Kenapa sih Hari Idul Fitri setiap tahun jatuh di tanggal dan hari yang berbeda? Artikel ini membahas sejarah sistem kalender dan peranan astronomi yang akan menjawab mengapa hari Lebaran selalu bergeser.
Setiap mendekati lebaran Idul Fitri, di malam takbiran banyak orang nonton TV untuk nentuin apakah besok masih puasa atau udah melahap opor ayam. Hampir tiap tahun kita nemuin masalah serupa yang berulang-ulang. Biasanya ada yang lebaran duluan, lebaran belakangan atau yg paling beda sendiri, lebarannya dua hari lebih awal. Jadi debat “Kapan sih sebenarnya Hari Lebaran itu?” biasanya juga disudahi dengan kata-kata: “ya sudah gak perlu diperdebatkan.. kan perbedaan adalah rahmat”.
Nah, terlepas dari sikap itu, di artikel kali ini gw mau kita coba kaji dari sisi sains, terutama dalam ranah sejarah dan astronomi. Kenapa sih kita punya intrepretasi yang berbeda dalam melihat sistem kalender? Kenapa hilal muncul dengan pola yang berbeda setiap tahunnya? Di artikel ini, kita akan menelusuri awal mula sistem kalender yang dibuat oleh peradaban kuno. Kita juga akan lihat bagaimana orang-orang terdahulu menggunakan akal, logika dan pengamatan empiris untuk melihat pola berulang di langit. Terakhir, kita akan mengkaji bagaimana astronomi berusaha menyelesaikan perbedaan akan pertanyaan “Kapan lebaran?”.
SUMBER MASALAHNYA DI MANA SIH?
Okay, buat pembaca yang Beragama Islam, hampir pasti tau bahwa cara nentuin Hari Lebaran itu dengan melihat Hilal, atau istilahnya Bulan Baru (New Moon) setelah bulan Ramadhan. Jadi kalo penampakan Bulan Sabit udah keliatan dikit, artinya hari itu udah resmi jadi 1 Syawal atau Hari Idul Fitri. Nah, cuma sekarang pertanyaannya, kenapa hari 1 Syawal itu kok selalu bergeser dari tahun ke tahun? Udah gitu selalu ada yang beda pendapat kapan jatuh tempo-nya hari tersebut?
Sebelum kita bahas lebih lanjut, gw mau tanya dulu nih… Lu tau gak sih kenapa kok di dunia ini ada banyak sistem penanggalan? Ada yang namanya penanggalan Masehi, penanggalan Hijriah, penanggalan Jawa, penanggalan Cina, dsb.. Kenapa sih di setiap peradaban itu punya persepsi sendiri-sendiri tentang konsep waktu? Nah, untuk menjawab pertanyaan kenapa Lebaran setiap tahun berbeda-beda, kita coba telusuri dulu sejarah panjang tentang perjalanan manusia untuk mengetahui konsep waktu. Kenapa 1 tahun Masehi itu harus, 12 bulan, 52 minggu, 365 hari? Kenapa satu hari itu harus 24 jam? Kenapa 1 jam itu harus 60 menit? dan kenapa 1 menit itu 1 detik? dan kenapa 1 detik itu bisa disepakati pada kecepatan yang konstan? Okay, untuk menelusuri itu, gw pengen lu semua buat nyimak cerita (yang agak) panjang berikut ini.
Gimana Konsep Waktu Pertama Kali Terpikir Oleh Manusia?
10.000 tahun yang lalu, tidak ada orang yang tahu bahwa hari ini adalah hari apa, bulan apa dan tahun berapa saat ini. Setiap hari manusia melakukan kegiatan yang sama seperti berburu dan mencari tumbuhan untuk dimakan. Namun ketika hewan buruan bermigrasi, tanaman tidak tumbuh, cuaca berganti, dan perubahan siklus alam lainnya, menyebabkan manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan protein mereka, barulah manusia sadar ada suatu siklus yang berulang. Mereka mulai berpikir bahwa alam selalu berubah dan kembali pada pola yang sama. Pada saat itu, barulah konsep “tahun” itu mulai muncul di kepala mereka.
