Artikel ini menceritakan tentang bagaimana ketergantungan subsidi yang berlebihan bisa berakibat sangat fatal bagi perekonomian negara.
Subsidi itu kan enak. Harga BBM murah. Biaya listrik dan air ledeng murah. Kalo perlu, semuanya aja deh disubsidi oleh pemerintah. Kenapa pemerintah nggak subsidi semua bahan kebutuhan pokok aja, sih? Kalo semua disubsidi, kan rakyat sejahtera. Rakyat jadi nggak terbebani biaya ekonomi yang tinggi. Negara yang memberikan banyak subsidi bagi rakyatnya pastilah pemerintah yang baik dan berpihak pada rakyat.
Kalau ada orang yang berpikiran sesederhana kutipan gua di atas, berarti orang tersebut belum mengerti dasar-dasar ekonomi. Ironisnya banyak yang berpikiran seperti di atas, atau mungkin lo salah satu di antaranya? Kalaupun iya, nggak apa-apa, semua orang toh harus menjalani proses belajar. Yuk, mari kita belajar ekonomi dari kenyataan sejarah.
Lho, memang apa salahnya dengan kebijakan subsidi? Bukankah subsidi itu meringankan beban ekonomi rakyat? Berarti pemerintah itu baik dong? Berarti secara ekonomi bagus dong? Jika dilihat sekilas, kebijakan subsidi itu didasari oleh niat baik, oleh upaya keberpihakan kepada rakyat. Tapi lo juga harus tahu, ada pepatah lama yang mengatakan:
Bahasa Indonesia-nya “Jalan ke neraka, diaspali oleh NIAT BAIK”. Niatnya sih baik, tapi niat baik saja tidak menjamin hasilnya juga akan baik. Niat baik saja tidak cukup, tapi harus dibarengi oleh pengetahuan yang benar. Kalo tidak, niat baik itulah yang menjadi pembuka jalan menuju neraka.
Dalam konteks ini, niat baik yang gua maksud adalah “subsidi untuk rakyat”, dan nerakanya adalah “kehancuran ekonomi sebuah negara”. Mungkin lo pikir gua lebay, tapi izinkan gua menjelaskan maksud gua dengan sepenggal kisah sejarah 2 negara yang ekonominya hancur lebur gara-gara kebijakan subsidi. Penasaran? Yuk, kita mulai cerita serunya!
Venezuela yang KAYA MINYAK (2000-2013)
Apa yang terlintas di benak lo ketika mendengar negara Venezuela? Perempuannya yang cantik-cantik karena sering menang Miss Universe? Atau pantai-pantainya yang indah? Kalau 10-15 tahun yang lalu, guru-guru geografi di seluruh dunia pasti akan bilang bahwa Venezuela itu identik dengan minyak bumi.
Nama Venezuela mungkin tidak sebeken Arab Saudi sebagai negara penghasil minyak. Tapi faktanya Venezuela adalah negeri yang SANGAT KAYA akan minyak, bahkan lebih kaya dari Arab Saudi. Sejak tahun 1910 hingga tahun 1940, industri minyak bumi di Venezuela berkembang pesat hingga menjadi produsen minyak terbesar no.3 di dunia, cuma kalah dari Amerika Serikat dan Uni Soviet. Puncaknya, pada laporan perusahaan minyak British Petroleum tahun 2014, Venezuela dinyatakan memiliki cadangan minyak bumi 297 milyar barel, sementara Arab Saudi “cuma” punya 265 milyar barel! Minyak bumi begitu melimpah ruah di Venezuela, mungkin bisa diibaratkan seperti negeri fiksi Wakanda yang memiliki tambang Vibranium di film Marvel Black Phanter. Di sisi lain, industri dunia pada era modern ini sangat membutuhkan minyak bumi sebagai sumber energi utama. Otomatis, selama berpuluh-puluh tahun Venezuela menjadi negara yang makmur sebagai produsen minyak.
Hingga pada tahun 2000-2013, Venezuela sempat terkenal sebagai “surga dunia”. Rakyatnya dimanjakan dengan subsidi dari pemerintah. Harga bensin di Venezuela pada bulan Juni 2013 sempat mencapai 1 sen USD per liter, atau sekitar Rp 140 per liter! Gila murah banget ya!? Bandingkan dengan harga bensin di Indonesia yang mencapai Rp 6.500 (premium) – Rp 8.900 (pertamax) pada tahun 2018 sekarang. Di Venezuela, harga bensin bahkan lebih murah daripada air mineral karena bantuan subsidi pemerintah. Nggak hanya itu, pemerintah Venezuela juga memberikan subsidi bagi rakyat untuk berbagai macam sendi kehidupan, dari subsidi perumahan, subsidi listrik, bahkan subsidi makanan, dan lain-lain. Betul-betul surga dunia ya?
Tragisnya, semua kenikmatan itu harus dibayar sangat mahal, semata-mata hanya karena niat baik yang tidak dibarengi pengetahuan ekonomi yang benar. Alhasil, semua kenikmatan surga yang diberikan kebijakan subsidi hanyalah kenyamanan sesaat. Dibalik kenyamanan itu, ada harga yang harus dibayar, dan harganya sangat mahal, yaitu kehancuran ekonomi negara Venezuela. Hanya dalam berselang beberapa tahun, atau tepatnya sejak tahun 2014, Venezuela berubah 180 derajat dari “surga dunia” menjadi “neraka dunia”. Venezuela dilanda krisis ekonomi yang sangat hebat sejak tahun 2014 bahkan belum selesai hingga saat artikel ini dibuat (Mei tahun 2018).
Kebijakan Ekonomi Hugo Chavez (1954-2013)
Mungkin lo bertanya-tanya, bagaimana mungkin perekonomian Venezuela bisa jungkir balik hanya dalam waktu singkat? Untuk menjawab hal itu, mau nggak mau gua harus membahas tokoh dibalik kebijakan subsidi Venezuela yang memimpin Venezuela dari tahun 1999-2013, yaitu mantan presiden Hugo Chavez. Chavez adalah mantan tentara yang pernah terlibat kudeta, memenangkan pemilu presiden tahun 1999 setelah berkampanye besar-besaran dengan menjanjikan keadilan sosial dan pemberantasan kemiskinan.
Hugo Chavez memiliki pribadi yang kompleks, dan bisa jadi panjang banget artikelnya kalau gua ngebahas dirinya terlalu detil. Jadi pada artikel ini, gua hanya ingin mengupas beberapa aspek yang melekat pada dirinya. Satu hal yang menjadi dasar kebijakan politiknya adalah niat baik untuk memerangi kemiskinan. Maka dibuatlah berbagai macam kebijakan populis yang memanjakan rakyatnya, bermodalkan pendapatan produksi minyak bumi yang luar biasa banyaknya.
Untuk memanjakan rakyatnya, Chavez menurunkan harga bensin sampai tinggal 1 sen US Dollar. Pada saat hal ini diberlakukan, tentu hal ini menjadi pembicaraan besar di seluruh dunia. Lihat betapa kayanya Venezuela, betapa dimanjakan rakyatnya oleh pemerintahnya yang baik hati. Kemudian, Chavez juga membangun ribuan klinik kesehatan, mengimport banyak dokter dari Kuba, serta menggratiskan klinik-klinik bagi rakyat, tentu biaya pengobatan dan dokternya tidak betul-betul gratis, tapi semua ditanggung negara dari hasil produksi minyak. Luar biasa bukan? Belum lagi Chavez memberikan subsidi perumahan, memberikan subsidi makanan, dll.
Demi mengurangi pengangguran dan kemiskinan, Chavez juga terus merekrut banyak sekali pegawai perusahaan produsen minyak di Venezuela bernama PDVSA (Petróleos de Venezuela S.A.) kayak Pertamina, lah, gitu. Ribuan orang direkrut masuk ke dalam perusahaan PDVSA tanpa melalui proses seleksi yang jelas. Terlepas produksi minyak sedang stagnan atau menurun, ribuan orang terus dipekerjakan di PDVSA. Ribuan orang sengaja diterima tanpa proses seleksi kemampuan, semata-mata supaya mereka bisa mendapatkan gaji PDVSA yang sangat besar dengan harapan “terangkat dari jurang kemiskinan”.
Di sisi lain, Chavez juga memberlakukan kebijakan untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan swasta, dari yang skala kecil hingga skala besar. Dari perusahaan listrik, air ledeng, telepon, semen, peternakan, pertanian, perbankan, pemberitaan media, dll. Bukan cuma perusahaan besar, tetapi toko-toko kecil juga banyak yang diambil alih oleh pemerintah. Kalau dalam konteks Indonesia, mungkin lo bisa membayangkan jika pemerintah menasionalisasikan bank-bank swasta dan juga industri pertanian dan peternakan di daerah-daerah. Otomatis, semua karyawan swasta berubah menjadi PNS yang gajinya dibayar melalui APBN. Chavez praktis sedang memusatkan semua kegiatan ekonomi ke tangan pemerintah Venezuela, sementara sektor swasta semakin sedikit dan insignifikan jumlahnya.
Bagi Chavez, cara untuk menciptakan keadilan sosial adalah dengan mengendalikan sebanyak mungkin kegiatan ekonomi. Dalam pandangan Chavez, para pengusaha yang menciptakan usaha sektor swasta itu cuma akan menciptakan ekonomi yang tidak adil, yang merugikan rakyat miskin. Pemikiran ini namanya paham “Statisme” (State = negara) dimana negara berupaya mengambil alih segala bentuk kegiatan ekonomi seluas-luasnya dari yang skala besar hingga terkecil.
