Apa bedanya antara IQ, EQ, dan SQ? Semua istilah ini dibahas tuntas dari sejarahnya, pengertian, dan lain-lain.
Udah jadi dambaan tiap ortu kalo anaknya itu bakal jadi anak yang pinter, cerdas dan berbudi pekerti luhur (sedaapp). Pasti lo sering ngalamin deh, didoain, diharepin, dipaksa, bahkan diomelin sama ortu cuma biar lo jadi pinter. Oleh karena itu, pasti lo nggak asing dong sama singkatan IQ, yg merupakan singkatan dari Intelligence Quotient atau nilai kecerdasan seseorang.
Belom juga ngerti tentang apa itu IQ, eeh udah ada lagi yang namanya EQ (Emotional Quotient), dan tiba-tiba muncul lagi istilah SQ (Spiritual Quotient). Sebenernya apaan sih itu? Emang bener yah kecerdasan emosional dan spiritual orang bisa dikuantifikasi?
Belom juga udah ngerti masing-masing istilah IQ, EQ, SQ itu apa, eeh tiba-tiba kita udah disuruh buat tes IQ lah, test EQ, belajar dan ikut program ini-itu, demi meningkatkan nilai IQ, EQ, dan SQ kita. Naah, sebelom kita capek-capek belajar dan muter otak sampe jungkir balik segala macem demi ningkatin apa yang sebenernya kita belum paham.
Naah, blog Zenius kali ini bakal seru banget karena gue bakal kasih tau elo selengkapnya apa itu konsep IQ, EQ, dan SQ yang sebenernya. Oke, kita langsung aja deh nih ngomongin yang pertama.
IQ, Intelligence Quotient
IQ atau nilai kecerdasan seseorang. Nah yang ini nih sebenernya konsep yang udah ada sejak akhir abad 19, kira-kira di tahun 1890-an, yang pertama kali dipikirin oleh Francis Galton (sepupunya Charles Darwin, Bapak Evolusi). Berlandaskan dari teori sepupunya mengenai konsep survival dari individu dalam suatu spesies, yang disebabkan oleh “keunggulan” sifat-sifat tertentu dari individu yang diturunkan dari orangtua masing-masing.
Galton menyusun sebuah tes yang rencananya mengukur intelegensi dari aspek kegesitan dan refleks otot-otot dari manusia. Baru pas awal abad 20, Alfred Binet (dibaca: Biney), psikolog dari Perancis, ngembangin alat ukur intelegensi manusia yang mulai kepake sama orang-orang. Dari alat ukur ciptaan Binet ini, akhirnya berkembang deh alat-alat ukur IQ sampe yang kita kenal dan pake sekarang.
Gara-gara orang mulai sadar sama pentingnya intelegensi dan pengetesannya, mulai deh tuh, para ahli psikologi neliti dan bikin hipotesis tentang kecerdasan. Banyak banget deh yang akhirnya muncul dengan pendapat yang berbeda-beda, masing-masing dengan bukti yang dianggap kuat oleh masing-masing pihak.
Ada yang menganggap bahwa kecerdasan adalah konsep tunggal yang dinamakan faktor G (General Intelligence). Ada juga yang menganggap kecerdasan itu pada intinya terbagi jadi dua macam set kemampuan, yaitu fluid (Gf) dan crystallized (Gc). Berbagai macam pengetesan kecerdasan dibikin ngacu ke pandangan-pandangan ini sepanjang abad ke 20.
Tapi yang lagi ngetren sekarang tuh yang namanya multiple intelligence, atau kecerdasan berganda yang dicetuskan oleh Howard Gardner di tahun 1983. Gardner nyebutin bahwa kecerdasan manusia bukan merupakan sebuah konsep tunggal atau bersifat umum, namun merupakan set-set kemampuan yang spesifik dan berjumlah lebih dari satu, yang semuanya merupakan fungsi dari bagian-bagian dari otak yang terpisah, serta merupakan hasil dari evolusi manusia selama jutaan tahun.