Terlebih lagi ketika peradaban mulai mengenal pertanian. Mereka mulai sadar bahwa dalam satu tahun, ada waktu tertentu yang lebih baik untuk menanam dibanding waktu yang lain. Mulailah mereka membagi waktu tahunan menjadi musim dan bulan. Hal itu membuat orang-orang perlu membaca pergerakan benda di langit dan menentukan kapan harus menanam, memanen, memancing, dan berburu.
Nah pada titik ini, setiap peradaban di seluruh dunia dari mulai Mesopotamia, Arab, Maya, hingga daratan Cina mengembangkan sistem penanggalannya masing-masing. Ada yang berbasis pada fenomena terbit/tenggelamnya matahari (solar), ada yang berbasis pada siklus penampakan bulan dari bulan purnama hingga bulan mati (lunar), dan ada juga yang menggabungkan sistem solar dan lunar (luni-solar). Jadi masing-masing punya tolak ukur dan indikator yang berbeda-beda dalam menjelaskan pola siklus alam yang begitu misterius pada waktu itu.
BENDA LANGIT MANA YANG HARUSNYA JADI PATOKAN?
Okay, jika manusia melihat patokan pergerakan benda-benda langit untuk mendeteksi siklus alam di sekitarnya, maka manusia dihadapkan pada beberapa pilihan, diantaranya: matahari, bulan, dan rasi bintang. Mana yang lebih akurat untuk mengetahui ketimbangan proses sikus alam? Yuk kita bahas satu per satu.
LUNAR | BULAN
Sistem ini berbasis revolusi bulan mengelilingi Bumi. Sistem ini yang paling sederhana dan diduga dipakai pertama kali oleh peradaban peradaban awal. Keunggulannya adalah, mudah diterapkan oleh tiap orang. Kita tinggal melihat perubahan bentuk bulan di langit tiap malam.
Kalo lu perhatikan bulan, pastinya ada saatnya bulan itu bentuknya bulat sempurna (purnama), ada saatnya bulan separuh, bulan sabit, sampe ada malam ketika bulan gak nampak sama sekali (bulan mati). Perubahan tampilan dari bulan itu akibat dari revolusi bulan mengelilingi Bumi. Perubahan penampakan dari bulan ini yang adalah fenomena yang paling mudah terlihat dan konsepnya cukup sederhana sehingga diduga dipakai pertama kali oleh peradaban-peradaban awal di berbagai belahan dunia seperti Babilonia di Sumeria (sekitar 1800 SM). Simplenya, manusia tinggal melihat perubahan bentuk bulan di langit tiap malam.
Jadi mulai dari fenomena itulah, sebuah siklus penampakan bulan dari bulan mati, bulan sabit, bulan Purnama, sampai ke bulan mati lagi dinamakan fase satu bulan.
Fase antara bulan mati (gak keliatan bulan sama sekali), sampai ada secercah cahaya tipis dari pantulan sinar matahari pada bulan yang membentuk sabit – itulah saat Hilal dan hari Lebaran ditentukan!
Nah, pada jazirah Arab Pra-Islam (pada masa Agama Islam belum ada di Arab), peradaban manusia di daerah itu sudah menggunakan sistem bulan yang dimodifikasi. Ada 12 bulan dalam penanggalan arab seperti di table berikut. Tidak mengherankan nama-nama bulannya sama dengan Kalender Islam Hijriah.
Nama bulan | Lama hari | |
1 | Muharram | 30 |
2 | Safar | 29 |
3 | Rabiul Awal | 30 |
4 | Rabiul Akhir | 29 |
5 | Jumadil Awal | 30 |
6 | Jumadil Akhir | 29 |
7 | Rajab | 30 |
8 | Sha’ban | 29 |
9 | Ramadan | 30 |
10 | Syawal | 29 |
11 | Dhulqaidah | 30 |
12 | Dhulhizah | 29/30 |
Total | 354/355 |
Nah lho, kok totalnya cuma 354 hari?? Berbeda sama kalender Masehi yang sehari-hari kita pakai itu kan 365 hari. Artinya pada jaman itu, manusia berpikir bahwa siklus alam kembali pada titik awal dalam tempo waktu 354 hari, sedangkan sistem Gregorian/Masehi yang umum kita pakai sekarang mengintrepretasikan bahwa perubahan siklus alam itu kembali pada titik awal pada 365 hari.