Semua kebijakan Chavez yang radikal ini juga dibumbui slogan-slogan perjuangan, seperti “Perjuangan melawan penjajah asing kapitalis bernama Amerika Serikat”. Bahkan di sidang PBB 2006, Chavez dengan sengaja menyatakan bahwa presiden AS waktu itu, George W. Bush, “Iblis berbau belerang”. Bagi mereka yang pemerhati politik luar negeri sih tahu bahwa Chavez ini cuma beretorika saja untuk tampil gagah di hadapan rakyatnya. Padahal, toh semua orang tahu, bahwa konsumen utama minyak Venezuela yang diproduksi PDVSA itu ya Negara Amerika Serikat.
Kedengarannya semua itu bagus. Efek jangka pendeknya terlihat bagus: rakyat miskin Venezuela berkurang banyak, orang² miskin jadi mendapat pelayanan kesehatan, bensin murah membuat segalanya jadi murah. Chavez memangkas angka kemiskinan: dari 60% menjadi 30%. Chavez adalah pahlawan rakyat. Sayangnya semua itu ada harganya.
Perhatikan semua kebijakan Chavez di atas, semua sektor dibebankan pada dana APBN pemerintah. Dari gaji pegawai bank sampai petani, semua digaji negara. Sementara itu, bukan berarti negara punya uang tidak terbatas, penghasilan negara juga ada batasnya. Satu sektor yang menjadi batu tumpuan bagi penghasilan negara Venezuela sudah bisa lo tebak, yaitu penjualan minyak bumi ke seluruh dunia! Masalahnya, itu menjadi satu-satunya andalan pemerintah untuk menjaga semua kesetimbangan ekonominya.
Sumber pendapatan negara Venezuela, 95% berasal dari laba ekspor minyak bumi PDVSA. Kalau di negara lain, tentu penghasilan utama negara bersumber dari pajak. Pajaknya dapat dari siapa? Sebagian besar ya dari pengusaha-pengusaha yang memutarkan ekonomi dari sektor swasta. Sayangnya, kebijakan Chavez menasionalisasikan perusahaan swasta membuat Venezuela hampir tidak punya penghasilan dari sektor pajak. Perusahaan-perusahaan yang seharusnya menjadi sumber penghasilan pajak negara, malah menjadi beban pemerintah untuk menggaji semua karyawan dan mengoperasikan perusahaannya.
Akibatnya bisa ditebak, pengeluaran negara Venezuela membengkak, naik hingga 200%! Jika pada tahun 1998 pengeluaran pemerintah adalah $12,3 milyar USD, pada tahun 2008 pengeluaran Venezuela meroket hingga $37,47 miliar USD. Bahkan ketika harga minyak sedang tinggi-tingginya, anggaran negara Venezuela tetap defisit. Lalu bagaimana jika anggaran negara defisit? Jawabannya cuma satu, ya terpaksa berutang. Jadi biarpun harga minyak sedang mahal-mahalnya, utang negara Venezuela tetap bertambah. Sebetulnya tidak masalah negara punya utang, asal dialokasikan untuk sektor-sektor produktif agar pengembalian utangnya bisa terukur. Masalahnya, utang negara Venezuela malah dialokasikan untuk menambal kebijakan-kebijakan subsidi yang selama ini memanjakan rakyat Venezuela.
Gawatnya lagi, banyak negara dan lembaga keuangan yang berani memberikan utang kepada Venezuela dengan jumlah besar! Mereka semua berpikir “Harga minyak kan sedang tinggi, pasti Venezuela bisa mempertanggungjawabkan utang ini”. Semua orang memprediksi harga minyak ke depannya akan terus meningkat.
Ironisnya sejarah ekonomi terus terulang: tidak ada harga yang naik selamanya. Prediksi banyak orang salah. Harga minyak bumi terjun bebas pada tahun 2014. Mendadak, tragedi ekonomi terbesar sepanjang sejarah menerpa Venezuela.
Krisis Ekonomi di Venezuela: Dari Chavez ke Maduro
Pertengahan 2011, Hugo Chavez menderita kanker. Sejak saat itu, dia harus menghabiskan segenap waktu dan tenaganya untuk menjalani pengobatan hingga pada 15 Maret 2013, Hugo Chavez wafat. Seluruh negara berkabung. Ketika Venezuela masih dalam proses peralihan kekuasaan, harga minyak bumi terjun bebas tahun 2014. Otomatis laba PDVSA juga ikut terjun bebas, yang artinya penghasilan negara menurun drastis! Akibatnya semua sektor industri yang selama ini bertumpu mengandalkan sokongan dana dari pemerintah, runtuh kehilangan pegangan ekonomi.
Penerus Chavez, Nicolas Maduro, kelimpungan menghadapi kekacauan ini. Setahu Maduro, kebijakan Chavez itu berhasil selama bertahun-tahun. Jadi dia pikir semua masalah akan beres dengan meneruskan apa yang sudah Chavez kerjakan. Padahal kebijakan-kebijakan Chavez untuk mensubsidi rakyat, menasionalisasikan sektor swasta, serta terlalu mengandalkan satu sektor industri (minyak bumi) adalah bom waktu ekonomi. Pemerintah Venezuela mengalami defisit yang sangat besar.
Ingat defisit, apa solusinya? Utang! Masalahnya kali ini tidak sesederhana itu. Pada zaman Chavez, banyak negara mau meminjamkan uang pada Venezuela karena harga minyak sedang tinggi. Begitu harga minyak anjlok, tidak ada yang berani meminjamkan uang pada Venezuela. Maduro terpaksa menutup defisit dengan kesalahan yang sangat fatal: mencetak uang bolivar (VEF) sebanyak-banyaknya!
Apa yang terjadi jika pemerintah mencetak uang sebanyak-banyaknya? Jika masih ada yang berpikir kalau mencetak uang Rupiah adalah solusi memberantas kemiskinan, berarti lo belum paham prinsip dasar ekonomi. Untungnya Kak Meby sudah membahas dan menjawab tuntas kenapa mencetak uang yang membuat uang menjadi tidak berharga, nilai uang menyusut, harga-harga barang melambung naik, dan terjadilah yang namanya hiperinflasi.
Hiperinflasi atau inflasi tinggi di luar batas kewajaran terus menggerogoti perekonomian Venezuela, bahkan sampai saat artikel ini dibuat (Mei 2018). Industri perdagangan lumpuh, harga-harga barang melambung tinggi, mata uang bolivar jadi tidak berharga sama sekali.
Sejak 2014, inflasi mulai meningkat tajam, makin menggila di 2015, dan sudah di luar akal sehat begitu lewat 2016. Januari 2018, angka inflasi Venezuela sudah mencapai 4000%, artinya tertinggi di dunia saat ini! Akibatnya, semua kebijakan ekonomi Chavez berlandaskan NIAT BAIK untuk menyejahterakan rakyat malah berbalik menjadi senjata makan tuan. Kemiskinan dan kelaparan melonjak tinggi. Harga barang yang terus naik membuat semua orang menyerbu toko, semua orang berupaya menimbun bahan pokok karena takut harga naik lagi besok! Bayangkan saja, setiap hari bahkan setiap jam, harga beras, kentang, dan telur naik!
Ironisnya, produksi minyak PDVSA yang selama ini menjadi andalan utama mereka terus menerus turun, sampai-sampai Venezuela harus mengimport minyak untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri Venezuela!
Ini semua pasti Konspirasi Asing!
Menghadapi masalah sebesar ini, Maduro yang sudah kehabisan akal akhirnya melakukan hal yang paling sering dilakukan politikus yang kehabisan akal: mencari kambing hitam! Untuk memilih kambing hitam ini sangat mudah: Ini pasti konspirasi asing yang mencoba menyabot negara Venezuela!
Semakin terdesak, Maduro menindak tegas semua orang yang mencoba memprotes kebijakan-kebijakannya, melabeli mereka sebagai “antek-antek asing” hingga memenjarakan para tokoh oposisi pemerintah. Akibatnya, sampai Mei 2018 ini, ibukota Venezuela, Caracas, masih terus menerus dilanda demonstrasi dan bentrokan antara rakyat dengan petugas keamanan Venezuela. Di saat bersamaan, hiperinflasi masih terus berlanjut, toko-toko di Venezuela masih kosong melompong. Tidak ada tanda-tanda Maduro akan menutup defisit.
Hiperinflasi di Bolivia (1983 – 1985)
Dari Venezuela, kita mampir ke Bolivia. Negeri Bolivia adalah negeri yang “menantang”. Dengan ketinggian rata-rata 1.192 meter di atas permukaan laut dan tidak memiliki pantai. Walaupun sampai hari ini Bolivia tidak bisa disebut negeri kaya. Namun, Bolivia pernah menghadapi masalah yang mirip dengan apa yang dialami oleh Venezuela, yaitu hiperinflasi pada tahun 1983-1985.
Masalah Bolivia dimulai dari ketidakstabilan politik sejak 1979 sampai 1985. Gonta-ganti pemerintahan dan bentrokan banyak kubu politik antar pihak oposisi dengan pemerintahan yang terlalu sering di masa tersebut membuat pengusaha lokal maupun asing takut untuk membuka usaha. Di sisi lain, satu hal yang semakin membuat kasus Bolivia mirip dengan Venezuela adalah, kebijakan subsidi!