Gardner awalnya membagi kecerdasan manusia menjadi delapan kategori yaitu:
- (a) Music-rhythmic & Harmonic,
- (b)Visual-spatial,
- (c) Verbal-linguistic,
- (d) Logical mathematical,
- (e) Bodily-kinesthetic,
- (f) Intrapersonal,
- (g) Interpersonal,
- (h) Naturalistic.
Masing-masing lengkapnya kayak apa mending elo Google aja deh, kepanjangannya Men. Intinya, lo bisa tangkep lah dengan gampang kalo liat istilahnya aja. Nah, seiring berjalannya waktu, akhirnya Gardner nambahin lagi aspek kecerdasan kesembilan, yaitu (i) Existential – yang mencakup sisi spiritual dan transendental. Walaupun populer, teori ini mendapat banyak kritik karena kurangnya bukti empiris.
Nah, oleh karena itu, sampe sekarang para ahli belom sepakat dalam ngasih definisi apa itu kecerdasan, diukur pake alat apa, serta apa arti dari skor kecerdasan seseorang. Makanya, sekarang tuh para praktisi ilmu psikologi, pendidik, sekolah, dan beberapa negara maju udah ga make lagi tuh istilah “tes IQ”. Alih-alih mereka bilangnya test tertentu kaya “tes kemampuan akademik”, “tes kecerdasan verbal”, dan sebagainya.
Masalahnya, di Indonesia nih masih umum banget istilah IQ. Ga jarang juga kan kita denger pertanyaan: “IQ lo berapa?”, “Gimana Men, besok tes IQ, udah siap?”, “Itu butuh IQ berapa sih biar bisa keterima di sekolah/kelompok itu?”, dan sebagainya.
Lewat tulisan ini, gue rada pingin nyuarain juga nih ke elo-elo pada, bahwa banyak banget pengetesan yang sebenernya ga ngukur kecerdasan umum, tapi ngakunya sebagai tes IQ. Harus ati-ati deh buat nyikapinnya. Ini bukan berarti yang namanya IQ atau kecerdasan umum itu ga ada yeh. IQ itu ada, tapi yang bermasalah itu alat ukurnya biasanya gak akurat. Jadi biarin deh urusan begituan diserahin dulu ke para ahli bidang yang bersangkutan.
Balik lagi nih, ke pandangan umum masyarakat tentang konsep “kecerdasan umum” atau yang dikenal sebagai IQ tadi. IQ gue tinggi, terus? IQ gue jongkok, terus? Kalo nilai skor tes gue jeblok, apa berarti gue orang bego, gitu?
Nah, pertanyaan-pertanyaan ini nih ga bisa dijawab dengan jawaban yang simpel kayak: “Iya ya ternyata gue bego karena IQ gue rendah”, atau sebaliknya. Yang namanya bego, itu nggak cuma gara-gara IQ lo rendah doang, atau cerdas karena IQ lo tinggi.
Gini misalnya, lo punya skor IQ tinggi trus pada suatu kesempatan lo lagi bawa motor. Karena pingin cepet-cepet sampe, lo ambil jalan yang berlawanan arus. Trus gara-gara ini, lo jadi didamprat orang yang lagi jalan kaki di jalur yang semestinya. Trus akhirnya lo dibilang “ah tolol luh!” (maapin kata-kata gue kalo rada kasar, gue cuma mau bikin ini lebih realistis aja). Masuk akal juga kan, kalo lo didamprat kaya gitu, padahal skor IQ lo tinggi.
Kasus di atas bikin suatu kesan buat kalangan umum non-akademik buat berpikir bahwa kemampuan pikiran belum tentu membuat lo jadi terlihat cerdas dan adaptif dalam bertingkah laku. Padahal kan tadi di atas disebutin bahwa kecerdasan itu pada intinya adalah kemampuan yang membuat manusia adaptif sebagai individu. Pandangan-pandangan umum yang kayak gini yang akhirnya membuat para ilmuwan kejiwaan ngembangin sebuah konsep terpisah yang dinamakan..