Nah, kenapa sistem kalendar berbasis bulan yang 354 hari ini bukan yang dipakai secara umum? Soalnya ada kekurangan mendasar dari sistem kalender berbasis bulan atau Lunar. Setelah beberapa tahun, bulan yang sama tidak menunjukan rasi bintang yang sama. Rasi yang menjadi patokan setelah beberapa tahun datang terlambat atau mendahului. Untuk peradaban yang tidak bergantung pada pertanian, hal ini tidak terlalu menjadi masalah. Tapi di peradaban yang menggantungkan pada perubahan musim untuk menentukan kapan menanam dan kapan memanen, ini masalah besar! Mulailah beberapa peradaban melibatkan benda langit lainnya, yaitu Matahari.
SOLAR | MATAHARI
Matahari awalnya dipakai hanya untuk siklus harian. Ketika matahari terbit dan tenggelam disebut siang, sedangkan waktu ‘ketiadaan’ Matahari antara matahari tenggelam dan terbit disebut malam — dan gabungan keduanya disebut dengan 1 hari. Namun ketika fenomena terbit/tenggelamnya matahari ini digunakan untuk melakukan perhitungan siklus jangka panjang, ternyata tidak akurat.
Jadinya, sistem solar itu lama tidak disadari oleh manusia karena pola pergerakannya tidak mudah terlihat. Sampai pada suatu ketika manusia sadar bahwa pergerakan terbit/tenggelamnya matahari itu tidak berulang pada orbit yang sama. Hal itu disadari ketika para pendeta yang tinggal di kuil-kuli seperti di Tenothlican, Thebes dan Acropolis, mulai melihat jalur matahari di langit lewat bayangan patung dan pilar-pilar di kuil.
Gambar berikut adalah Analemma, yaitu jalur pergerakan Matahari di langit yang difoto selama durasi 1 tahun pada jam yang sama tiap harinya.
Para pendeta ini melihat bahwa posisi Matahari di langit dapat menunjukan musim dengan lebih tepat dibanding kalender sistem bulan. Sistem Solar membagi 1 tahun langsung dengan 365 posisi Matahari di langit. Kenapa 365 hari? Karena setelah angka tersebut, matahari kembali di posisi awalnya.
Selain dapat melihat posisi matahari, Analemma juga dapat melihat pergantian musim.
Dengan melihat pola pergerakan matahari sepanjang tahun, mereka bisa memprediksi datangnya Musim Panas, Gugur, Dingin dan Musim Semi. Bagi kita yg tinggal di khatulistiwa dan beriklim tropis, faktor yang disebutkan memang tidak terlalu berpengaruh pada musim. Walaupun begitu, kalender matahari atau solar, bukannya tidak penting untuk peradaban yang tumbuh di daerah tropis. Daerah tropis yang mengembangkan pertanian, juga membutuhkan akurasi perhitungan musim untuk masa tanam yang tepat.
Selain Analemma di kuil Apollo Yunani yang ditampilkan di atas, situs purbakala di Chankillo Peru juga memperlihatkan kejeniusan peradaban Inca. Mereka menggunakan bukit dan batu sebagai kalender tahunan mereka. Dengan melihat bukit tersebut dari satu titik, serta membandingkannya dengan posisi Matahari di sela-sela batuan, mereka bisa mengetahui bulan apa saat ini. Video berikut menggambarkan posisi matahari di situs purbakala Chankillo Peru.
Kalender bulan yang mudah diamati tapi akurasinya rendah dan kalender matahari yang sulit diamati tapi dengan akurasi yang lebih tinggi. Manakah yg dipakai? Jawabnya adalah kedua-duanya, kompromi antara pragmatisme dewi bulan dan akurasi dewa matahari.