Carut-marut politik yang berkepanjangan selama 6 tahun membuat para politikus menjual janji kepada rakyat Bolivia semakin tidak masuk akal, salah satunya ya kebijakan subsidi untuk memanjakan rakyat. Di sisi lain, perseteruan politik membuat negara tidak produktif yang berujung pada defisit anggaran. Ingat apa rumusnya defisit anggaran? Berutang pada negara lain! Awalnya memang bank-bank luar negeri & IMF bisa menambal kekurangan ini, tapi ketika kekacauan politik tak mereda, dan utang lama belum terbayar, merekapun menolak meminjamkan utang baru.
Anggaran defisit, utang membengkak, tidak ada yang mau memberikan utang. Terus apa yang dilakukan pemerintah Bolivia? Lagi-lagi kesalahan fatal yaitu mencetak uang peso! (mata uang Bolivia pada saat itu masih Peso, sekarang mata uangnya Boliviano) Pastinya lo bisa menebak apa yang selanjutnya terjadi begitu bank sentral mencetak uang sebanyak-banyaknya? Nilai mata uang menyusut, harga barang melambung tinggi, terjadilah krisis ekonomi yang dipicu hiperinflasi!
Tingkat inflasi mencapai 300% antara Oktober 1981 hingga Oktober 1982. Inflasi ini juga membuat pajak yang dibayar rakyat menjadi tak ada artinya, mengurangi pemasukan pemerintah Bolivia dan memperparah defisit. Jangan lupa juga utang-utang luar negeri yang diambil pemerintah Bolivia ada bunganya juga. Otomatis bunga utang tersebut menambah pengeluaran, sehingga semakin memperparah defisit.
Situasi makin sulit ketika upaya-upaya pemerintah untuk memperbaiki ekonomi Bolivia selalu ditentang oposisi politik dan didemo besar-besaran oleh rakyat pendukung partai oposisi. Tidak sedikit solusi yang diajukan pemerintah ditampik oleh partai oposisi pada keputusan DPR, atau terkadang oleh pejabat pemerintah sendiri.
Salah satu indikator hiperinflasi adalah rontoknya nilai mata uang Bolivia, Peso, terhadap US Dollar. Pada Juni 1983, $1 USD sebanding dengan 5000 Peso. Pada Januari 1984, sebanding dengan 10.000 Peso. Pada Juni 1984, sudah sebanding dengan 50.000 Peso. Desember 1984 sudah meloncat ke 250.000 Peso, dan Juli 1985, $1 USD sama dengan 2 juta Peso. Pada puncaknya inflasi Bolivia pada bulan Mei-Agustus 1985 mencapai 60.000%.
Inflasi di Bolivia semakin tidak masuk akal. Harga barang terus naik gila-gilaan, bahkan harga di pagi hari sudah berbeda dengan harga di siang hari! Uang yang ada di kantong masyarakat tidak ada artinya lagi, dan setiap detik berlalu uang tersebut semakin tidak berarti. Ini artinya, tabungan di bank sudah tak ada artinya. Apa artinya uang tabungan 2 juta Peso kalau cuma cukup buat beli roti kecil? Kriminalitas merajalela. Penjarahan terjadi dimana-mana. Semua toko diserbu oleh semua orang, sebab semua orang tidak mau menyimpan uang. Semua orang buru-buru menghabiskan semua uang yang ada di kantong mereka. Uang begitu melimpah tapi tidak ada artinya, uang menjadi cuma kertas tidak berharga! Lebih baik menyimpan beras atau telur daripada menyimpan uang!
Keajaiban ekonomi terjadi menyelamatkan Bolivia
Pada 29 Agustus 1985, pemerintah Bolivia mengumumkan sebuah kebijakan drastis untuk menghentikan hiperinflasi. Kurang dari seminggu, hiperinflasi berakhir. Harga-harga berhenti naik. Akhirnya, semua harga stabil. Keadaan kacau-balau yang begitu menyengsarakan rakyat cuma dalam hitungan hari berakhir. Sebuah keajaiban ekonomi yang sulit untuk dipercaya. Lho, kok bisa?
Setelah meminta saran dari Profesor Jeffrey Sachs, salah satu pakar ekonomi Amerika Serikat, pemerintah Bolivia akhirnya memutuskan menghapus subsidi BBM dan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Ketika kebijakan ini diusulkan, banyak orang yang heran:
“Lha, kalau harga BBM naik bukannya malah memicu kenaikan semua harga? Semakin naik inflasinya dong?”
Itulah yang dipikirkan banyak pejabat, dan orang-orang awam yang belum paham hukum ekonomi. Namun faktanya, kebijakan inilah yang menyelamatkan Bolivia dan kehancuran ekonomi karena hiperinflasi . Kok bisa begitu?
Penyebabnya karena salah satu pengeluaran negara Bolivia yang paling besar adalah subsidi BBM. Subsidi yang selama ini memanjakan rakyat menjadi sumber kebocoran besar pengeluaran negara. Ketika subsidi tersebut dihentikan, berhenti sudah salah satu sumber defisit terbesar negara, hilang sudah kebutuhan negara mencetak uang untuk membayar tagihannya. Ketika penyebab hiperinflasi menghilang, hiperinflasipun mereda dalam hitungan hari. Begitu penawaran yang berlebihan dihentikan, penurunan nilai mata uang atau kenaikan hargapun terhenti! Hiperinflasi di Bolivia terhenti di tahun 1985 karena defisit anggaran tersebut sudah tertutup. Semua kekacauan ini, lagi-lagi terjadi karena niat baik dengan pemberian subsidi kepada rakyat.
Kesimpulan seputar kebijakan subsidi
Menurut gua pribadi, ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita tarik dari sejarah Bolivia & Venezuela ini. Pelajaran pertama bisa diringkas oleh kalimat mutiara: “Jalan ke neraka diaspali oleh niat baik”. Niat “memberantas kemiskinan” dan “menciptakan keadilan sosial” memang amat mulia. Namun saat kebijakan itu tidak didasari analisis ekonomi, malah memicu krisis ekonomi. Niat baik tidak cukup untuk membenarkan segalanya. Niat baik harus disertai kebijaksanaan dan pengetahuan yang benar.
Pelajaran kedua, kebijakan subsidi jarang sekali membawa dampak positif ekonomi. Subsidi hampir selalu hanya menawarkan kenikmatan sesaat, tapi ujung-ujungnya menjadi bom waktu yang menghancurkan ekonomi negara tersebut. Subsidi berarti ada “distorsi”, ada campur tangan pemerintah dalam mengatur harga. Subsidi berarti ada yang diistimewakan dalam perputaran ekonomi. Ketika keistimewaan tersebut hendak dicabut, pihak yang menerimanya seringkali tidak terima, menolak, berdemonstrasi, dan berusaha mati-matian mempertahankan kenikmatan subsidi. Inilah bahaya terbesar subsidi: begitu subsidi dialirkan, sulit sekali menghentikannya. Lihat saja betapa sulitnya pemerintah Indonesia mengurangi subsidi BBM.
Dalam banyak kasus, gua pribadi berpendapat kebijakan subsidi jarang sekali menjadi keputusan ekonomi yang baik. Kalaupun kebijakan subsidi ini memang perlu dilakukan, setidaknya bisa dipertimbangkan untuk kebutuhan yang sangat fundamental, misalnya pendidikan, kesehatan, dan hal-hal vital lainnya. Sekian artikel dari gua, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan lo semua!
DISCLAIMER:
Tulisan ini dibuat saat hiperinflasi di Venezuela masih berlangsung berdasarkan data yang terbatas. Banyak data yang berhubungan dengan hiperinflasi ini masih simpang siur, dan tidak/belum dipublikasikan. Banyak data yang relevan dengan perkembangan Venezuela tidak disertakan karena tulisan ini lebih menyoroti segi ekonominya. Penulis berharap pembaca memaklumi keterbatasan artikel ini.
http://www.oilsandsmagazine.com/market-insights/oil-prices-explained-how-to-value-a-barrel-of-crude
https://www.globalpetrolprices.com/Venezuela/gasoline_prices/
https://www.youtube.com/watch?v=lOsABwCrn3E
“Why Venezuela a Catastrophy?” https://www.youtube.com/watch?v=0SP2cXoeOxY
https://www.theatlantic.com/international/archive/2017/06/venezuela-populism-fail/525321/
https://www.independent.co.uk/news/world/americas/venezuela-oil-imports-economy-industry-heavy-refining-efficiency-a8307161.html
“How Chavez and Maduro have impoverished Venezuela” |
Oil Prices Explained: Putting a Dollar on a Barrel of Crude |
“The Bolivian Hyperinflation and Stabilization”, Jeffrey Sachs,
http://links.jstor.org/sici?sici=0002-8282%28198705%2977%3A2%3C279%3ATBHAS%3E2.0.CO%3B2-0 diakses tanggal 11 April 2018
The End of Poverty, Jeffrey Sachs (Penguin Press: New York, 2005)
The Independent: “How Venezuela Has Resorted to Importing Oil as Its Core Industry Faces Collapse”
Venezuela Gasoline Prices, Liter | https://www.globalpetrolprices.com/Venezuela/gasoline_prices/
CIA Factbook: Bolivia | https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/bl.html
CATATAN EDITOR
Kalo ada yang pengen ngobrol, diskusi, atau bertanya tentang kebijakan ekonomi negara secara luas, atau secara khusus ingin bertanya tentang kasus hiperinflasi di Venezuela dan Bolivia, silakan bertanya dan ngobrol langsung dengan Kak Marcel pada kolom komentar di bawah artikel ini.
jadi, secara umum menurut sudut makroekonomi amnesti pajak lebih menguntungkan negara daripada subsidi. Betul ga?
