Eka Kurniawan seorang penulis asal Indonesia yang karyanya mendunia. Kenalan dengan sosoknya, yuk!
Hi, guys! Kali ini gue mau bahas salah satu penulis novel yang karyanya booming dalam dua dekade terakhir nih, guys. Selain itu, bukunya juga sudah dialihbahasakan dalam berbagai bahasa. Siapa dia? Yap, dia adalah Eka Kurniawan. Kita kenalan, yuk, dengan sosok Eka Kurniawan.
“Cinta telah memberikan bukti bahwa cinta merupakan kekuatan yang jauh lebih besar dari apa pun.”
Eka Kurniawan
Profil Eka Kurniawan
Siapa tidak kenal Eka Kurniawan? Penggemar sastra pasti tidak asing dengan nama penulis terkemuka satu ini. Jejak karir Eka Kurniawan di bidang sastra sudah tidak diragukan lagi. Berbagai karya sudah ditulisnya, mulai dari kumpulan cerpen hingga novel yang mem-booming di pasaran.
Eka Kurniawan merupakan penulis kawakan yang lahir pada 28 November 1975 di Tasikmalaya. Ia menamatkan pendidikan tinggi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Skripsinya dengan judul “Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis” diterbitkan sebanyak tiga kali oleh Yayasan Aksara Indonesia pada 1999; Penerbit Jendela pada 2002; dan Gramedia Pustaka Utama pada 2006. Dapat dikatakan skripsi Eka Kurniawan adalah karya non-fiksi pertamanya yang berhasil diterbitkan.
Perjalanan karir seorang Eka Kurniawan menarik perhatian banyak pihak. Dimulai dari karyanya yang ditolak penerbit, hingga diterbitkan dalam berbagai bahasa dan dijadikan film yang meraih banyak penghargaan. Tidak heran jika Eka dijuluki penerus Pramoedya Ananta Toer.
Karya Eka Kurniawan
Eka memulai karirnya tanpa bergabung dengan komunitas penulis apapun. Sikapnya yang membumi membuat banyak orang takjub, tetapi tidak sedikit juga yang iri dengannya. Nama Eka Kurniawan semakin melejit setelah buku “Cantik Itu Luka” meledak di pasaran. Menariknya, sebelum benar-benar terbit, “Cantik Itu Luka” justru sempat terkendala dengan penolakan dari beberapa penerbit dalam negeri. Buku itu diterbitkan pada tahun 2002 oleh Penerbit Jendela di Yogyakarta.
“Cantik Itu Luka” pun diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka pada tahun 2004, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Ribeka Okta dan diterbitkan Shinpusha pada 2006. Eka mendapatkan kartu emas begitu buku itu dilirik oleh penerbit asal Amerika, New Directions Publishing, dan diterbitkan di pasar Amerika dengan judul “Beauty Is a Wound” pada tahun 2015.
Dalam prosesnya, Eka sendiri sempat merasa ragu untuk menerbitkan karyanya di luar negeri, mengingat satu-satunya penulis Indonesia yang karyanya dialihbahasakan dan diterbitkan di luar negeri hanya Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan yang juga menjadi inspirasinya dalam menulis. Keputusannya untuk menerbitkan “Cantik Itu Luka” di pasar luar negeri ternyata semakin membuat namanya meroket dan mengantarkannya ke beragam penghargaan. Dilansir dari situs pribadinya, hingga saat ini buku “Cantik Itu Luka” sudah diterjemahkan ke dalam 34 bahasa.
Novel “Cantik Itu Luka” bukan satu-satunya buku yang dialihbahasakan dan terbit di luar negeri. Karya Eka yang berjudul “Lelaki Harimau” pun diterbitkan di pasar luar negeri oleh Verso Book pada tahun yang sama. “Man Tiger” bahkan masuk dalam nominasi penghargaan The Man Booker International Prize 2016.
Karya lain Eka yang tak kalah melejit adalah kumpulan cerpen “Gelak Sedih” dan “Cinta Tak Ada Mati”. Beberapa cerita pendeknya bahkan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Swedia. Pada tahun 2014, Eka menerbitkan novel baru dengan judul “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, dua tahun berselang ia kembali menerbitkan novel baru dengan judul “O” pada 2016.
Menulis Mengikuti Alur
Dalam wawancaranya bersama The Jakarta Post di KEMBALI 2020: A Rebuild Bali Festival, Eka membagikan kabar mengenai buku baru yang sedang ditulisnya. Ia mengatakan dirinya sedang memulai pengerjaan novel baru sejak 2016, tetapi belum selesai. Eka menyebutkan lebih memilih untuk tidak memberitahu tentang apa yang sedang ia tulis, jika tidak, maka novel itu hanya akan menjadi mitos (tidak akan terbit).
