teknologi dan ekonomi kak. Dan kalo rusia ama china kalo ga salah sih karena mereka menaklukkan suku-suku nomaden di sekitarnya. CMIIW.
indeed. yang jadi pertanyaan kenapa sih kok mereka(negara maju) teknologi dan ekonominya berkembang lebih dulu ketimbang negara” lain yg belum semaju mereka gitu.
Untuk Rusia:
Daerah luas itu didapat dari penaklukkan suku² Tatar (Mongol) dan orang² dari suku turkic, altaic, dan suku² “primitif” lainnya yg merupakan penghuni asli “Siberia”. Mirip sama para imigran dari Inggris, Perancis dll menaklukkan tanahnya suku Indian dan membuat negara Amerika Serikat seluas sekarang. Orang² Rusia bergerak menaklukkan Siberia karena mereka tak bisa menaklukkan tetangga Barat mereka: Turki, Swedia, Austria, dll. Cuma Polandia-Lithuania saja tetangga Barat mereka yg bisa mereka taklukkan, itupun belakangan, setelah Prussia dan Austria membantu Rusia sebelum membagi 3 Polandia-Lithuania.
Untuk Cina:
Daerah luas itu didapat dari situasi geografisnya. Lembah sungai Yangtze dan Huangho itu subur, luas, rata, dan iklimnya juga masih memungkinkan untuk bertani. Pertanian di daerah itu jadinya menghasilkan makanan dalam jumlah besar. Keadaan tanah yg relatif rata juga membuat orang² kesulitan untuk mendirikan kerajaan yg terpisah, tidak seperti di Eropa. Akibatnya, sepanjang sejarah Cina, trendnya adalah ada dinasti/kekaisaran yg berhasil membangun kekuatan lalu merebut seluruh daerah tsb. Tentu saja ada pengecualian: sungai Yangtze dan Hwangho bisa jadi perbatasan alami, makanya ketika terjadi perang saudara, sering sekali sungai² besar ini menjadi perbatasan alami.
Kenapa ada negara lebih maju:
Dua faktor utama: geografis (Baca buku Jared Diamond: Guns Germs and Steel untuk detilnya) dan budaya (Baca buku Victor Davis Hanson: Carnage & Culture untuk lebih lengkapnya.)
Kalo menurut Jared Diamond, banyak daerah “sial” sehingga daerah² tsb tak memungkinkan manusia bertani (Terlalu kecil, terlalu kering, terlalu dingin, terlalu panas, dst) padahal pertanian adalah syarat mutlak untuk menciptakan negara. Makanya sampai sekarang masih banyak suku² pedalaman yg “jalan di tempat” selama ribuan tahun ketika orang² di tempat² lain udah pada maju.
Kalo menurut Victor Davis Hanson, budaya Barat jadi budaya paling maju karena budaya Barat itu paling cocok buat MEMBANTAI. Perhatikan, ini bukan masalah moral. Malah sebaliknya, budaya Barat kalo soal perang itu relatif lebih amoral daripada budaya² lain. Selain lebih amoral, budaya Barat di bidang militer juga menggunakan konsep “kewarganegaraan” yg membuat pasukan Barat lebih setia kepada negara, “kapitalisme” yg membuat negara Barat lebih mampu mengongkosi militernya, “individualisme” yg membuat kritik dan koreksi menjadi mungkin, “sains” yg menciptakan penemuan² dan senjata² baru, dan 1001 konsep lainnya secara bersamaan, membuat budaya militer Barat yg paling bisa menerima perbedaan, menerima kritik, dan memperbaiki diri, memberikan mereka keunggulan ketika mereka berperang melawan kebudayaan lain.
Namun, kedua faktor itu berhubungan banget. Budaya itu juga lahir dari interaksi manusia dg faktor² geografisnya jugakan? Jadi, ringkasnya sih buat saya, kemajuan sebuah bangsa bergantung pada kondisi geografis dan kualitas budayanya.
Artikel kak marcel yang paling gw tunggu di zenius blog! Gokil asli hahaha
Sekelompok suku bisa naklukin dinasti yang udah ada selama 200 tahun lebih, menarik juga ya. Selemah apa sih kekaisaran Ming saat itu sampe bisa ditaklukin suku Manchu?