LUNI-SOLAR
Luni Solar seperti pada namanya adalah gabungan antara siklus bulanan dan siklus matahari. Konsepnya adalah dengan melihat tanggal berdasarkan perubahan penampakan bulan, tapi sekaligus dikalibrasi (interkalasi) dengan perubahan posisi matahari untuk melihat perubahan musim dalam sirkulasi tertentu (1 tahun).
Contoh interkalasi yang terkenal digunakan adalah pada peradaban arab Pra Islam dan pada kalender Yahudi. Pada kalender bulan yang digunakan oleh peradaban Arab sebelum Islam, pada satu tahun terdapat sekitar 354 hari, sedangkan jumlah hari 1 revolusi Bumi ke matahari adalah 365 ¼ hari. Ada selisih 11 ¼ hari tiap tahunnya, yang membuat kalender bulan selalu tertinggal. Inilah yang menyebabkan tanggal di tahun Hijriah selalu bergeser pada penanggalan Masehi. Kemudian untuk mensiasati selisih itu, pada setiap 3 tahun sekali, selisih tersebut diakumulasi menjadi bulan tambahan di awal tahun ke 4.
LUNAR VS SOLAR
Kalender Matahari menandakan hari dimulai dari jam 00:00:00 dan berakhir pada jam 23:59:59. Berbeda dengan pandangan pada kalender Bulan, hari dimulai ketika matahari terbenam dan berakhir sesaat sebelum terbenam esok harinya. Kalau begitu akan lebih mudah tentunya menentukan hari di kalender bulan dong? Kan fenomena alam terlihat jelas dengan mata telanjang.. Ternyata nggak juga lho, kok bisa?
Gini nih, berhubung kalender Hijriah berdasar pada sistem kalender Bulan. Artinya pergantian hari, bukan pada jam 00:00:00 tengah malam, melainkan waktu senja. Jumlah bulan di kalender Hijriah bergantian 29 dan 30 hari tiap bulannya, dimana hal itu ditentukan dari terlihat/tidaknya bulan baru. Nah, justru indikator semacam itulah yang membuat penentuan hari ternyata lebih sulit, termasuk menentukan Hari Lebaran!
Penentuan Hari Lebaran bisa didasarkan pada 2 metode, yaitu :
1. METODE PENGAMATAN
Pada tanggal 29 Ramadhan, biasanya pada waktu senja akan banyak orang yang mengamati bulan. Jika adanya Hilal, yaitu bentuk bulan sabit tipis di cakrawala, menandakan esok harinya adalah 1 Syawal yang berarti jatuhnya hari raya Idul Fitri. Akan tetapi jika kita tidak dapat melihat Hilal, maka esok harinya belum 1 Syawal melainkan jadi tanggal 30 Ramadhan. Itulah yang menyebabkan intrepretasi hari Lebaran bisa berbeda-beda antar para pengamat.
Kadang sebetulnya perbedaan itu disebabkan hal yang lumrah dan sepele, misalnya karena di Indonesia kita tinggal di daerah tropis, membuat proses pengamatan jadi jauh lebih sulit. Entah karena mendung atau terlalu terangnya matahari musim panas, bisa menyebabkan Hilal sulit terlihat jelas. Selain itu, perbedaan ketinggian tempat pengamatan, geografis dan bentang alam serta perubahan cuaca setempat, membuat metode ini mempunyai banyak kekurangan.
Ditambah lagi kebijakan beberapa kaum ulama yang melarang penggunan alat bantu seperti teleskop, binokular dan teleskop infra merah yg dapat melihat menembus awan untuk melihat hilal jika kondisi mendung. Berdasarkan pandangan mereka, yang sah adalah kesaksian yg dilihat oleh mata telanjang. Kendati demikian, ada juga pendapat di kalangan ulama yang sudah memperbolehkan pemakaian alat bantu tersebut.