Emotional Quotient Intelligence
Lah kok, jadi beda istilah?! Tadi di atas bilangnya emotional quotient (EQ) kok sekarang jadi Emotional Intelligence (EI)? Sebenernya sih sama, tapi emang udah jelas banget sih kalo istilah EQ (yg arti harafiahnya itu “hasil pembagian dari emosi) itu salah. Lebih tepat digunakan kecerdasan emosional buat jelasin konsep yang dimaksud. Makanya akhirnya para ahli lebih milih istilah emotional intelligence (EI). Ngerti nggak sampe sini Men?
Nah, kalo sampe poin ini lo udah bisa pahamin, kita lanjut bahas soal apa yg orang-orang bilang soal EQ (atau EI). Sering banget kita denger orang-orang awam suka ngomong “Percuma IQ tinggi tapi EQ jeblok” atau semacamnya. Sering kan? EQ pertama kali dikonsepin oleh Keith Beasley pada tulisannya pada artikel Mensa pada tahun 1987.
Tapi, istilah ini baru bener-bener mendunia (dan udah ganti jadi EI) setelah Daniel Goleman pada bukunya “Emotional Intelligence – Why it can matter more than IQ” yang terbit pada tahun 1995. Walaupun buku ini dianggap bukan sebagai buku akademik, tapi konsep EI yang disusun oleh Goleman bikin para ahli psikologi rame-rame bikin penelitian tentang hal ini.
Kecerdasan Emosional, pada intinya adalah kemampuan kita buat ngidentifikasi, ngukur, dan ngontrol emosi diri sendiri, orang sekitar, dan kelompok. Para peneliti EI punya posisi bahwa EI lebih penting daripada sekadar kecerdasan kognitif. Goleman sendiri membagi kemampuan-kemampuan emosional menjadi lima kemampuan:
- (a) kesadaran diri,
- (b) kontrol diri,
- (c) kemampuan sosial,
- (d) empati,
- (e) motivasi.
Goleman berpendapat bahwa tanpa kelima kemampuan ini, orang yang memiliki IQ tinggi bakal kehambat dalam kegiatan akademik serta pekerjaan.
Walaupun laku keras di kalangan umum, banyak ilmuwan dan praktisi psikologis yang tetep skeptis sama kecerdasan emosional. Yang paling mereka kritik adalah pengetesannya. Ilmuwan harus bekerja berdasarkan bukti. Jika seorang ilmuwan di bidang apapun bikin suatu hipotesis, harus didukung sama pengukuran yang akurat.
Nah, para ahli psikologi ngekritik EI karena alat ukurnya nggak valid (valid ini maksudnya nggak ngukur apa yang harusnya diukur). Alat-alat tes EI itu kebanyakan soalnya berupa pilihan-pilihan jawaban yang bisa aja orang yang ngisi ngibul pas ngejawabnya. Makanya, para ahli kurang bisa nerima hasil pengukuran EI. Belom kelar masalah EI, eh tiba-tiba ada lagi yang ngusulin sebuah konsep kecerdasan baru yang dinamain..
Spiritual Quotient Intelligence
Spiritual Intelligence (SI) atau kecerdasan spiritual. Pertama kali dikonsepin sama psikolog yang bernama Danah Zohar, pada tahun 1997. Konsep ini dapat dibilang baru dalam dunia psikologi, karena emang konsepnya aja belom dianggep matang. Banyaaaak banget kritik soal konsep SI ini bahkan bukan soal pengukurannya atau nilainya, tapi soal konsep dasarnya. SI ini dibuat oleh Zohar untuk mengukur kemampuan seseorang dalam memaknai kehidupannya, jadi nggak ada hubungannya dengan agama ataupun kerohanian dalam konsep awam.