Budaya orang2 Tionghoa yang selama ini saya liat di film2 macam kuncir rambut bagi pria, pakaian Tangzhuang dan Cheongsam, ternyata dari kekaisaran Qing 😀
Suku Manchu bisa menaklukkan Cina karena waktu itu Dinasti Ming baru saja ditaklukkan oleh Dinasti Shun. Jendral Ming penjaga perbatasan, Wu Sangui, berbalik membantu suku Manchu setelah mendengar dinasti baru ini membantai keluarganya di ibukota. Pintu gerbang Shanhaiguan dibuka, pasukan Wu Sangui bergabung dg suku Manchu untuk menghancurkan Dinasti Shun, dan mendirikan dinasti Qing.
saat itu rakyat kebanyakan kurang peduli dengan nasib keluarga raja2. karena toh siapa pun rajanya, tetap saja jadi rakyat. saat itu paham nasionalisme belum sekuat sekarang.
Keren amat sangat!
Mau tanya juga dong (maaf oot, Kak). Bagaimana pola-pola umum yang digunakan oleh satu keluarga untuk menggulingkan kaisar yang berkuasa di Tiongkok zaman dulu (seperti Cao Wei menggulingkan Han dan Jin menggulingkan Cao Wei)?
Kuasai militernya. Siapapun penguasa militer di Cina zaman baheula, dia bisa mendikte, bisa kurangajar pada kaisar.
setubuh, eh setuju. simple bgt emg caranya kalo jaman bahela dulu di cina. gak heran gonta ganti kaisar mulu ya. emg jaman dulu sih, lebih enak jadi panglima perang ketimbang kaisar (kaya burung di kurung).
mirip khalifah2 abbasi di baghdad yg dikuasai dinasti militer.
Gila… Keren banget ulasannya! Mau nanya bang, kalo kekaisaran Rusia dan China bisa mendapatkan wilayah seluas itu dari penaklukan suku2 kecil, kenapa di Eropa gak berlaku hal yg sama ya? Misalnya kenapa gak ada salah satu kekuasaan besar di Eropa abad pertengahan semacam Perancis, yg mencaplok kerajaan2 kecil di sekitarnya sehingga bisa menjadi sebuah kekaisaran yang besar dan memiliki wilayah luas seperti Rusia dan Cina? Gampangnya, kenapa Eropa kok sangat terpecah belah ya dgn banyaknya kerajaan/negara2 kecil yg berdiri sendiri2?
“kalo kekaisaran Rusia dan China bisa mendapatkan wilayah seluas itu dari penaklukan suku2 kecil, kenapa di Eropa gak berlaku hal yg sama ya?”
-> Kondisi geografisnya berbeda. Dataran Siberia dan Amerika itu relatif luas dan rata, gak seperti keadaan geografis Eropa yang dipenuhi sungai2 besar, pegunungan terjal, dan hambatan2 geografis lainnya, yang membuat banyak titik2 sempit, misalnya yg paling terkenal itu “Hot Gate” di film 300. TItik2 sempit ini memungkinkan suku2 tsb bertahan dari serangan suku2 lain, menciptakan kerajaan2 kecil.
-> Di Eropa juga ada Inggris, negara pulau yg selalu mencegah dominasi daratan Eropa oleh kekuatan manapun. Gak ada yg kayak gini di Siberia atau Amerika Utara. Dekat Cina memang ada Jepang yg bisa melakukan fungsi serupa, tapi Jepang jauh lebih tertutup kebudayaannya di jaman dulu, sehingga mereka jauh lebih jarang ikut campur dalam perpolitikan Cina daratan.
yg ditunggu-tunggu akhirnya ngeposting juga. mantap dah pembahasan yang anti mainstream kaya gini. lanjutkan
Makasih.
sorry oot bang, berapa total durasi saintek + TKPA dizenius bang?
1000 jam lebih atau kurang lebih 1000 jam, yg pasti ya bang jawabnya. soalnya mau ngatur jam belajar bang 😉
numpang komen….
jam belajar itu menurut gw harusnya dimaksimalkan, jangan diatur. Karena kita ga tahu apa yg terjadi di waktu yg akan datang. singkatnya maksimalkan hari ini, upayakan besok, pelajari masa lalu.
ok, thanks 🙂
sama2 😀
Mantep banget bang penjelasannya detil banget
Bang yang mau gua tanyain kenapa trend ganti kaisar dari keturunan yg berbeda itu sering banget dilakukan china sedangkan jepang dari dulu kaisarnya cmn keturunan itu2 aja ? Dan kok bisa sih non han yg nguasain daratan china kaya dari suku manchu or mongol ? Emangnya ga bertentangan sama mandat langit yha ?
Soal Cina yg doyan gonta-ganti dinasti sementara Jepang cuma punya 1 dinasti dari awal berdirinya, itu karena perbedaan mentalitas.