Pernyataan Eka tersebut sejalan dengan pendapat Senior Editor Gramedia Pustaka, Mirna Yulistianti, yang mengatakan satu-satunya kelemahan dari seorang Eka Kurniawan adalah deadline. Eka memilih untuk mengikuti alur dalam menyelesaikan tulisannya. Ia bersyukur karena penerbitnya saat ini tidak menuntutnya menyelesaikan sebuah karya dengan tenggat waktu tertentu.
Berbagai Penghargaan Berhasil Diraih
Tidak berhenti mem-booming dengan menerbitkan buku dalam beberapa bahasa di berbagai negara, bersama dengan karya-karya yang luar biasa Eka Kurniawan berhasil meraih beberapa penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Pada 2015 Eka dipilih sebagai salah satu Foreign Policy’s Global Thinkers of 2015. Lalu di tahun berikutnya, Eka berhasil mendapatkan World Reader’s Award 2016 untuk buku “Cantik Itu Luka” atau “Beauty Is a Wound”, dan Financial Times/Oppenheimer Funds Emerging Voices 2016 Fiction Award untuk buku “Man Tiger”.
Jajaran penghargaan yang diraihnya pun tidak berhenti sampai di situ, pada 2018 Eka berhasil meraih penghargaan Prince Claus Awards 2018 di Belanda dengan kategori Sastra/Literatur. Penghargaan ini diberikan kepada individu, kelompok, atau organisasi yang karya-karyanya mampu memberikan dampak positif terhadap pengembangan masyarakat di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Karibia. Kemampuan Eka dalam menulis dan menarasikan kisah imajinatif melalui prosa mengantarkannya pada penghargaan tersebut. Eka dianggap mampu memberikan perlawanan terhadap politik yang sewenang-wenang. Selain itu, Eka juga dianggap mengangkat kembali kebudayaan di Indonesia. Eka juga berhasil menarik perhatian dunia dengan menyampaikan sejarah alternatif Indonesia.
Selain jejeran penghargaan yang didapatkannya di luar negeri, Eka juga berhasil menyabet penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal yang menarik perhatian publik adalah Eka menolak penghargaan tersebut. Alasan mengapa ia menolak penghargaan tersebut karena menurutnya negara tidak terlalu peduli terhadap kebudayaan di Indonesia dan kesejahteraan para pekerja seni dan kebudayaan.
“Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” Diangkat ke Layar Lebar
Setelah sukses di pasaran, salah satu novel Eka yang berjudul “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” diangkat ke layar lebar. Dilansir dari wawancara yang dilakukan oleh CNNIndonesia.com, Meiske Taurisia dan Muhammad Zaidy, selaku produser, menyatakan ketertarikan mereka pada novel karya Eka Kurniawan tersebut. Hal itu bermula saat Edwin (sutradara) menawarkan ide untuk mengangkat novel tersebut ke layar lebar. Edwin mengatakan bahwa film ini adalah film yang kompleks dan membutuhkan kesiapan ekstra dari para pemain dan sineas. Bergenre drama, romansa dan laga, film ini akan menggunakan latar suasana Indonesia tahun 80 dan 90-an, dengan mengambil tema tentang maskulinitas dan relasi kekuasaan.
Seakan menambah deretan penghargaan dengan nama Eka Kurniawan, naskah film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” berhasil memenangkan kategori Busan Awards di Asian Project Market, Festival Film Internasional Busan 2016. Selain itu, film “Seperti Dendam, Rindu Harus di Bayar Tuntas” tayang perdana dan ikut berkompetisi dalam Kompetisi Internasional (Concorso Internazionale) di ajang Locarno International Film Festival pada Agustus 2021 dan berhasil menang pada kategori Golden Leopard for Best Film. Kemenangan tersebut menjadikan Edwin, sang sutradara, sebagai orang Indonesia pertama yang memenangkan Golden Leopard For Best Film.
Film ini juga berhasil masuk Contemporary World Cinema di Festival Film Toronto pada September 2021. Kabar terkini yang tidak kalah membanggakan, film ini akan menjadi satu-satunya film yang mewakili Indonesia di Festival Film International Tokyo 2021. Seperti yang diyakini sebelumnya, film ini berhasil menarik penonton nasional dan internasional.
Nah, bagaimana Sobat Zen? Sobat Zen jadi tertarik gak nih untuk membaca buku-buku dari Eka Kurniawan? Atau malah Sobat Zen ingin menjadi penulis seperti Eka Kurniawan yang memiliki sederet prestasi luar biasa? Bagaimana pun itu, Sobat Zen harus banyak membaca untuk membuka cakrawala pengetahuan. Dengan begitu, Sobat Zen dapat memiliki perbendaharaan kata dan imajinasi yang luas yang pastinya akan membawa dampak positif bagi Sobat Zen.
Pantengin terus blog Zenius untuk mengetahui biografi dari tokoh-tokoh lainnya, ya, guys. Jangan lupa juga untuk terus ikuti keseruan lainnya dari Zenius di YouTube! Sampai jumpa!
Baca Artikel Lainnya
Leave a Comment