Kemampuan-kemampuan yang menurut Zohar tergabung dalam konsep SI antara lain: Spontanitas, visioner, rasa kemanusiaan, kemampuan untuk bertanya hal-hal yang bersifat mendalam seperti “siapakah saya dalam dunia ini?”, kemampuan untuk menerima perbedaan, dan sebagainya. Nah, lagi-lagi, selain konsepnya yang belom mateng, alat ukurnya lebih ngaco lagi, kalo menurut ahli-ahli ilmu psikologi. Alat ukurnya lebih bisa bikin yang ngisi ngibul soal kondisinya, yang akhirnya bikin skor tesnya jadi tinggi-tinggi deh. Susah kan ngukurnya kalo kaya gini!?
Seperti biasa, dunia bisnis berkembang jauuuuh lebih cepet daripada dunia ilmu pengetahuan. Kalo ada konsep-konsep yang menarik dan “laku dijual”, para pelaku bisnis pasti cepet tanggep makenya padahal belom yakin itu konsep udah mateng atau belom. Kalo dalam ilmu lain, fisika kimia misalnya, kalo ada penemuan yang belom mateng terus udah laku di pasaran, resikonya kan jelas lah yaa, meledak lah, beracun lah, bikin mati sekampung lah.
Nah, kalo dalam ilmu psikologi, dampak-dampak itu nggak keliatan langsung, tapi sebenernya bakal ujung-ujungnya kerasa dampaknya. Contohnya gini deh, konsep EI dan SI belom mateng, alatnya belom valid, tapi udah dipake buat nyeleksi manajer di satu perusahaan. Dari hasil tes dibilang bahwa si calon X punya kecerdasan emosional dan spiritual yg tinggi, tapi tesnya nggak valid. Walhasil, taunya si manajer nggak bekerja sesuai yang diharepin. Akhirnya, sayang kan duit yang dipake buat seleksi dan gaji si manajer X.
Maka dari itulah, semua yang kira-kira punya embel-embel “quotient” nya atau “kecerdasan” ini itu emang kedengeran seksi di kuping kita. Yang namanya ortu itu pingin anaknya cerdas, berpekerti luhur, spiritual, dan sebagainya. Udah keniscayaan itu sih. Tapi, kita sebagai kaum terpelajar yang harus berpikir kritis, jangan lah cepet-cepet percaya sama apa pun yang dibilang sama orang lain. Telusurin sendiri sebelom rugi.
Di Indonesia nih misalnya, udah jelas konsep EI belom jelas alat ukurnya, pelatihan-pelatihan dan pengukuran EI udah menjamur di mana-mana. Pake alat apa juga nggak peduli deh, yang penting laku.Terus, Danah Zohar di atas kan udah bilang kalo SI nggak ada hubungannya dengan agama, tapi pelatihan-pelatihannya banyaaaaaaak banget (ini beneran banyak banget yeh, se-Indonesia).
Kebayang nggak kalo ternyata konsepnya nggak mateng dan itu pelatihan malah bikin kita jadi cerdas secara spiritual, tapi malah misalnya jadi takut sama kehidupan, ngerasa banyak dosa, dsb. Nggak nyambung dong sama yang dikonsepin sama Danah Zohar? Ya nggak?!
Nah, pesen moral dari tulisan ini cuma singkat: Sebagai kaum terpelajar, kita harus telusurin dulu sebelum percaya apa pun, terutama kalo itu bisa bikin kita rugi baik secara finansial maupun psikologis.
Catatan Editor
Seperti biasa kalo ada yang mau nanya, komentar, atau ngobrol sama Faisal, bisa langsung tinggalin comment aja di bawah artikel ini. Buat lo yang belum gabung jadi registered account di Zenius, pastiin lo gabung sama kita dengan daftar Zenius di sini!
Berani ngasah otak dan kemampuan berpikir lo? Nih, cobain Zencore! Dengan fitur adaptive learning dan latihan soal CorePractice, lo bisa tingkatin skill matematika, bahasa Inggris, sekaligus verbal dan logika secara gratis. Ketuk banner di bawah buat mulai cobain!