Yup, dari sudut pandang makroekonomi, kebijakan amnesti pajak akan lebih berkesinambungan dibanding kebijakan subsidi karena dengan adanya amnesti pajak, warga yang tadinya belum pernah bayar pajak memang diampuni kesalahannya dan tidak perlu bayar pajak sebelum-sebelumnya, tapi mereka jadi terdaftar dan ke depannya jadi mudah bagi Pemerintah untuk melakukan pendataan dan monitoring mengenai kewajiban warga negara untuk membayar pajak.
Dan seperti yang lo tau, pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Jadi dengan adanya kebijakan amnesti pajak, diharapkan ke depannya pendapatan negara akan meningkat dan dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat juga nantinya.
Tapi yg saya khawatirkan sekarang hutang kita sdh mncapai 5.021 T & Rupiah tiap hari melemah nilai tukarnya sdh level 14.000 lebih per USD apakah ini tdk terlalu berbahaya, scara analisis ekonomi bgaimana anda melihat ini semua tolong di jelaskan secara perhitungan ekonomi.
Bagaimana solusi nya pengeluaran dan pemasukkan khas negara kalau tdk seimbang saya tahu negara butuh modal besar untuk pembangunan infrastruktur setiap bulan hutang kita meningkat dengan suku bunga yg besar dan saya liat pemasukan negara lebih banyak dari pajak daripada SDA..
Terima Kasih..
Tapi yg saya khawatirkan sekarang hutang kita sdh mncapai 5.021 T & Rupiah tiap hari melemah nilai tukarnya sdh level 14.000 lebih per USD apakah ini tdk terlalu berbahaya, scara analisis ekonomi bgaimana anda melihat ini semua tolong di jelaskan secara perhitungan ekonomi.
Bagaimana solusi nya pengeluaran dan pemasukkan khas negara kalau tdk seimbang saya tahu negara butuh modal besar untuk pembangunan infrastruktur setiap bulan hutang kita meningkat dengan suku bunga yg besar dan saya liat pemasukan negara lebih banyak dari pajak daripada SDA..
Terima Kasih..
pengawalan utang negara memang perlu dilakukan, tapi tolak ukurnya bukan pada nominal. Tolak ukur untuk mengawal utang negara adalah rasio terhadap GDP (debt ratio to gdp). Saat ini rasio utang Indonesia terhadap GDP adalah 29%. Artinya utang Indonesia besarnya 29% dari total pendapatannya dia. Ibarat kamu punya utang Rp 2,9 juta tapi penghasilan kamu sebesar Rp 10 juta.
untuk nilai tukar Rp yang melemah, ini disebabkan kebijakan bank sentral USA alias the Fed yang menaikkan suku bunga USD. Akibatnya semua pelaku usaha menjual simpanan mata uang lain untuk membeli USD mumpung bunganya lagi tinggi2nya.
Nyalahin the fed mulu, liat tuh rupiah terhadap baht, yen, ringgit!
malaysia rm? hahahaha malysia juga lagi kocar kacir utang negaranya lbih besar secara porsinya thdp GDP , malaysia banyak pegeluaran yg gk benar2 urgent kereta cepat msia sigapur sampe dibatalin… jepang dan thailand mah emang fundamental ekonominya lebih kuat dr pada kita yg kebanyakan subsidi tapi pendapatan negara tdk sebanyak jepang yg mengandalkan teknologi dan thailand yg megandalkan pariwisata dan industri manufaktur.. malaysia bahkan sekrg rakyatnya gotong royong nalangin utang malaysia… baca artikel diatas baik2 subsidi MENGUNTUNGKAN PADA JANGKA PENDEK. subsidi bukan jalan keluar kalau pendapatan negara masih tidak begitu memadai
Kak definisi GDP itu apa ya?
Berdasarkan definisi tersebut bagaimana keadaan ekonomi indonesia dari sudut pandang mikroekonomi terhadap hutang?
Saya pikir hal-hal yang besar dan berdampak besar selalu memiliki detail-detail penting.
subsidi dihentikan kek nya solusi yang menarik 😀 hehe
Hhehehe… memang menarik kalo dari sudut pandang makroekonomi dan pemerintah. Tapi seperti yang udah dibahas di artikel ini nih.. nggak gampang juga nyabut subsidi yang sekarang udah berjalan. Bisa-bisa seperti pengalaman Venezuela tuh, terjadi demonstrasi dan kekacauan dimana-mana.
Dan kalau subsidi bbm di Indonesia dicabut, aktor2 dibalik layar yg oposisi thdp pemerintah akan ikut “bermain” buat memeriahkan jalanya demonstrasi. bener gak kak? Hehe
mungkin sekarang bukan waktu yang tepat 😀 bisa kalah klo sekarang stop subsidi wkwkwk
“dan saya liat pemasukan negara lebih banyak dari pajak daripada SDA”
yaa kalau gini yg harus gerak itu , pengusaha2, inovator2, dan rakyatnya sendiri… kaynya protes ke pemerintah itu langkah yg salah 🙂
“Tapi yg saya khawatirkan sekarang hutang kita sdh mncapai 5.021 T &
Rupiah tiap hari melemah nilai tukarnya sdh level 14.000 lebih per USD….”
ehmm… https://www.zenius.net/blog/utang-negara-indonesia & https://www.zenius.net/blog/kenapa-harga-naik-inflasi-ekonomi????
baca komentar di atas gan udah dijelasin jwabannya sama @glenn_ardi:disqus
Kalau pajak gimana kak? Itukan mengurangi daya beli masyarakat juga. Apa itu sumber penerimaan negara yang baik ya kak?
Secara umum, pajak adalah sumber penerimaan negara yang utama. Semua negara maju membangun negaranya dari pendapatan rakyat.
terkait mengurangi daya beli masyarakat, menurut gua nggak juga ya. Tagihan pajak lebih banyak dibebankan untuk kalangan pengusaha dan karyawan kelas menengah. Sebagai contoh, jika gaji kamu belum sampai 54 juta setahun dan belum berkeluarga, maka kamu dibebaskan dari pajak penghasilan, karena ada batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Nambahin sedikit nih, pembayaran pajak perorangan juga harus mengikuti prinsip-prinsip dasar (azas pemungutan pajak) seperti yang udah dibahas di sini https://www.zenius.net/lp/c5927/perpajakan-teori
Contohnya adalah azas ekonomis, bahwa pemungutan pajak tidak membuat perekonomian masyarakat menjadi hancur. Kalo sumber penghasilannya Rp. 50 juta per tahun, dan menurut analisa dari pengambil kebijakan adalah uang segitu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seseorang (PTKP tahun 2017 adalah sebesar Rp. 54 juta untuk orang yang belum memiliki tanggungan), maka orang tersebut nggak diwajibkan untuk bayar pajak. Jadi intinya dia nggak akan jadi kesulitan dan nggak bisa menuhin kebutuhan hidupnya karena harus bayar pajak.
Hmm menarik nih. Pajak emang sumber penerimaan yang utama, tapi Indonesia kan punya banyak alternatif lain utk sumber pendapatannya (pariwisata, pertambangan, pertanian, dll). Kenapa harus ambil dari pajak yang kesannya maksa padahal ada sumber lain yang lebih baik kak? ?
Nah, pendapatan negara yg didapat dari sektor pariwisata itu ya bentuknya pajak juga. Dari pajak perhotelan, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak restoran, dll.
misalnya kalau kita ke Bali, ngabisin duit jalan2, yg dapat duitnya kan pengusaha2 pariwisata di Bali. Nah para pengusaha itulah yg menyisihkan sebagian keuntungannya jadi setoran pajak.
sektor industri dan perdagangan juga sama, negara mendapatkan pemasukan dalam bentuk pajak yg dibayarkan oleh para pengusaha. baik pengusaha tambang, pertanian, peternakan, dll. 🙂
aku agak kurang setuju, kalau masalah kenaikan pajak tidak menyebabkan penurunan daya beli. karena secara teori kenaikan tarif pajak berarti jumlah penghasilan bersih berarti berkurang yang mengakibatkan penurunan daya beli tapi memang, kenaikan tarif pajak membuat penerimaan negara meningkat. akan tetapi, tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat cenderung menurun dari 6%-7% menjadi 4%-5% sejak 2014. GDP per PPP indonesia cenderung stagnan.
Rumus sederhana yg gak disadarin banyak orang:
“Kalau ingin menambah sesuatu, subsidi hal tsb!”
“Kalau ingin mengurangi sesuatu, pajaki hal tsb!”
Jadi, idealnya kita subsidi semua yg kita anggap kurang, dan pajaki semua yg terlalu banyak. Sayangnya, kita sering salah identifikasi: yg kurang malah kita pajaki, yg berlebih malah kita subsidi.
