Artikel ini mengupas kisah hidup dari salah satu Pahlawan Nasional Indonesia, yaitu R.A Kartini. Dari masa kecil, remaja, dan karya hidupnya secara lengkap.
Halo guys, ada yang tau tanggal 21 April diperingati sebagai hari apa? Yak, betool hari ini adalah Hari Kartini! Mungkin hampir semua orang di Indonesia tau tentang hari Kartini, hari di mana anak-anak sekolah biasanya didandanin pake kebaya dan baju daerah. Hari ceria yang menghiasi masa kecil kita semua dengan pameran busana daerah, acara tarian daerah, lagu-lagu, pentas seni, bazar, dll. Sosok Kartini menjadi begitu identik dengan kebaya, pakaian daerah, dan tradisi seremonial tiap tahun. Di Hari Kartini tahun ini mungkin kita enggak ngerayain dengan cara kayak Hari Kartini di tahun-tahun sebelumnya karena adanya pandemi COVID-19 yang bikin kita harus jaga jarak. Well, meski enggak merayakannya dengan cara yang biasa, hari ini kita bisa merayakan dengan cara lain yaitu dengan mengenal Kartini secara lebih mendalam lewat tulisan yang satu ini.
Perayaan Hari Kartini
Bisa jadi, hampir semua orang di Indonesia pernah mengalami perayaan Hari Kartini. Besar kemungkinan, semua yang membaca tulisan ini juga pernah menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini“. Kartini memang simbol nasional kita yang luar biasa. Bahkan dia adalah satu-satunya tokoh nasional yang diperingati hari kelahirannya – 21 April (hari kelahiran Sukarno saja tidak diperingati secara nasional). Mungkin juga, beliau adalah satu-satunya tokoh nasional yang dibuatkan lagu khusus (Ibu Kita Kartini). Tokoh nasional mana lagi coba yang lagunya dinyanyikan setiap tahun? Tapi di sisi lain, berapa banyak sih orang Indonesia yang benar-benar membaca pemikiran-pemikiran Kartini? Berapa banyak orang Indonesia yang tahu kisah kehidupan Kartini dan gagasan seperti apa yang ia perjuangkan?
Yah, mungkin sebagian besar orang cukup sekadar tahu bahwa Kartini adalah seorang ibu keturunan ningrat Jawa yang memperjuangkan emansipasi. Tapi mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa Kartini bukanlah sosok wanita yang anggun ‘seperti puteri Solo’ sebagaimana dibayangkan kebanyakan orang, melainkan wanita yang dijuluki “kuda liar” oleh keluarganya. Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa Kartini memiliki hubungan yang sangat dekat dengan para pejabat dan tokoh Hindia-Belanda. Tidak banyak yang sadar juga bahwa sampai akhir masa hidupnya, Kartini bahkan tidak pernah tahu apalagi mengenal istilah Negara Republik Indonesia, tapi kini dirinya malah kita jadikan Pahlawan Nasional.
Siapakah sosok Kartini sebenarnya? Bagaimana mungkin hidup seorang wanita yang hanya berumur 25 tahun, bisa begitu dikenang oleh sebuah negara? Nah, untuk memperingati Hari Kartini, kali ini gua mau mempersembahkan sebuah tulisan singkat tentang kisah hidup dan perjuangannya. Apa yang gua tulis di sini adalah hasil bedah 119 dokumentasi surat yang ditinggalkan Kartini. Satu hal yang pasti bahwa keistimewaan Kartini yang akan gua ceritakan di sini, bukan terletak pada kebaya, lagu, atau seremonial adat – tapi pada intelektualitasnya, gagasannya, dan perjuangannya. Nah, buat lo yang penasaran dengan Kartini, pastiin baca artikel ini sampai habis yak!
Terlepas dari itu, gua sadar bahwa tidak mungkin untuk merangkum kehidupan Kartini hanya dalam satu artikel, terlebih tidak banyak catatan sejarah tentang kehidupan Kartini yang terdokumentasikan selain dari hasil korespondensinya. Jadi mohon maklum jika banyak kisah hidupnya yang terlewat dan peristiwa yang tidak disebutkan.
Sebelum lanjut ke latar belakang hidup Kartini, ada info terbaru nih! Zenius baru aja merilis film yang mengangkat sosok Kartini. Film ini dirilis tepat di hari kelahirannya, 21 April. Lo bisa nonton secara eksklusif di aplikasi Zenius. Login-nya enggak pakai ribet, cukup lewat akun Google, Twitter, dan Facebook punya lo. Nih, tonton dulu aja cuplikan filmnya ya.