***
Thanks buat sharingnya. Artikel zenius selalu menarik & mencerahkan 🙂
makasih..makasih.. (lha kok jadi gue) :v
setuju banget sama bagian yang terakhir :))
Yoih! Ati2 mulai dari skrg 😀
nah ini gan, gue selalu bingung sama konsep IQ, menurut gue emang kecerdasan ga diukur dari orangtuanya, setuju deh buat Howard Gardner :))
Maksudnya kecerdasan ga diukur dari ortunya apa bro?
pernah denger sama pernah baca kalo gen kepintaran kita itu 80% turun dari orangtuanya bang, tapi sampe masih ga percaya aja.. setau saya lingkungan dan motivasi yang lebih mempengaruhi IQ.. *CMIIW
Klo fungsinya untuk adaptasi, ditinjau dari pendekatan Francis Galton, jelas IQ lebih bersifat herediter atau diturunin dari ortu
adaptasi seperti apa bang contohnya? masih bingung nih.. hehe
Udah paham sama teori evolusi blom?
boleh tuh kapan-kapan dibahas di blog ….
I beg to differ, Galton orang yg bikin Darwin jadi punya nama jelek karena dikaitin sama social Darwinism. Evolusi dengan seleksi alam sebagai mekanismenya dijadiin basis untuk agenda Eugenetiknya Galton.Tapi lagi-lagi, kita ga bisa menghakimi orang2 masa lalu dengan standar masa kini.
curhat gan.. kalo disekolah gw serius bgt memperhatikan guru menerangkan.. tapi kenapa susah banget ya masuk ke dlm otak gw ajarannya? apa selamanya gw kayak gitu gan 🙁
jgn sedih gan, pantengin zenius aja ntar juga ngerti sendiri
Lau kira ini kaskus pake gan2an?! Wakakak
Tar dulu, maksud lo susah masuk otak nih kaya gmn dulu? Ga apal2? Atau pas ujian lo skip?
pas guru menerangkan gw gk apal2 …. ada solusi gk Gan?
jangan dimulai dari menghafal gan, dimengerti/dipahamin dulu si guru lagi ngomongin apaan sih sebenernya.
ada yang nggak ngerti dari konsep yang dijelaskan, bahkan setiap kata yang guru lo sebutin, jangan malu buat nanya. pasang muka tembok, bodo amat temen lo bilang lo bawel bener. lo sekolah bayar bro.
ngafal urusan belakang
Yoih.. Bener tuh kata Reydi.. Hak lo buat nanya apapun di sekolah
Belajar tuh bukan ngapal gan.. nih ane kasih tips buat belajar buat ujian yang bener. Kalo tulisannya jelek jangan dibata yah gan ! 😛
iya Gan.. thanks tipsnya
gan, linknya ngga bisa gan
cendol gan Glenn! :v
Pseudoscience itu apa yah? minta penjelasanya dong 🙂
Pseudo = semu
Science = sains/ilmu
Artinya itu sesuatu hal yg dianggep sama org umum, tapi sebenernya ga ada buktinya sama sekali
Kalo diterjemahin ke bahasa indonesia kayaknya lebih enak jadi “sains boongan” atau “sains KW” :). Dari ngomongnya seakan-akan science, padahal bukan. Biasanya populer karena dipake buat kepentingan bisnis.
whahahha munngkin kalau ke bahasa inggris kayaknya lebih enak jadi “spamscience” 😀
Cara ngukur IQ,IE,SE yang valid gimana ya kaka? apa ada situs online buat ngukur itu ? sebelumnya makasih buat pencerahanya 😀
Udah dibaca seksama blom tulisannya?
wahh kalo gitu dah banyak yang di bego-begokin dong bang..
