Biografi Cut Meutia, Komandan Perlawanan dari Aceh - ZenRp

Simak kisah Cut Meutia, komandan pasukan perlawanan penjajah dan pahlawan yang diabadikan dalam pecahan uang Rp1.000,-, di sini!
Saat lo ditanya tentang siapa srikandi Indonesia, jawabannya nggak melulu R.A. Kartini, dong? Selain dari sosok yang terkenal dengan bukunya “Habis Gelap, Terbitlah Terang” (1911) itu, ada pula Cut Meutia! Udah tahu belum, kalau ia menghembuskan napas terakhir saat lagi mengemban tugas sebagai komandan pasukan perlawanan Belanda di Aceh? Berkat jasanya, ia pun diabadikan dalam pecahan uang Rp1.000,- versi terbaru, lho!

Simak kisah hidup dari sosok Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh tersebut pada pembahasan yang ada di bawah ini, ya!
Profil Cut Meutia
Cut Nyak Meutia atau yang akrab dikenal dengan nama Cut Meutia, lahir pada 15 Februari 1870 di Pirak, Aceh Utara, dan wafat pada 24 Oktober 1910 di Paya Cicem, Aceh.

Meutia adalah putri satu-satunya di antara lima bersaudara yang lahir dari pasangan suami-istri Daud Pirak, seorang ulama dan pimpinan daerah di Pirak dan Cut Jah. Ia sendiri pernah menikah sebanyak tiga kali, yaitu dengan Teuku Syamsarif atau yang juga dikenal dengan nama Cik Bintara melalui perjodohan ketika usianya 20 tahun, Teuku Cik Muhammad atau yang juga dikenal dengan nama Cik Tunong, dan Pang Nanggroe.
Disebutkan bahwa ia akhirnya memutuskan untuk bercerai dengan Cik Bintara karena mereka berbeda prinsip; laki-laki tersebut nggak menentang penjajahan Belanda dan malah iya-iya aja. Nah, hal tersebut berbanding terbalik sama suami kedua dan ketiganya, yang sama-sama berjuang untuk memukul mundur para penjajah Belanda dari Aceh. Oh iya, Cik Tunong sendiri adalah adik dari Cik Bintara, Sob.
Awal Perjalanan Cut Meutia
Seperti yang udah sempat gue singgung, bahwa suami kedua Meutia, yaitu Cik Tunong memang sedari dulu udah aktif sebagai bagian dari pasukan pribumi yang menentang penjajahan Belanda. Pada 1901, ia bersama pasukannya berhasil menghancurkan pertahanan Belanda di Aceh dengan cara melayangkan serangan mendadak.
Ketika itu, para tentara Belanda yang ada di Aceh mengira bahwa pasukan Aceh udah menyerah. Hal ini karena setelah dua tahun berselang dari perlawanan terakhir mereka yang berhasil melumpuhkan para tentara Belanda untuk sementara, nggak kelihatan ada tanda-tanda bahwa pasukan Aceh bakal melayangkan serangan lain. Dikarenakan oleh kelengahan mereka ini, para tentara Belanda pun harus menanggung akibatnya.
Usaha Cik Tunong nggak berhenti sampai di situ. Ia juga muncul sebagai komandan selama pertarungan melawan Belanda berlangsung di wilayah bagian Aceh Utara pada 1901-1903. Selama tahun-tahun itu, kabarnya Belanda kelimpungan merespon aksi perlawanan yang dipimpin oleh pasukan Cik Tunong dan Meutia.
Cik Tunong diangkat sebagai Kepala Daerah Keureutoe sebagai kompensasi atas kemenangannya memukul mundur para tentara Belanda, yang diberikan oleh Sultan Aceh saat itu. Sayangnya, nggak lama berselang, suami pertama Meutia itu ditembak mati oleh tentara Belanda setelah berhasil dipenjarakan sejak setahun sebelumnya.
Pencapaian Cut Meutia Semasa Hidupnya