Di Cina:
Kaisar (dan dinastinya) itu pemegang “mandat langit” atau wewenang dari Tuhan sbg penguasa “kolong langit” sbg pemimpin yang punya kewajiban memakmurkan rakyatnya. Kalo rakyatnya gak makmur, Tuhan akan mencabut mandat tsb, rakyat akan mengamuk dan pemegang mandat langit yg baru akan naik takhta. Sayangnya, mentalitas gini berarti “might is right”, dia yg berhasil mengkudeta kaisar dan/atau dinasti lama DAN BERTAHAN berarti memegang mandat langit.
Di Jepang:
Kaisar itu adalah DEWA MATAHARI. Dewa bertakhta. Titik. Seringkali “Bertakhta tapi tidak berkuasa.” Penguasa boleh berganti, tapi dewa gak bisa dan gak akan diganti.
++++++++++++++++++++++
Soal Kaisar Qing itu orang Manchu yang dianggap barbar, YA, memang ada masalah. Dari awal sampai akhir dinasti Qing selalu ada pemberontakan atau gerakan bawah tanah orang² Han yg merasa orang barbar tidak pantas menerima mandat langit.
Dinasti Qing bisa memerintah di Cina selama ratusan tahun karena “might is right”. Dinasti Ming yg bobrok karena korupsi, xenophobia dan perang melawan Toyotomi Hideyoshi, akhirnya dihancurkan dinasti Shun. Dinasti Shun yg berumur singkat ini rubuh karena jendral Wu Sangui yg menjaga perbatasan berbalik membantu suku Manchu setelah mendengar dinasti baru ini membantai keluarganya di ibukota. Pintu gerbang Shanhaiguan dibuka, pasukan Wu Sangui bergabung dg suku Manchu untuk menghancurkan Dinasti Shun, dan mendirikan dinasti Qing.
Setelah pendiriannya, kekuatan militer dinasti Qing relatif sukses menghancurkan semua sisa² dinasti Ming (Misalnya, kerajaan Tungning yg berada di Taiwan) dan semua penentangnya. Kemunduran dinasti Qing baru dimulai di paruh kedua pemerintahan Kaisar Qianlong yg menolak menerima utusan Inggris itu. Setelah itu, kekuatan kekaisaran Qing menurun karena pembrontakan Taiping, perang Candu, pengambil alihan Manchuria Utara, perang Cina-Jepang, dan terakhir pembrontakan Boxer. Isu bahwa orang Manchu itu “Barbar karena mereka bukan orang Han” masih hidup sampai dinasti Qing akhirnya digulingkan oleh jendral Yuan Shikai.
Tulisan ini menarik, tapi si penulis coba mengarahkan untuk menjual globalisasi dan asing harus diterima dengan welcome.
Penulis ini kayak tidak pernah belajar dengan Jepang yang menutup diri terhadap barat maupun asing lainnya. Tapi Jepang tidak alergi dengan kemajuan bangsa lain, dia alergi dengan kepentingan asing terhadap negaranya.
Setiap bangsa yang alergi terhadap kemajuan teknologi dan peradaban maka bangsa itu menuju jurang kematian bagi bangsa itu.
Bangsa itu mirip mahkluk hidup, ketika dia tak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, ketika itu juga bangsa itu menuju kematian.
“Tulisan ini menarik, tapi si penulis coba mengarahkan untuk menjual globalisasi dan asing harus diterima dengan welcome.”
-> Enggak semua harus diterima dg welcome. Sama juga gak semua harus ditolak dengan amarah.
“Penulis ini kayak tidak pernah belajar dengan Jepang yang menutup diri terhadap barat maupun asing lainnya. Tapi Jepang tidak alergi dengan kemajuan bangsa lain, dia alergi dengan kepentingan asing terhadap negaranya.”
-> Jepang jaman kapan? Jaman Shogun Tokugawa yang menjadi negara pertapa sampai² bisa diancam oleh Komodor Perry dan kapal hitamnya? Jaman Restorasi Meiji-Showa yg berawal dg gilang gemilang (memenangkan perang melawan Cina lalu Rusia) tapi berakhir dg bom atom Hiroshima Nagasaki? Jaman pasca PD2 yang berawal dg gilang gemilang (Keajaiban ekonomi) tapi saat ini sedang mengalami bencana demografis berbarengan dg deflasi spiral dan bengkaknya hutang luar negeri?
https://www.zenius.net/blog/perang-dunia-ii-jepang
“Bangsa itu mirip mahkluk hidup, ketika dia tak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, ketika itu juga bangsa itu menuju kematian.”
-> Betul. Salah 1 bentuk adaptasi adalah pengakuan bahwa ada aspek budaya asing yg lebih baik dan menerimanya.