Bonus masalah: begitu kita subsidi, hal tsb jadi banyak, tapi begitu terlalu banyak, subsidinya sulit dihentikan. Apalagi kalau mau dibalik jadi pajak.
Balik lg kekonsep awal. Segala hal yg berlebihan emang gak baik buat sendi kehidupan! dlm hal ini yah inflansi. secara logika aja kita bisa berfikir bahwa semakin banyak dan meningkatnya ragam inflansi suatu negara, Maka kebijakan itu akan ngebuat rakyat nya jadi males!! Krna dimanjakan sm yg namanya parasit. Ups [baca: inflansi] alhasil semua orang males buat berusaha lebih, krna udah ada yg “nge-backup” mereka (pemerintah).
Setelah baca artikel ini, gengsi gue jadi naik 2x lipat buat nerima subsidi, asalkan laporan Gov Spending nya jelas dan gak masuk kantong. kalo bisa subsidi bener2 harus dibatasi dan klo bisa alihkan ke hal2 yg lebih fundamental aja kek pendidikan, pendidikan dan pendidikan.
Thanks kak udah share ilmunya. very nice article ?
Tentu saya bisa jelaskan tapi tak perlu & tak baik di mata masyarakat. apalagi saat ini kita tengah menghadapi masalah keamanan, politik & ekonomi
*iykwim
#sbytolongjelaskan
Thread yang gini yang diperlukan, web netral yang menguntungkan bagi semua ‘golongan’
.
.
Tapi gue pikir stabilitas politik dan pendidikan itu sangat penting
Karena sebagus kebijakan tanpa ada dukungan dari masyarakat umum tetap saja dianggap Tidak Benar, karena tidak semua masyarakat paham apa yang dilakukan oleh pemerintah karena politik yang tidak stabil
Begitu pun pendidikan, kalo sabda sih ngomong nya “Banyak orang yang berniat baik tapi caranya salah”
.
.
Semoga kedepannya banyak yang kek gini 🙂
Terima kasih atas komentarnya!
Gilekkkk artikelny keren bgt!!!
Seketika setelah membaca ini ane teringat salah satu judul lagu queen “too much love will kill you”
Jadi kebuka pikirannya kak.. coba pelajaran ekonomi di sekolah sperti ini. Jadinya seru baca buku ekonominya hehe. Lebih bersahabat
Dutch disease
Uih, ada yang ngarti juga “Dutch disease”! Mantep!
Emg harus bener2 ngolah pemasukan dan pengeluarannya. Klo kaga malah jadi inflasi wkwk
Waaah Artikel yg sangat mendidik. Terima kasih ka. Aku jadi tau bahwa kebijakan subsidi itu merugikan negara. Hemm jadi wajar aja kalo sekarang subsidi banyak dicabut. Ternyata untuk menyelamatkan perekonomian negara. Terimakasih ka ilmunya..
Kak kalo kebijakan redominasi yg lagi santer diwacanain itu gimana kak? Apakah bakal ngaruh banyak untuk kedepanya?
kebetulan topik kebijakan redominasi sudah pernah dibahas oleh zenius blog di artikel ini >> https://www.zenius.net/blog/apa-itu-redenominasi-revaluasi-devaluasi-apresiasi-depresiasi-sanering
https://www.zenius.net/blog/wp-content/uploads/2017/11/redenominasi-rupiah.jpg
Minyak 30usd jokowi jual 8000 rupiah, bagaimana klo harga minyak seperti pas pak presiden SBY 150usd, jokowi mau jual tuh minyak 30-40rb?? Gila lu!
Hai kak, apabila terjadi kenaikan harga minyak, tentunya akan Ada penyesuaian. Bila dirasa terlalu tinggi, bukan tidak mungkin akan diberikan subsidi.
Namun kecil kemungkinan harga minyak bumi akan naik, saat ini trennya justru semakin turun. Hal Hal tsb juga berhubungan dengan tren penggunaan energi alternatif.
Semoga membantu. 🙂
Ya makanya jangan nyalahin preaiden SBY mulu, kebijakan presiden SBY tepat pada jamannya,, Ingat, mak banteng cuma mewariskan APBN 400T pertahun, apa yg bisa diperbuat dengan APBN sekecil itu, tp Presiden SBY zenius dia bisa bikin bangsa ini maju hingga bisa mewariskan APBN 1600T ke jokowi, naik 400 persen! Tapi dengan APBN yg besar jokowi masih terus menambah hutang 1800T!
Soal utang2an ga sesederhana itu hehe. Liat konsentrasi pemerintah mau kemana ? Dan utang klo di pake bener mah harus nya dpt mempercepet pembangunan
Apakah hutang itu dipakai dengan benar? Pertumbuhan mandeg gini,,, Harusnya zenius bikin studi semua proyek infrastruktur pemerintahan yg sekarang beserta nilainya, nyampe ga tuh 1800T seperti hutang kita yg bertambah! Biar semua tau rezim ini cuma tipu2!
well, kalau misalnya udh bahasannya kaya gini, kayanya ga salah deh kalau agan baca artikel ini dulu… https://www.zenius.net/blog/utang-negara-indonesia
Artikel ga guna, gw ga nyalahin pemerintah berhutang, Presiden SBY juga berhutang 1200T selama 10 tahun, tp dia masih bisa kasih subsidi 300T pertahun dan menumbuhan ekonomi hampir 400 persen! Mending lo bikin artikel semua nilai proyek infrastruktur jokowi, biar bisa kita liat sebanding ga dengan subsidi bbm yg dia cabut dan hutang 1800T yg dia bikin 4 tahun ini!
whoa, kalem :v… pertama tama “…menumbuhan ekonomi hampir 400 persen” ???… yang saya tau, data yg di berikan kemenkeu hanya berkisaran 4-6%… saya gatau kalau ekonomi di zaman SBY bisa se pesat itu….
“Artikel ga guna, gw ga nyalahin pemerintah berhutang” & “…biar bisa kita liat sebanding ga dengan subsidi bbm yg dia cabut dan hutang 1800T yg dia bikin 4 tahun ini!“….
yaa itulah makanya saya kirim link artikel di atas… agan jelas2 mempermasalahkan utang negara dan sebanding tidaknya dengan pemerintahan sekarang ( yang jelas jelas bisa dilihat ikalau utang negara masih di batas aman… http://politiktoday.com/perbandingan-utang-indonesia-era-sby-dengan-era-jokowi/ ) 🙂 https://uploads.disquscdn.com/images/92854d76e4a94e45f15e681d2486cf7a5f9d16c0d58ab89a8dcb8a6d26085c46.jpg
Cek GDP 2004 dan 2014.
Gw ga terlalu peduli batas aman, karena sesungguhnya yg namanya batas aman,, Gw concern ke penggunaannya, hutang 10rb T juga klo bener2 dipake yg bener ga masalah,,, Sudahlah, anda sama dengan yg lain, ketika ditanya total nilai infrastruktur yg dibangun oleh rezim ini, tak menjawab cuma planga plongo…
ow jadi ini contoh massyarakat yang disebut sebagai penghalang kebijakan pemerintah.nice artikel,beserta contohnya lagi.
Halo Benjamin Makarov, perlu diperhatikan artikel ini mengulas kebijakan subsidi dari sudut pelajaran ekonomi, contoh kasus yg dibahas untuk topik ini juga di Venezuela dan Bolivia. Jadi keliatannya malah kamu sendiri yang mengait-ngaitkan artikel ini dengan konteks Indonesia.
Kita di sini lagi bicarakan topik subsidi dalam konteks pelajaran ekonomi, bukan soal politik. 🙂
Soalnya ada orang dungu yg menyalahkan kebijaksanaan subsidi presiden SBY yg 300T pertahun,, Sekarang subsidi itu dicabut, harusnya dengan dicabutnya subsidi 300T pertahun itu si dungu bisa bayar bunga dan pokok hutang kita. Ini malah nambah hutang 1800T pertumbuhan ekonomi mabdeg dan pembangunan infrastruktur secuil! Kemana aja tuh duit, itu yg harus kita kritisi agar negara ini ga bangkrut banyak hutang seperti venezuela!
artikel gak guna? artikel diatas menjelaskan beberapa prinsip ekonomi, ya gak guna buat yg gk mau belajar ekonomi dan bebal.. kemana th duit? ya bangun infrastruktur, dan belanja negara lainna yg meningkat setiap tahun.. ingat indonesia negara besar 250 juta jiwa penduduknya banyak aparaturnya pns yg mesti digaji (makanya sampai mau dikurangi) belum biaya kesehatan macam bpjs dll dan juga subsidi sebagian.. gk mau nambah utang dan belanja negara? gampang bro gk usah bangun infrastruktur tapi tetap ada efeknya secara keseluruhan.. tidak ada percepatan pembangunan ekonomi jadinya dan tidak akan bisa mengurangi biaya2 macam biaya distribusi barang… kalaupun ditambal dgn subsidi tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi PADA JANGKA PANJANG.. indonesia semakin tdk akan bisa mengejar ketertinggalannya dgn negara2 maju lainnya termasuk malaysia yg sudah menghubungkan ujung thailand sampe singapura dgn tol.. jgn jdi bodoh macam ketua bem ui yg bilang tol hanya untuk yg bermobil.. bersusah susah dahulu bersenang2 kemudian
pls jng ikut koment disni
Mantap sekali,akhirnya mindset ane berubah,ane sekarang lebih merhatiin masalah subsidi&perpajakan
Mantap sekali zenius,jadi tambah yakin bakal belajar lewat zeius
kalau yg dialami Venezuela itu mirip dg yg dialami Bolivia, apakah kebijakan yg sama.bisa mengatasi masalahnya venezuela?