Latar Belakang Kehidupan
Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, pada sebuah masa ketika tanah ini masih bernama Hindia Belanda, sementara gagasan “negara baru” bernama Indonesia belum ada dalam benak siapapun, dan baru muncul 46 tahun kemudian. Lahir dari kalangan kelas bangsawan Jawa, ayahnya bernama RMA Ario Sosroningrat (selanjutnya disebut Sosroningrat) adalah patih/wedana dan calon bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, anak seorang mandor pabrik gula. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan, oleh karena itu ayah Kartini menikah lagi dengan RA Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura – untuk kemudian resmi diangkat sebagai Bupati Jepara.
Secara singkat, Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Pada masa itu, kedudukan wanita sangat dipengaruhi oleh feodalisme (kebangsawanan) dan adat. Hal itu menyebabkan, sejak kecil Kartini terbiasa melihat ibunya mlaku dodok ngesot, di depan suami, istri kedua, dan anak-anaknya sendiri. Sejak kecil hingga remaja, Kartini dibesarkan dalam dunia yang penuh kontradiksi dan kemungkinan besar (menurut Pramoedya) konflik rumah tangga dan permaduan. Seorang wanita keturunan terhormat yang tidak boleh bebas berekspresi, hanya boleh bicara bila benar-benar perlu, itupun dengan suara berbisik. Berjalan setindak demi setindak seperti siput, tertawa halus tanpa suara, tanpa membuka bibir, tidak boleh terlihat gigi.
Bahkan dalam lingkungan pergaulan antar saudara, seorang wanita bangsawan Jawa tidak punya kesempatan untuk memiliki kedekatan emosional dengan saudara-saudarinya. Seorang adik tidak boleh berjalan melewati kakaknya, kalaupun melewati, harus merangkak di atas tanah. Jika adiknya sedang duduk, lalu sang kakak lewat, si adik harus segera bangun lalu menekuri tanah dan menyembah. Kehidupan persaudaraan dalam bangsawan Jawa itu seperti hidup bersama orang asing satu sama lain. Itulah bentuk latar belakang kehidupan yang dialami Kartini dari sejak kecil hingga remaja.
Masa Kecil (1879 – 1892)
Meskipun menjunjung tinggi adat konservatif bangsawan Jawa, ayah Kartini bisa dibilang berpemikiran sangat progresif pada zaman itu. Kartini dan saudara-saudarinya adalah generasi permulaan dari pribumi yang menerima pendidikan Barat dan menguasai Bahasa Belanda dengan sempurna. Oleh karena itu, Kartini waktu kecil disekolahkan di Europeesche Lageree School atau Sekolah tingkat SD di Jepara yang kebanyakan berisi anak-anak pejabat Hindia-Belanda.
Dalam lingkungan sekolah, lagi-lagi Kartini melihat diskriminasi. Setiap pagi sebelum mulai pelajaran, anak-anak dibariskan kemudian dipanggil berdasarkan warna kulitnya dan kedudukan orang tuanya dalam susunan kepagawaian serta susunan status sosial Hindia Belanda. Di satu sisi, Kartini pandai bergaul dengan teman-teman sebayanya yang kebanyakan noni-noni Belanda. Ia juga sangat senang belajar dan dikenal sebagai murid yang aktif serta pandai. Namun, Kartini kecil juga merasakan diskriminasi, bukan dari teman-temannya, melainkan justru dari para guru-guru yang memperlakukan keturunan Belanda lebih istimewa daripada anak keturunan pribumi.
Sejak kecil Kartini hidup dalam dunia yang “aneh”, keturunan terhormat tapi hidupnya terdiskriminasi oleh adat keluarga, lingkungan sosial maupun guru di sekolah. Namun demikian, dalam lingkungan pergaulan anak-anak yang polos, mungkin untuk pertama kalinya Kartini merasakan asas kesetaraan dan hubungan emosional yang dekat dengan bermain-main bersama anak-anak keturunan Belanda. Sampai pada suatu hari, dia mendapatkan sebuah pengalaman tak terlupakan dari sebuah pertanyaan simpel teman sebayanya bernama Letsy Detmar.