2. METODE PERHITUNGAN
Metode yang kedua untuk penentuan hari adalah dengan cara Hisab atau perhitungan. Yaitu menghitung waktu rata-rata bulan untuk mengitari Bumi, dan ditetapkannya sebagai 1 bulan Hijriah. Hingga saat ini, metode perhitungan ini mendapat banyak tentangan di kalangan ulama, namun beberapa ulama lain seperti Yusuf Qardhawi sudah menyatakan sahnya metode Hisab. Kendati terlihat rigid oleh kalkulasi matematik di astronomi, sebetulnya metode Hisab ini pun mempunyai kelemahan, yaitu pertentangan sideris dan sinodis.
Apaan Lagi tuh Sideris dan Sinodis?
Dalam teori dan kalkulasi ditentukan bahwa panjang 1 bulan Hijriah adalah lama waktu Bulan menyelesaikan satu revolusinya mengelilingi Bumi. Tentunya tidak akan ada perdebatan bukan? Iya kalau kita membuat model Bumi dan Bulan saja. Tapi kita gak boleh lupa, Bulan mengelilingi Bumi dan mereka berdua bersama-sama mengelilingi Matahari. Jadi yang terlihat di Bumi, sebenarnya tidak sama jika kita lihat model revolusi 3 benda langit, Bulan, Bumi dan Matahari.
Coba perhatikan animasi yang menggambarkan model pergerakan tiga benda langit tersebut.
Kebayang, kan? Kalender lunar murni yg digunakan oleh pengamat di Bumi adalah waktu Sinodis (Synodic) yang ternyata berbeda dengan waktu Sideris (Side real).
Waktu untuk 1 siklus Sinodis adalah 29.53059 hari (29 hari, 12 jam, 44 menit, 2.8 detik). Sedangkan waktu untuk 1 siklus Sideris adalah 27.32166 hari (27 hari, 7 jam, 43 menit, 11.6 detik). Ada perbedaan sekitar 2 hari 12 jam perbulannya.
Kalender lunar menggunakan siklus Sinodis, padahal justru yang paling mendekati perhitungan 1 tahun kalender matahari (365,25 hari) adalah Sideris. Kenapa Sinodis gak punya perhitungan tahun yang sama? Karena 1 bulan Sinodis, 29,5 hari, jadi kalo dikalikan 12 akan tetap menjadi 354,4 hari. Masih tidak sinkron dengan waktu revolusi Bumi ke matahari. Kalender Lunar akan tetap tertinggal sekitar 11 hari tiap tahuunya, jika tanpa kalibrasi. Itulah yang menyebabkan metode perhitungan pun memiliki kelemahan dalam menentukan hari Lebaran!
Wah Jadi Kedua Metode Masing-Masing Punya Kelemahan Dong, Terus Kita Musti Percaya Yang Mana Nih?
Wah, kalo itu sih kembali saja pada kepercayaan masing-masing. Sebetulnya tujuan gw menulis artikel ini adalah membuat kita semua kritis terhadap apa yang ada di sekitar kita. Dari waktu gw kecil, pertanyaan tentang penentuan waktu lebaran selalu dijawab oleh jawaban normatif. “Ah itu ada ilmunya, kita sih ga ngerti hal-hal gitu. Kita ngikutin aja”. Sikap seperti ini yg mau gw hilangkan dari lu semua. Kalo lu ngaku sebagai murid Zenius, lu harus bisa bersikap kritis dan menganalisis setiap fenomena. Bukan mengikuti begitu saja apa yang disampaikan.
Jadi kapan lebaran tahun ini? Secara nasional itu akan diputuskan oleh ahli Falaq yang bekerja di pemerintahan, yang berasal dari organisasi Islam seperti NU dan Muhamadiyah dan bekerja sama dengan Astronomer dari Universitas Top di Negeri ini. Nah, tapi sebagai kaum intelektual muda, boleh dong kita-kita punya analisis sendiri.
Wah, serius kita bisa analisis sendiri kapan waktunya Lebaran?? Gw kan nggak punya teropong, teleskop, dan binokular, apalagi teleskop infra merah!