Gak persis sama. Bolivia mengatasi hiperinflasi dg mencabut subsidi BBM. Venezuela SUDAH mencabut subsidi BBM. Sejak April 2018, harga bensin di Venezuela saat ini sudah 8.71 USD perliter, sekitar 125 ribu Rupiah perliter. Namun, ekonomi udah keburu hancur lebur, dihilangkannya defisit subsidi bensin ternyata tak cukup. Rasa²nya sih harus ada privatisasi besar²an di Venezuela.
Bakalan rusuh besar2an klo gitu mah wkkwkw
Saya agak kurang setuju, Justru subsidi itu penting agar menjaga daya beli masyarakat. Namun, jangan sampai subsidi berlebihan. Niat pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur memang bagus namun berlebihan. Menurut saya kebijakan mencabut subsidi dan menaikan pajak justru membuat daya beli masyarakat semakin menurun. Hal ini menyebabkan orang2 menahan konsumsi yang mengakibatkan roda perekonomian tidak berputar dengan baik. Ibarat kita membuat barang modal untuk produksi tapi yang membeli sudah jatuh miskin sehingga hasilnya percuma. Pertumbuhan ekonomi indonesia saat ini hanya berkisar pada 4.79%-5.06%, jauh berbeda di era sby yang dimana berkisar pada 6%-7%. Padahal saat itu terjadi krisis ekonomi global 2008 dan 2012 namun, pertumbuhan ekonomi bisa terjaga di angka 6%.
“Justru subsidi itu penting agar menjaga daya beli masyarakat.”
-> Daya beli masyarakat akan jeblok begitu terjadi inflasi.
“jangan sampai subsidi berlebihan.”
-> Nah, ini tricky-nya, berlebihan atau tidak bisa berubah. Namun, begitu subsidi diberikan, saat jadi “berlebihan” udah susah benget nurunin subsidi tsb.
“Niat pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur memang bagus namun berlebihan. Menurut saya kebijakan mencabut subsidi dan menaikan pajak justru membuat daya beli masyarakat semakin menurun.”
-> Balik lagi, subsidi bisa menciptakan defisit yang bisa menyebabkan inflasi, bahkan hiperinflasi. Saat ini, di Indonesia memang subsidi masih blom menciptakan hiperinflasi, tapi balik lagi ke sifat alami manusia: SUSAHNYA setengah mampus mencabut subsidi tsb ketika subsidi bahkan ketika sudah berlebihan! Ingat: lebih baik mencegah daripada mengobati. Lebih baik menginformasikan dan mendidik masyarakat bahwa jangan terus²an mengandalkan subsidi pemerintah untuk meningkatkan “daya beli” daripada meninabobokan masyarakat dg “Bagi² duit” melalui subsidi.
-> Subsidi yg dimaksud disini adalah subsidi BBM dan produk² komersil lainnya. Kalau barang² yang merupakan hak hidup warganegara seperti pendidikan, jasa kesehatan, penegakan hukum, dan sejenisnya sih beda lagi.
kayaknya agan mengaggap inflasi itu berbahaya, padahal inflasi itu penting agar meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu. justru deflasi atau penurunan harga membuat biaya produksi tidak terpenuhi. Hal ini mendorong pelaku ekonomi untuk mencari solusi alternatif agar produksi terus berjalan. Salah satu hal yang pasti dilakukan adalah menurunkan upah tenaga kerja. Disukai atau tidak, kebijakan ini bakal ditempuh oleh sembarang perusahaan karena menutup usaha bukanlah pilihan yang seksi dan menarik; sementara melakukan pemecatan massal akan berimbas pada persoalan yang lebih pelik.
“1. kayaknya agan mengaggap inflasi itu berbahaya, padahal inflasi itu penting agar meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi”
-> Inflasi sedikit memang tak berbahaya. Tapi balik lagi, kitakan lagi membicarakan defisit negara dan subsidi yg berlebihan yang bisa berujung pada hilangnya kemampuan negara membayar hutang²nya. Begitu defisit tak terkendali, begitu negara gak bisa hutang lagi, kita sudah membicarakan hiperinflasi.
“2. defisit memang menyebabkan inflasi namun inflasi berguna yang saya kemukakan di point pertama. banyak negara melakukan kebijakan defisit anggaran hal itu bertujuan untuk melakukan pembangunan ekonomi karena, berfungsi sebagai stimulus ekonomi. kebijakan surplus anggaran baru bisa digunakan bila sudah hiperinflasi namun, risiko yang terjadi adalah pembangunan ekonomi terhenti. sekali lagi defisit dan inflasi penting untuk menstimulus ekonomi namun, harus terkendali”
-> Betul harus terkendali, makanya saya bilang, jahatnya subsidi itu adalah begitu dimulai susah dikurangi, apalagi dihentikan. Kalau sudah tak bisa dikurangi atau dihentikan, artinya gak bisa dikendalikan! Mirip² kayak narkoba, begitu udah nyandu, udah susah berhentinya.
“3. subsidi BBM dan produksi komersil memang harus dikurangi tapi, tidak harus dihentikan seluruhnya dalam waktu cepat. kenapa? seperti yang saya katakan untuk mengenjot konsumsi.”
-> Saya gak pernah bilang “Wajib menghentikan semua subsidi saat ini juga.”
-> Balik lagi, lebih gampang mencegah daripada mengobati. Lebih gampang tidak memulai subsidi² daripada memulai subsidi baru dg mentalitas “Subsidi dibutuhkan untuk menggenjot konsumsi.” Bukan cuma kita harus mengurangi subsidi² yg udah ada pelan², tapi juga kita harus super hati² menerapkan subsidi baru.
saya menghormati pendapat anda.
namun, pendapat saya untuk negara dengan status developing country masih diperlukan subsidi yang berguna untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan stimulus perekonomian. bahkan presiden Rosevelt dengan program new deal mengurangi pajak dan meningkatkan subsidi guna menyelamatkan amerrika dari great depression
Roosevelt dg New Deal nya itu adalah saat ekonomi memang sedang mengalami depresi. Saat ekonomi sedang mengalami “Magneto-alternator problem” kalo kata John Maynard Keynes atau lebih ringkasnya “Ekonomi gak mau berputar karena semua ketakutan berbisnis.” Tentu saja di saat kayak gitu pemerintah musti keluar uang.
Soal perbandingan rasio hutang dan hutang negara di era SBY vs era Jokowi, begini komentar saya:
1) Era SBY sudah 2 periode atau 10 tahun. Era Jokowi satu periode saja belum.
2) Defisit belanja negara (yg menjadi penyebab hutang) kalau kita bandingkan di tahun² terakhir SBY dg periode pertama Jokowi ini sebetulnya mirip. (Sumber: https://tradingeconomics.com/indonesia/government-budget )
3) Pertumbuhan ekonomi saat ini masih rendah karena infrastruktur yg dibangun Jokowi itu belum selesai, efeknya positifnya buat daerah belum terasa. Pembangunan infrastruktur skala besar juga bisa menyebabkan “Crowding Out” (https://www.economicshelp.org/blog/1013/economics/crowding-out/) karena pengeluaran besar negara ini memperkecil pengeluaran swasta yg berujung pada mengecilnya pertumbuhan ekonomi.
4) Di sisi lain, ekonomi Indonesia masih sehat saat krisis 2008 karena ekonomi Indonesia memiliki pasar lokal yang besar. Jebloknya permintaan luar negeri bisa ditutup oleh permintaan dalam negeri.
1) kalau kita bandingkan dengan rasio hutang sby periode 3 tahun pertama, rasio hutang pemerintah dari 47,3% menjadi 35,2% tapi, pertumbuhan ekonomi 5,6%-6,3% sedangkan, era jokowi rasio hutang meningkat tapi pertumbuhan ekonomi hanya dikisaran 4,79%-5.03% dengan asumsi kedua presiden baru memulai infrastruktur.
2. defisit anggaran kalau misalkan di tahun pertama sby dan jokowi justru defisit anggaran ekonomi sby lebih rendah dibawah 2% berarti seharusnya pertumbuhan ekonomi masyarakat seharusnya lebih rendah.
3. teori crowding out bertentangan dengan teori keynesian yang menyatakan bahwa perlu ada campur tangan pemerintah untuh meningkatkan pertumbuhan ekonomi. http://www.dollarsandsense.org/archives/2009/0509reusskeynespartI.html
http://anitadiahmawarni.blogspot.co.id/2013/07/kurva-lm-dan-crowding-out.html
4. apakah ini berarti ekonomi sekarang tidak sehat? mengigat pertumbuhan ekonomi menurun.
5. topik yang anda tulis cukup bagus gan. ane hormati pendapat agan. kayaknya berdasarkan diskusi kita ada perbedaan argumen kalau agan cenderung ke kebijakan moneteris(laissez faire), kalau ane lebih condong ke keynesian. tapi ane menghormati argumen agan.
Mantep bgt artikelnya hehe
Tapi biasanya pergerakan intelektual (aksi) dikampus2 anti bgt sama pengurangan subsidi dan langsung demo hehe. Tapi di sisi lain nuntut pembangunan dan masalah fundamental ini itu hehe.