Gua cuma mau nambahin opini gua aja nih.. Menurut gue, sebenernya konsep IQ, EQ, SQ, dkk.. adalah semacam bentuk permodelan yang “dikemas” dan dikategorisasi untuk mendefinisikan cara kerja otak pada kemampuan tertentu, entah kemampuan dlm memahami masalah, problem solving, insting survival, bersosialisasi, conflict management, dsb..
Ujung-ujung sebenernya label kemasan itu antara penting dan gak penting juga. Yang lebih penting adalah kita punya fokus ke arah mana kita mau mengembangkan diri kita. Karena otak kita bekerja dengan sangaat kompleks, dan konsep IQ, EQ, dan SQ bisa jadi malah mereduksi arah pandang kita pada seberapa besar kemampuan otak kita untuk bsia bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.
dari kaskus ya om??
biasanya kaskus yang copas zenius :v
kaskus kali yg tukang copas ampir smua hot thread nya….
kaskus kali yg tukang copas ampir smua hot thread nya
Kaskus yang tukang copas. Cek aja wkatu post-nya.
So basically we are told to be skeptic in every situation xD
exactly !
Skeptic It would be great, kalau bisa mendudukkannya dengan benar.. Cuma kalau skeptisme baru tuh bahaya juga, berlebihan banget tuh soalnya..
Hehe, gw gk bisa gambaran lengkapnya, mungkin mau bantu?
Saya tertarik dengan tulisan anda, menurut saya tulisan di atas sangat inspiratif dan dapat di jadikan pembelajaran.
Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai psikologi yang bisa anda kunjungi di http://library.gunadarma.ac.id…
sangat membangun, dan mudah di mengerti ..
boleh minta web buat tes iq sama eq, gak?
Tuh..sdh dijawab sm yg bawah..
Cobain tes iq disini http://www.tes-iq.com
boleh minta web buat tes iq sama eq, gak?
entah skor IQ-EQ-SQ gue berapa. pas SMP pernah test, hasil testnya ga keluar2 -.-)a
sangat bermanfaat dengan bahasa yang tidak rumit dan mudah dipahami para siswa seperti kami, terimakasih pak terimakasih atas artikelnya 🙂
Rencana mau ambil penelitian mengenai pengaruh iq, qe (ternyata ei), dan sq (dan ternyta si, lagii) trhdap prestasi bljar tp stlah baca2 ini dan itu en ketemu artikel di atas kyknya hrus mikir ulangg..klo alat ukurnya aja gak valid,,gmna mw diteliti utk mengetahui pengaruhnya..jadii puyeng lagi dah tuk nentuin jdul aarghhh…jadi curcol hehe
btw maksih buat bloggernya..infonya mencerahkan bget n memberi pemahaman baru mngenai iq, ei, dan si krn yakin deh bnyak yg salah paham nih mngenai iq, ei, dan si including me hehe..
great job..^^
Cobain tes iq disini http://www.tes-iq.com
Jawab 30 pertanyaan logika bergambar dengan batas waktu 30 menit..
itu resmi gak?
apa cuma gue disini yang dulu pernah tes IQ, dapet hasilnya cuma 100an, dan berbangga diri?
Walau ni artikel 3 tahun lalu, tetep sih gw mau nanya, hehe
Kalau masalah kedudukan tiap bagian dari SQ gmn tuh, kalau IQ sama EQ rasanya udh punya gambaran dan ngerti. Cuma kalau SQ gimana ya?
Jadi, kalau liat tuh konsep SQ memang penting juga kayaknya, walaupun.bukan berarti jadi terkotak-kotak sama tuh konsep dan fokus sama kek gituan
Kalau buku buku tentang kecerdasan spiritual yg recomended apa om?
Di dunia hanya ada orang malas ama orang rajin
Kenapa butuh iq atau eq?
terima kasih, pencerahannya. sangat bagus, apalagi untuk kami masyarakat awam ilmu, apalagi andai meggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sekalian edukasi bahasa kepada kami juga. terima kasih.