Tenang, lo nggak perlu pake alat juga lo bisa analisis sendiri kok melalui sebuah website yang mempunyai program Planetarium gratis yang kemampuannya luar biasa, namanya Stellarium! Di website itu kita bisa simulasikan kondisi langit berdasarkan waktu dan lokasi sesuka kita.
Nah di sini gw coba kasih penggambaran simulasi pada senja hari Minggu tanggal 27 Juli dan 28 Juli 2014, dengan titik lokasi pengamatan di daerah Serang, yang berdekatan tempat pengamatan Hilal sebenarnya di Pelabuhan Ratu. Kedua tanggal tersebut gw set jam 18:00, supaya cahaya matahari ga ganggu pengamatan sabit tipis Hilal.
Posisi dan penampakan Hilal tanggal 27 petang. Kiri zoom, kanan normal (klik gambar untuk memperbesar)
Posisi dan penampakan Hilal tanggal 28 petang. Kiri zoom, kanan normal.(klik gambar untuk memperbesar)
Apakah terlihat Hilal? Tanggal mana tuh yang lebih jelas? Tanggal 27 atau 28? Nah, coba lo putuskan sendiri kapan hari baik makan opor ayam, hehe.. Selamat Idul Fitri! Mohon Maaf Lahir dan Batin!
=======Catatan Editor========
Kalo ada yang mau ngobrol lebih lanjut sama Pras terkait Astronomi, bisa langsung tinggalin comment di bawah.
Coba atuh bahas hal-hal yang berkaitan dgn Hutan. Gua abis baca ginian dan artikel sebelumnya jd muncul ketertarikan dgn Meteorologi. Kali aja kalo zenius bahas ttg Hutan jd muncul ketertarikan juga di diri gua hahaha
kak gue nyoba praktekin pake stellarium kok posisi bulannya beda ya? padahal waktu sama lokasinya udah sama? yg tgl 28 sama sih tp pas 27 nya beda-_-”
btw kak, lo anak astro ya? osn gitu? kok jago sih heheh
Pras sbetulnya spesialisasinya Biologi, tp lumayan tau banyak juga ttg astronomi. Kalo udah jadi scientist itu haram hukumnya kalo paham sains cuma dari ranah spesialisasinya, hehe.. 😛
Gw udah cek ulang ke Stellarium, sama kaya di gambar ko. Coba cek posisi pengamat dan jam pengamatan. Bisa juga beda di ketinggian. Karena Stellarium bisa simulasiin kita ada di permukaan laut atau di puncak gunung. Dan akan berpengaruh ke posisi benda langit di cakrawala.
Tapi asik kan bisa ngutak ngatik langit semau kita? 😀 Coba eksperimen set tanggal2 bersejarah dan posisinya disesuaikan. Contoh: Tanggal Titanic Tenggelam dan koordinatnya cari di Internet di tengah Atlantik. Bandingin posisi bintang sama di adegan film pas Jack dan Rose hampir tenggelam. Wah iseng amat? emang ada yg lakuin itu? Iya ada.. he he
Gw bukan anak astronomi dan ga pernah ikut OSN. Gw cuma Astronom Amatir 😛
Kak, gw masih belum ngerti sama kelemahan dari metode perhitungan atau hisab. Terus menurut tulisan artikel diatas, kok yg paling mendekati 1 tahun kalender masehi malah sideris gw agak bingung, kan kalo dikali 12 jadi gini
Sideris= 27,3 X 12 = 327,6
Synodic= 29,5 X 12 = 354
Sementara 1 tahun kalender masehi 365,25 hari, jadi lebih deketan yg 354 hari dong(Synodic)
Coba tolong pencerahannya.
Sebenarnya kita harus dapet pemahaman sideris dan sinodis terlebih dahulu. Sideris yg dalam bahasa Inggris disebut Sidereal, adalah posisi benda langit relatif terhadap bintang di latar belakang. Bisa dibilang posisi mendekati ‘absolut’ (ga ada posisi absolut sih sebenarnya). Jadi klo waktu Sideris bulan mengorbit Bumi, artinya: waktu yg diperlukan bulan kembali ke posisinya.