#forfunonly
Samuel P. Huntington di buku “Political Order in Changing Societies” pernah memperhatikan satu pola: mahasiswa itu SELALU demo! Mau pemerintah demokratis, mau pemerintah diktator militer, mau pemerintah kerajaan absolut, pokoke begitu ada kesempatan demo, mahasiswa itu selalu demo! Intinya: demo mahasiswa itu sendiri gak penting. Kalo masyarakat lain seperti petani, kelas menengah, dll ikut demo, barulah demo mahasiswa tsb jadi penting.
Kalo gw ngeliatnya gini
Mahasiswa akan berusaha nunjukin taring ngejalanin fungsi sosialnya ketika ada sedikit saja celah buat di demo. Padahal kadang esensinya ga penting, atau bahkan ada yg ga paham hehe.
Jadi kayanya aksi itu hanya supaya mahasiswa “keliatan” gerak aja.
Itu sih yg gw peratiin klo di indonesia, klo diluar gw kurang tau wkwkwk
menurut saya sih, subsidi itu bukan sesuatu yg bikin negaranya hancur, kasus venezuela di atas disebabkan oleh pemerintah yg menjalankan sistem sosialisme di negaranya, industri dipegang dan dikelola pemerintah dengan perencanaan ekonomi terpusat, gak ada celah buat perusahaan swasta hidup sementara kasus bolivia disebabkan ama kondisi politik negaranya sendiri yg memang udh kacau krn bentrokan antar kubu politik (ini sih emang elit politiknya aja yg egois dan arogan). perlu diperhatikan bahwa perusahaan swasta dibutuhkan oleh negara (sebagai salah satu sumber pajak which is salah satu pendapatan terbesar negara). masalahnya, kebanyakan perusahaan swasta bisa bikin rakyat miskin makin miskin, bayangin aja kalo subsidi dihilangkan dan perusahaan2 swasta di mana2 (dengan asumsi negara cuma megang sedikit perusahaan di negaranya i.e. perusahaan listrik, air), betul ekonomi negara bakal naik sangat tinggi, tapi rakyat yg menikmati “keindahan” cuma yg di kelas atas, yg di kelas menengah bakal berusaha bwt hidup dari hari ke hari, sedangkan kelas bawah gk punya kesempatan bersaing, makanya subsidi itu masih diperlukan rakyat, terutama yg miskin. saya setuju sih, sama tulisan di atas kalau subsidi harusnya digunakan pada sektor2 fundamental, tapi saya kurang setuju kalau subsidi itu harus dihilangkan dalam sebuah negara. semua kembali ke pemerintahnya yg bikin perencanaan ekonomi, apakah bisa bikin lebih makmur atau sebaliknya.
“menurut saya sih, subsidi itu bukan sesuatu yg bikin negaranya hancur,”
-> subsidi sendiri memang tidak otomatis menghancurkan negara. Namun, efek rakyat jadi manja dan menolak pengurangan subsidi jelas tidak membantu negara. Apalagi ketika ada defisit parah yg bisa diperingan dengan mencabut subsidi yang tidak dibutuhkan.
“masalahnya, kebanyakan perusahaan swasta bisa bikin rakyat miskin makin
miskin, bayangin aja kalo subsidi dihilangkan dan perusahaan2 swasta di
mana2 (dengan asumsi negara cuma megang sedikit perusahaan di negaranya
i.e. perusahaan listrik, air), betul ekonomi negara bakal naik sangat
tinggi, tapi rakyat yg menikmati “keindahan” cuma yg di kelas atas, yg
di kelas menengah bakal berusaha bwt hidup dari hari ke hari, sedangkan
kelas bawah gk punya kesempatan bersaing, makanya subsidi itu masih
diperlukan rakyat, terutama yg miskin. ”
-> Ekonom Thomas Sowell punya pandangan menarik tentang asumsi perusahaan membuat rakyat miskin makin miskin sementara pemerintah menolong rakyat miskin: “Kalau asumsi ini benar, seharusnya orang miskin di negeri Marxis-sosialis hidupnya lebih enak daripada di negeri non Marxis-sosialis. Namun, faktanya orang2 miskin di negeri2 non sosialis lebih baik. Faktanya, orang2 kelas menengah di negeri non sosialis lebih banyak, lebih makmur. Di negeri sosialis, malah yg kaya cuma segelintir:para pejabat dan kroni2 mereka.”
https://www.youtube.com/watch?v=G4NFBfzTtao
kenyataanya masih banyak negara, khususnya developing country yang masih memakai subsidi untuk stimulus ekonomi. ada contoh sukses seperti china dan india, tapi ada juga contoh gagal seperti venezuela.
https://www.iea.org/statistics/resources/energysubsidies/
keren.
dulu gue sempet berpikir kenapa pemerintah ga kasih banyak subsidi aja yak, kan bisa membantu rakyat. eh ternyata, malah bisa bikin negara hancur juga kalo berlebih. thanks zen!:3
Waw sangat membuka wawasan, terima kasih!
Jika kita membandingkannya dengan Indonesia, Suatu kebijakan yang tepat jika pemerintah ingin mengurangi subsidi bbm misalnya, untuk keperluan yang lebih baik lagi, tetapi hal tersebut terhalang oleh masyarakat yang hanya tau, jika subsidi dikurangi, pokoknya demo…
Benar seperti itu kak Marcel ?
Kak marcel , kalo misalnya kaya pak SBY yang waktu itu jor2an memberi subsidi kepada rakyat apakah suatu hari nanti bisa jadi bom waktu di Indonesia ?? Dan kalo kaya pak Jokowi yang sekarang membangun dimana2 apakah bisa menjadi suatu kebijakan yang baik ?? Makasih
Kebijakan subsidi itu minimal menjadi candu, yang membodohi rakyat, membuat rakyat kecanduan “Duit gratis”. Gak aneh kalo jadi bom waktu.
No comment soal pribadinya, soalnya kalo udah ngebahas soal tokoh tertentu, jauh lebih rumit.
Saya minta tanggapan soal pembangunannya kak. Kaya yang pak jokowi lakuin sekarang. Pembangunan gede2an. Apakah ini bagus ??
Bagus secara jangka panjang. Indonesia masih kekurangan infrastruktur, terutama luar Jawa.
Jelek secara jangka pendek. Biaya pembangunan ini mahal, dan bisa ada efek “Crowding Out” yaitu pengeluaran besar²an oleh pemerintah malah menurunkan pertumbuhan ekonomi karena dana tsb tak bisa digunakan swasta untuk mengembangkan usaha mereka.
Selain itu, sulit menggeneralisir “pembangunan gede²an” sebab tergantung banyak hal. Misalnya:
1) Berapa defisit anggaran saat itu?
2) Bagaimana keadaan infrastruktur saat itu?
3) Bagaimana keadaan ekonomi dunia?
4) dll
https://www.economicshelp.org/blog/1013/economics/crowding-out/
https://en.wikipedia.org/wiki/Crowding_out_(economics)
Emangnya para presiden itu ketika bikin kebijakan nggak didampingi ahli ekonomi ya? Kemana menteri ekonomi/ keuangan?
Ekonomi itu ilmu yang “Aneh”. Ketika ada kontroversi, ketika para ahli²nya berdebat, semua orang ingin tahu pendapatnya para ahli ekonomi ini. Ketika para ahli² ekonomi sepakat, ketika sebuah masalah ekonomi sederhana sudah begitu jelas, sudah begitu pasti, GAK ADA YANG NANYA PENDAPAT AHLI EKONOMI!! Kalo di mitos Yunani, ahli² ekonomi itu kayak peramal Cassandra: “Dikutuk dewa sehingga ketika ramalannya akurat, tidak ada yang mau mendengarkan dia.”
Kok gitu?
Soalnya, seringkali kepastian ekonomi itu pahit.
“The first lesson of economics is scarcity: There is never enough of anything to fully satisfy all those who want it. The first lesson of politics is to disregard the first lesson of economics.”
“Pelajaran pertama ekonomi adalah kelangkaan: tidak pernah ada kecukupan untuk memenuhi keinginan semua orang. Pelajaran pertama politik adalah tidak menganggap pelajaran pertama ekonomi.”
— Thomas Sowell
Ketika para ahli ekonomi ribut, para politikus biasanya tinggal kutip pendapatnya para ahli ekonomi yang mendukung kebijakan dia. Sebaliknya, ketika ekonominya udah pasti, GAK ADA pejabat yg mau, soalnya kebijakan ekonomi yg pasti tuh bertentangan dg politik.
Joint yukkkk di F*a*n*s^B*e*t*t*i*n*G 🙂
Artikel ini cukup menarik, namun tidak berimbang. Penulis seakan mengarahkan pembaca bahwasanya subsidi adalah kebijakan yang negatif. Bisa dilihat dari judul, ketika memang penulis ingin mengulas dampak negatif dari subsidi, seharusnya menggunakan redaksional yang berimbang seperti ‘risiko subsidi’ sehingga dapat secara objektif menafsirkan penjelasan ‘kebijakan subsidi’. Kemudian dari segi pembahasan kasus yang dibahas hanya pada subsidi bbm, padahal subsidi tidak hanya pada produk konsumtif, tapi juga produk pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, dll. Contohnya german dan france yang memberikan subsidi penuh pada penddidikan. Pemilihan kasus juga harus dikomparasikan terhadap situasi geopolitik pada negara tersebut. Kebijakan negera A ketika diterapkan di negara B, kemungkinan berbeda penerapannya. Perlu diperhatikan lagi, bahwa perekonomian suatu negara sebaiknya jangan dipersempit hanya dilihat dari growth rate nya saja, tapi yang lebih penting adalah welfare state/kesejahteraan rakyatnya itu sendiri. Mulailah berimbang ketika memberikan opini. Bertindak adil sejak dalam pikiran!