Setelah kepergian Cik Tunong, pasukan pejuang Aceh pun mendapatkan komandan baru, yaitu Pang Nanggroe. Yap, sosok yang nantinya jadi suami ketiga Meutia. Mereka menikah atas wasiat yang dititipkan oleh Cik Tunong sebelum ia menghembuskan napas terakhir. Sayangnya, Meutia juga harus kehilangan suami ketiganya di medan perang, tepatnya pada 26 September 1910. Dan sekali lagi, pasukan Aceh harus kehilangan komandan mereka.
Mengisi kekosongan tersebut, Meutia pun maju menjadi komandan pasukan Aceh yang selanjutnya. Sayangnya, ketika itu, situasinya udah nggak begitu bagus. Dengan minimnya prajurit, senjata, dan pasokan pendukung lainnya, Meutia beserta pasukannya masih harus terus berdiri melawan para tentara Belanda. Dalam pertempuran yang ini, pasukan Aceh lagi-lagi harus bersiap untuk kehilangan komandan mereka untuk yang kesekian kali.
Oh iya, selama melakukan perlawanan terhadap Belanda, Meutia dikenal baik atas strategi cerdiknya di medan perang, yaitu strategi gerilya. Strategi ini punya prinsip untuk nyerang lawan secara diam-diam aja, nggak perlu heboh berkoar-koar.
Masa-Masa Akhir Cut Meutia
Bisa dibilang, kisah di penghujung hidup Meutia ini cukup tragis dan heroik. Kenapa? Ketika itu, Meutia masih bersama dengan para prajurit wanita yang lain di Paya Cicem, sedang bersembunyi dari para tentara Belanda.
Sayangnya, para tentara Belanda berhasil menemukan keberadaan mereka. Meutia dan pasukannya dipaksa untuk mundur, yang jelas-jelas langsung mereka tolak. Alhasil, salah satu tentara Belanda pun melayangkan tembakan kepada Meutia, yang mengenai kepala dan dadanya sebanyak tiga kali.
Pada hari itu, tepatnya 24 Oktober 1910, nyawanya pun dinyatakan nggak bisa diselamatkan. Meutia, yang hingga akhir hayatnya masih nggak gentar untuk terus berjuang meskipun hanya punya rencong* di tangan, dimakamkan di Alue Kering, Aceh.

Untungnya nih, Teuku Raja Sabi—putra Meutia dan Cik Tunong—yang saat itu sempat ikut kabur ke tempat persembunyian Meutia dan pasukannya, berhasil keluar dengan selamat. Ketika udah tumbuh dewasa kelak, Raja Sabi akan meneruskan perjuangan kedua orangtuanya melawan penjajah.

Untuk mengenang jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara, gelar “Pahlawan Nasional Indonesia” disematkan kepada Meutia sesuai dengan Surat Keputusan Presiden No. 107/1964.
Selain itu, namanya juga digunakan sebagai nama-nama sekolah di Aceh. Daaan, seperti yang udah gue sempat singgung, bahwa sosoknya juga diabadikan dalam pecahan uang Rp1.000,- versi terbaru yang dikeluarkan pada 2016 lalu.

***
Itu dia biografi dari Cut Meutia yang menjadi salah satu simbol pejuang perempuan sebelum masa kemerdekaan Indonesia.
Lo tahu nggak, Meutia sempat dideskripsikan sebagai “mutiaranya Aceh”—parasnya menawan dan pokoknya kayak bidadari, deh! Duh, kurang apa lagi, coba? Meskipun Indonesia kini sudah berdiri di kaki sendiri, tapi tekad dan keberanian Meutia untuk nggak gampang menyerah tetap patut untuk diapresiasi tinggi dan diikuti oleh kita, selaku para penerusnya.
Kira-kira, apa lagi nilai-nilai yang bisa dipetik dari kisah Cut Meutia? Coba sebutin di kolom komentar, ya! Oh iya, jangan lupa untuk cek artikel-artikel lain dari serial ZenRp, ya, Sobat Zenius! Ciao!
Catatan

*Rencong: senjata tradisional Aceh yang menjadi simbol bagi keberanian dan kepahlawanan rakyat Aceh.
Referensi
https://en.wikipedia.org/wiki/Cut_Nyak_Meutia
Adryamarthanino, V. (2021, Juni 2). Cut Meutia: Kehidupan, Perjuangan, dan Akhir Hidup. Diambil kembali dari Kompas: https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/02/140047479/cut-meutia-kehidupan-perjuangan-dan-akhir-hidup?page=all
Handoko, D. (2021, Juli 7). Kisah Tjoet Nyak Meutia, Pejuang Aceh yang Cantik Jelita Gugur ditembus Peluru Marsose. Diambil kembali dari Okezone: https://nasional.okezone.com/read/2021/07/07/337/2436706/kisah-tjoet-nyak-meutia-pejuang-aceh-yang-cantik-jelita-gugur-ditembus-peluru-marsose
Parapuan. (2021, November 10). Sosok Cut Meutia, Pahlawan Perempuan Aceh Garda Depan dalam Perang. Diambil kembali dari Kompas: https://www.tribunnews.com/parapuan/2021/11/10/sosok-cut-meutia-pahlawan-perempuan-aceh-garda-depan-dalam-perang
Raditya, I. N. (2018, Oktober 24). Gugurnya Cut Meutia, Mutiara Kesayangan Aceh. Diambil kembali dari tirto.id: https://tirto.id/gugurnya-cut-meutia-mutiara-kesayangan-aceh-c8ow
Belajar Sejarah Terkait Cut Meutia di Zenius
Perjuangan Rakyat Indonesia Melawan Penjajahan
Baca Juga Artikel Lainnya
Sam Ratulangi, Pahlawan Nasional dari Sulawesi Utara – ZenRp