Waktu Sinodis, artinya adalah posisi benda langit dimana terkesan kembali ke titik semula, padahal kalo kita lihat dari luar Bumi sebagai pengamat., sebenarnya engga. Lebih enak klo penjelasannya pake gambar sebenarnya. ada gambar yg bisa ilustrasikan revolusi Bumi ke Matahari sekaligus bulan. Situs aslinya masih berbau pseudosains, tapi beberapa penjelasan kalkulasi astrinominya lumayan. Dan lagi, Gw masih cari tau cara masukin gambar ke comment ini 😀
Jadi gini
Satu tahun matahari (satu putaran revolusi Bumi ke Matahari, Bumi kembali ke tempatnya) adalah 365,24 (365 hari 5 jam 48 menit 46 detik tepatnya).
Satu bulan sinodis (Waktu antara pengamat di Bumi melihat Bulan purnama ke bulan purnama berikutnya) adalah 29.53 hari. Nah kalau kita bagi:
365.24/ 29.53 = 12.37
Artinya? untuk sinkron dengan kalender Matahari, Bulan perlu lebih dari 12 kali berevolusi mengelilingi Bumi, ada tambahan 0.37 bulan. Jadi kalender Sinodis Bulan akan ketinggalan sekitar 11 hari. Perhitungannya:
365.24 hari kalender matahari – 354.36 kalender sinodis bulan =
10.88 hari.
Tuh kan lebih bagus dari kalender Sideris.., cuma beda 11 hari. Sideris malah bedanya sekitar 38 hari. Ya betul itu kalau kita terpaku konsep bahwa 1 tahun ada 12 bulan. Gimana kalau 1 tahun ada 13 bulan? dan tiap bulannya jumlah hari adalah 28. Kenapa 28? hasil rata-rata Sideris (29 hari) dan Sinodis (27 hari). Dan perkalian 28 hari dikali 13 bulan, kita mendapat jumlah hari yg mendekati kalender Matahari, 364 hari.. lebih baik kan dari sinodis?
Kalau kita aneh dengan konsep 1 tahun ada 13 bulan, konsep itu udah dipake ribuan tahun oleh peradaban Inca, Mesir kuno dan Polinesia. Bahkan kalender Jawa seminggunya punya 5 hari, jaman revolusi Prancis seminggu 10 hari. Yang terpenting dari sistem kalender adalah sinkronisasi dengan musim. Karena itu adalah titik krusial peradaban yg menggantungkan pada pertanian
Bang, berarti kalau tanggal 28 kelihatah hilal lebarannya tanggal 29 kan? kok yang ditentuin pemerintah malah tanggal 28? Atau saya yg salah mengerti ni bang?
… … … 😀
wah titik2 tu maksudnya morse ya bang, wkwkwkwk 😀
Kenapa lunar calendar memiliki 12 bulan, kalau solar sih dimengerti, karena dia kembali ke posisi semula dalam 365,25 hari dan somehow dibagi menjadi 12.
berkaitan sama pertanyaan ini yang belum terjawab di artikelnya:
“kenapa 1 tahun Masehi itu harus, 12 bulan, 52 minggu, 365 hari … dst”
“dan kenapa 1 menit itu 1 detik?” 1 menit = 60 detik
Kak pras saya adalah pengguna zenius alumni pesantren.. Di sekolah di pelajari ilmu falak.. Mau ngomen dikit. Kalo ga salah sebenrnya kalender arab pra islam itu dalam satu tahunnya bisa 12 atau 13 bulan. Jadi sebenernya dulu tetep hitungan tahun arab itu sesuai dengan siklus musim. Conto safar itu artinya kuning itu karena lagi musim gugur. begitu juga nama bulan lainnya diambil dari musim yang terjadi pada saat itu. Namun pada zaman Rasul diperintah alquran kalo kalender itu harus berdasarkan perhitungan bulan bukn matahari. Jadi we nama bulannya tidak sesuai musim.