Diceritakan pada salah satu suratnya (Agustus tahun 1900 kepada Ny. Abendanon), bahwa pada suatu hari ketika masih bersekolah dia lagi nongkrong dengan salah satu temannya di bawah pohon. Kira-kira begini ilustrasi obrolan mereka (aslinya mereka ngomong pake Bahasa Belanda):
- Kartini : “Hei Letsy, kamu lagi baca buku apaan tuh? Ceritain dong tentang bukunya!”
- Letsy : “Ini loh, gue lagi baca buku Perancis. Gue kan nanti mau masuk Sekolah Keguruan di Belanda.”
- Kartini : “Ooh begitu toh…”
- Letsy : “Kalo kamu Ni, kamu mau jadi apa kelak?”
Mendengar pertanyaan itu, Kartini cuma bisa bengong. Selama ini, pertanyaan semacam itu enggak pernah muncul di benaknya. Sebelumnya, Kartini hanya bocah pada umumnya yang senang bermain dan belajar di sekolah tanpa terlalu memikirkan masa depan. Pertanyaan Letsy itu terus menghantui Kartini sepanjang hari, sampai akhirnya dia lari pulang ke rumah dan bertanya pada ayahnya, akan menjadi seperti apa dirinya kelak.
Waktu ditanya, jawaban ayah Kartini singkat saja “Ya tentu, menjadi Raden Ayu”. Awalnya Kartini senang-seneng aja bahwa dirinya kelak menjadi seorang Raden Ayu (namanya juga masih bocah). Tapi apakah ‘”Raden Ayu” itu? Pertanyaan itu terjawab ketika dia lulus dari sekolah rendah (tingkat SD) waktu umur 12 tahun, umur di mana seorang gadis bangsawan Jawa harus dipersiapkan untuk menikah (dipingit) dan tidak boleh bepergian ke manapun selain di rumah untuk belajar memasak, membatik, dan pekerjaan rumah tangga agar kelak menjadi istri yang baik dan penurut.
Diceritakan dalam suratnya pada Nn. Estelle Zeehandelaar, bahwa sejak saat itu dunianya seolah runtuh dan seolah hidup dalam penjara. Kendati Kartini berlutut dan memohon pada ayahnya untuk melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang, ayah Kartini yang terkenal progresif itupun melarang Kartini untuk “mengacaukan” tatanan istiadat bangsawan Jawa dan harus mematuhi tuntutan adat untuk dipingit dan harus bersedia menerima lamaran lelaki tanpa memiliki hak untuk bertanya, apalagi menolak.
Itulah gambaran singkat masa kecil Kartini yang tragis. Seorang gadis turunan bangsawan yang memiliki keinginan belajar yang besar, tapi tidak memiliki kebebasan. Dunia masa kecilnya dipenuhi oleh diskriminasi dan ketidakadilan. Di saat Letsy, dan sahabat-sahabatnya melanjutkan sekolah di Belanda atau Batavia, ia harus dipersiapkan untuk menjadi calon istri pria manapun yang melamar, dan hidup sebagai seorang istri dan ibu yang patuh bagi keluarga. Inilah potret kehidupan perempuan Nusantara (terutama di Jawa) pada awal abad 20.
Masa Remaja dalam Pingitan (1892-1898)
Sejak umur 12 tahun (1892) Kartini masuk ke dalam “kotak” dan harus melewati setiap tahap upacara adat keluarga bangsawan Jawa. Sebagaimana kaum bangsawan Jawa pada masa itu, Kartini melewati upacara cukur rambut, turun bumi, dll. Bagi orang Jawa, upacara-upacara sangat penting untuk menentukan babak kehidupan, baik kelahiran, kedewasaan, perkawinan, maupun kematian.
Hari-hari awal dipingit, Kartini masih galau, bosan, jenuh, dan sedikit sirik dengan teman-teman maupun saudara-saudarinya yang bersekolah. Adik-adik Kartini yang lebih muda (Roekmini dan Kardinah), masih bersekolah di sekolah rendah dan menanti giliran dipingit. Sementara kakak laki-lakinya, RM Sosrokartono bernasib lebih beruntung sebagai laki-laki karena bisa melanjutkan sekolah di HBS Semarang dan ke Universitas Leiden, Belanda. Hari-hari awal Kartini hanya dihiasi dengan kegiatan belajar memasak, membatik, dan menulis surat.