Terima kasih Raditya atas komentar dan masukannya.
Mungkin kita lihat kembali judul artikel ini: Bagaimana Kebijakan Subsidi BISA Menghancurkan Negara?
Kata kuncinya adalah “bisa” menghancurkan negara.
Apakah kebijakan subsidi bisa TIDAK menghancurkan negara? Tentu saja bisa dalam penerapan tertentu, tapi bukan itu yg ingin dibahas dalam artikel ini.
Sebaliknya, Apakah kebijakan subsidi bisa berbahaya bagi sebuah negara? Bisa. Bisakah itu menghancurkan ekonomi negara? Bisa. Perlukah pembuat keputusan berhati-hati? Perlu banget. Bagaimana hal tersebut terjadi dalam sejarah ekonomi? Nah, jawaban dari pertanyaan itu ada pada isi artikel ini.
Jadi saya pikir bukannya tidak berimbang, tapi penulis memang membahas konteks kondisi ekonomi yang sesuai dengan judul yang ingin dia dibahas.
“Artikel ini cukup menarik, namun tidak berimbang.”
“Mulailah berimbang ketika memberikan opini. Bertindak adil sejak dalam pikiran!
-> Berimbang kedengarannya bagus. Sampai ketika kita dihadapkan pada pilihan yg jelas: Benar vs salah. Kalau kita memprioritaskan “Berimbang” kita jadi tidak bisa bilang “Benar” maupun “Salah” sebab akan menghancurkan keseimbangan. Batas salah dan benar jadi kabur, jadi hilang, demi keseimbangan.
“Perlu diperhatikan lagi, bahwa perekonomian suatu negara sebaiknya jangan dipersempit hanya dilihat dari growth rate nya saja, tapi yang lebih penting adalah welfare state/kesejahteraan rakyatnya itu sendiri.”
-> Tidak ada kata “Pertumbuhan ekonomi” di artikel tsb.
-> Loh, memangnya rakyat Venezuela sejahtera?
-> Niat baik welfare state memang bagus, tapi cita² tsb harus diwujudkan di dunia nyata. Makanya saya menulis “Jalan ke neraka diaspali oleh niat baik” soalnya seringkali niat baik jadi satu²nya pembenaran kebijakan yg menyengsarakan begitu banyak manusia.
Dalam mengarungi revolusi industri ke-4 dimana robot (AI) berperan banyak pada kehidupan kita, salah satu isu yang muncul dan hanghat diperbincangkan ialah universal basic income. UBI itu sendiri banyak diartikan bahwa setiap warga negara dalam tingkatan tertetu akan diberi basic income secara cuma-cuma. Hal ini sedang dilakukan uji coba di negara-negara besar seperti Finlandia dan Kanada. Jika dalam artikel ini subsidi (banyak) dapat membahayakan negara (apalagi ditambah parameter lain seperti politik yang tidak baik atau pendapatannya bergantung pada sumber tertentu saja), maka bagaimana dengan konsep UBI ini? Nah mungkin akan seru juga jika teman-teman zenius membahas UBI ini. 🙂
Universal Basic Income buat saya itu nonsense. Minimal ada 3 point:
Pertama, kenyataannya orang² yg menang lotere sekalipun MASIH mau kerja. Pekerjaan itu bukan cuma soal pemasukan uang, tapi juga soal rutinitas, soal “Sense of Belonging”, soal harga diri. Jadi, UBI itu tidak bisa menggantikan pekerjaan yg menghilang.
https://news.gallup.com/poll/163973/work-even-won-millions.aspx
Kedua, kalau dikembalikan ke point utama artikel ini, duit cuma² itu kayak candu, begitu dimulai susah dihentikannya. Apalagi kalau UBI dimulai padahal masih ada begitu banyak pekerjaan.
Ketiga, revolusi industri yg menghilangkan jutaan pekerjaan sudah terjadi 3 kali. Tiga kali itu juga puluhan juta pekerjaan baru tercipta. Jadi revolusi industri keempat ini sih bisa jadi menciptakan jutaan jenis pekerjaan baru, pekerjaan² yg sebelumnya gak terpikir sama sekali, jadinya UBI tidak dibutuhkan.
Kok gue ngerasa zenius ada keberpihakan yah, ah itu mungkin cuman perasaan gue. Keterkaitan sama subsidi BBM siapa sih yg nikmatin apakah orang miskin juga kah? engga jga. Orang kaya jga nikmatin men dan orang kaya nikmatin yang paling banyak. Kalo subsidi itu bener2 dialokasikan untuk orang miskin (sesuai pengertian miskin di indonesia) gue rasa itu bakalan jadi hal yg bagus. Win2 solution nya apa. Dalam contoh BBM menurut gue supaya yg kaya ga disubsidi buat produk BBM subsidi yg tingkat RON-nya rendah yg ga mungkin bsa dipake utk kendaraan kekinian. Sebaliknya RON yg tinggi jangan dikasih subsidi. CMIIW
“Orang kaya jga nikmatin men dan orang kaya nikmatin yang paling banyak. Kalo subsidi itu bener2 dialokasikan untuk orang miskin (sesuai pengertian miskin di indonesia) gue rasa itu bakalan jadi hal yg bagus.”
-> Ini dia yang susah. Setiap kali kita bilang “Subsidi BBM ini harus tepat guna, cuma untuk orang miskin” artinya kita membicarakan kontrol, kita membicarakan pengawasan.
Dimana ada kontrol, dimana ada pengawasan, berarti negara harus menghabiskan uang, tenaga kerja, waktu, dll.
Dimana ada kontrol, dimana ada pengawasan, ada celah baru untuk korupsi.
Jadi, balik lagi, niat boleh bagus, boleh mulia. Namun, niat aja gak cukup, seringkali niat mulia akibatnya bukannya mulia, malah mencelakakan, karena kenyataan di lapangan. Masih banyak cara lain untuk membantu orang miskin tanpa memulai subsidi yang susahnya setengah mati untuk dikurangi, apalagi dihentikan.
Gue kebetulan baru baca artikel ini, artikel yang sangat cocok dibaca mengingat lagi hot-hotnya isu BBM, hehe.
Ka Marcel, kalo Pemerintah mengurangi bahkan menghapus subsidi BBM, ada ngga sih kebijakan yg bisa mengontrol kenaikan harga bahan pangan dll? Makasih ya kak.
Kebijakan yang mempengaruhi harga bahan pangan biasanya disebut “Neraca Setimbang”.
Intinya, pemerintah menimbun bahan pangan ketika harga murah. Permintaan dari pemerintah ini akan meningkatkan harga pangan ketika harga terlalu rendah.
Ketika harga sedang tinggi, pemerintah menjual bahan pangan yg ditimbun tsb. Penawaran dari pemerintah ini akan menurunkan harga pangan ketika harga terlalu tinggi.
Kalo di Indonesia, badan pemerintah yang mengurus ini namanya Badan Urusan Logistik, atau Bulog.
Mantap bang, Tolong blog selanjutnya membahas tentang EXTERNALITAS dan KONDISI PARETO OPTIMAL , salah satu materi kuliah ekonomi favorit 😀
menurut saya subsidi baik jika dipakai pada waktu yang tepat dan orang yang tepat, Kalau dibahas secara spesifik bakal akan sulit, Tapi berdasarkan buku yang saya baca mikroekonomi edisi ke-8 karya robert s.pindyck dan daniel l.rubinferd, alangkah baiknya menjelaskan subsidi menggunakan pendekatan Kurva karena variabel yang terpengaruh bermacam-macam,
Tapi terlepas dari perdebatan ini tentunya kebijakan pemerintah bisa dilakukan secara silmutan artinya tidak hanya subsidi, tetapi bisa saja seperti price floor, price celling, price support, supply restriction, dan lain-lain, jika dijelaskan menggunakan kurva terlihat jelas pengaruhnya terhadap surplus konsumen dan surplus produsen berserta deadweightloss nya
kak marcel tidak berniat membahas sesuatu terkait mekatronika, atau pengalaman mempelajari mekatronika?
Wah, sayangnya jiwa saya bukan jiwa teknik. Makanya kurang tertarik membahas Mekatronika.
Untuk kasus krismon 98 itu masalahnya karena penarikan besar²an USD dari asia tenggara ke USA ya bang? Karena gw pernah liat berita ttg kenaikan listrik sama BBM di tahun segitu tapi ya tetep aja rupiah makin lemah
Kalo krismon itu masalah penarikan modal dari Indonesia ke Amerika, Jepang, dan negara² modal besar lainnya.
Ditariknya modal tsb karena kolapsnya lembaga² forex di Thailand, jadinya pemilik² piutang asing tsb rame² narik duit mereka dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
anda tau ga tentang Teknologi Pangan Berbasis Halal? Jurusan Paling Dicari? Ayo Mampir Kesini https://wp.me/pa6NeQ-a