Saya mau jawab apa Yach bung ketika ada mengambil secara parsial-parsial masalah dalam menanggapi kritik yang saya sampaikan.
Saya memandang secara aspek keseluruhan, bahwa banyak riwayat-riwayat negara-negara tertutup dalam membangun budaya dan karakter negerinya dahulu sekaligus belajar dan berlomba mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
RRC pun sebelum besar mereka mengunakan politik tirai bambu yang menutup dan membatasi hubungan dengan asing. Jadi dapat dilihat RRC pun melakukan hal yang sama dengan Dinasti Qing cuman ada beberapa yang diperbaharui. Terlepas persoalan ideologinya loh.
China lama pada masa dinasti Qing adalah negara berdaulat penuh, tapi mereka tak sadar tentang bahaya kedepannya yang terlampau mengagungkan China. Dan yang menarik dari kisah klasik abad 16-19 di Asia adalah kemampuan Jepang, Thailand dalam bernegosiasi sekaligus membentuk karakter bangsanya.
Negara-negara Asia yang terlampau membuka diri terhadap asing pun kejadiannya hanya menjadi sapi perahan bangsa-bangsa yang lebih maju.
Ada wilayah kita terbuka dan hal-hal yang harus qt menutup diri sekaligus kita mengejar ketertinggalan.
Teori nasionalisme menyatakan sifat hidup sebuah bangsa/negara adalah menguasai bangsa/negara lain entah itu dengan cara hegemoni dan dominasi ataupun dengan cara paksa melalui pendudukan.
“banyak riwayat-riwayat negara-negara tertutup dalam membangun budaya dan karakter negerinya dahulu”
-> Yang namanya budaya sendiri belum tentu bagus. Yang namanya kemunduran dan kebobrokan seringkali disebabkan oleh budaya sendiri.
-> “Membangun karakter” dan “membangun budaya” biasanya diartikan dg mengutamakan konformitas, dan “budaya kebersamaan” membunuh individualisme. Padahal kreativitas individu, perbedaan individu dari masyarakat adalah yang memajukan masyarakat.
-> “Membangun karakter” biasanya juga diterjemahkan sbg “Pelajaran Moral” di sekolah. Tambah 1 lagi beban pelajaran. Tambah lagi 1 alasan bobo di kelas buat mayoritas murid. Tambah lagi alasan buat generasi penerus bangsa untuk mengidentifikasikan moral dengan kebosanan.
-> Siapa yg berhak menentukan “budaya dan karakter negeri”? Pemerintah? Ormas? Mau menciptakan polisi moral untuk menegakkan “budaya dan karakter negeri”? Apa jadinya akan ada yg dihukum karena “melanggar budaya dan karakter” yg ditentukan secara sepihak ini? Apakah cuma dengan menyampaikan opini yg berbeda dari opini publik saya jadinya bisa dihukum oleh aparat negara? Makin saya renungkan, makin saya ngeri sama “pembangunan budaya dan karakter” ini.
Saya sarankan anda membaca artikel kecil ini untuk renungan:
https://medium.com/southeast-asian-social-critique/why-i-stopped-believing-in-character-building-e52bda48eb44#.jdk570pcr
referensi buku dongs
Jepang dulu juga sama kan anti-asing, tapi kok gak di ubek-ubek bangsa eropa ya ? Walaupun akhirnya sang kaisar menerima asing di jepang, kok asing ga ngapai-ngapain jepang ya? gak kayak di china, yang sampe terjadi perang? Apakah jepang mempunyai semacam “tehnik rahasia” agar bangsa asing gak ganggu negara nya? Mohon pencerahan nya bang….
Jepang juga sempat di-ubek². Orang² asing sempat dibantai dan diserang oleh rakyat Jepang yg xenophobic, tapinya reaksi keras dari militer asing yg jauh lebih kuat membuat kemarahan tsb berganti arah, ke arah Shogun Tokugawa. Pecahlah perang Boshin, yg berujung pada Restorasi Meiji.
Kelanjutannya, ada di artikel saya sebelumnya:
https://www.zenius.net/blog/perang-dunia-ii-jepang
Bang marcel bikinin artikel tentang genghis khan dongg
Jika Dinasti Qing bisa diruntuhkan oleh bangsa Eropa dengan candu…tidakkah kita sadar bahwa narkoba yang berton-ton jumlahnya dari China bisa juga meruntuhkan bangsa kita
Maka belajarlah dari sejarah…..
Pak Marcel ada terbitkan buku buku cerita sejarah? kalau ada saya berminat
Itu impian saya yang belum jadi kenyataan.
mantap…ikut belajar, bro.