Beruntungnya, Kartini memiliki 2 orang yang sangat peduli dengan kegelisahan dan juga semangat belajar dalam dirinya. Orang pertama adalah sang kakak, Sosrokartono, yang sering mengirimkan buku-buku berkualitas pada Kartini. Kedua adalah Nyonya Marie Ovink-Soer, seorang istri asisten residen Jepara yang tidak memiliki anak. Karena hubungan politik antar keluarga ini, Nyonya Ovink-Soer sering bertamu ke keluarga Sosroningrat. Hubungan emosional antar Kartini dan Nyonya Ovink-Soer menjadi sangat dekat hingga Kartini menyebutnya dengan sebutan Moedertje yang artinya Ibu tersayang.
Keluarga Ovink-Soer merupakan keluarga bangsawan Belanda yang pertama kali dikenal Kartini. Lewat Nyonya Ovink-Soer, Kartini belajar budaya Belanda dan nilai-nilai modernitas Barat. Interaksi dan diskusi Kartini dengan keluarga Ovink-Soer membuat Kartini merasakan bahwa dirinya setara dengan perempuan Belanda–suatu perasaan yang sangat sulit ia dapatkan dalam lingkungan feodalisme keluarga Jawa. Selain memperkenalkan Kartini dengan bacaan progresif Belanda, keluarga Ovink-Soer ini juga memberi perspektif baru dalam pola hubungan keluarga antar lelaki dan perempuan. Kartini sangat heran sekaligus tertarik dengan pola hubungan pasangan Ovink-Soer yang menjunjung tinggi asas kesetaraan, kebebasan berpendapat, sikap saling menghargai, di mana keduanya sama-sama memiliki hak suara dalam keputusan keluarga. Suatu bentuk hubungan yang sangat bertolak belakang dengan adat masyarakat Jawa pada saat itu.
Sejak dipingit dan tidak boleh bersekolah maupun tidak boleh keluar rumah, semangat belajar Kartini hanya tersalurkan pada bacaan buku-buku Belanda yang dikirim oleh sang kakak dan sang moedertje. Bacaan Kartini tergolong dari karya sastra feminis dan anti perang, seperti Goekoop de-Jong Van Beek, Berta Von Suttner, Van Eeden, hingga Max Havelaar karya Multatuli yang menceritakan ketidakadilan dari cultuurstelsel/tanam paksa kopi. Semua buku berbahasa Belanda ini memperkaya perspektif Kartini yang diam-diam mulai ingin memperjuangkan nasib kaum perempuan pribumi untuk mendapatkan hak yang setara dengan lelaki, baik dalam pendidikan, berpendapat, hingga pengambilan keputusan.
Gebrakan awal yang dilakukan Kartini dimulai dari lingkungan keluarga terdekatnya sendiri, yaitu adik-adiknya (Roekmini dan Kardinah) yang terpaut hanya 1-2 tahun dan kebagian nasib yang sama (dipingit) segera setelah mereka lulus sekolah rendah (SD). Kepada adik-adiknya, Kartini mempraktekan nilai-nilai kesetaraan dalam persaudaraan. Kartini tidak ingin adik-adiknya berjalan jongkok di depannya, menyembah, berbahasa kromo inggil, dan etiket feodal Jawa lainnya. Kartini bahkan mengizinkan adik-adiknya untuk bertatap muka langsung ketika berbicara dan memanggil satu sama lain dengan sebutan “kamu” yang berarti tergolong bahasa Jawa ngoko. Bagi kita yang sekarang hidup di zaman Indonesia modern, memanggil orang lain dengan sebutan “kamu” adalah hal yang wajar, bahkan tergolong sopan dalam lingkungan pergaulan sebaya. Namun bagi zaman awal abad 20, itu adalah suatu gebrakan yang sangat serius dan mencengangkan. Kartini adalah orang pertama yang berani mendobrak tatanan adat masyarakat Jawa yang dia anggap merendahkan orang lain.
Kenekatan Kartini dengan prinsip egaliternya (kesetaraan), menjadikan dirinya dijuluki kuda kore atau kuda liar oleh lingkungannya. Enam tahun dalam pingitan, Kartini adalah gadis pertama yang tercatat dalam sejarah peradaban Jawa yang memberontak pada tatanan adat istiadat yang kaku dan tidak mempedulikan tekanan sosial di sekitarnya. Jadi sekarang kalo lo memandang potret Kartini yang kalem dengan mengenakan kebaya, jangan dibayangkan dia adalah putri bangsawan yang kalem, anggun, sopan, dengan tata krama yang halus. Sosok Kartini yang gua baca dalam surat-surat aslinya adalah sosok yang pecicilan, pemberontak, tidak patuh, lincah, berpandangan luas, pandai, suka bercanda dan kalau tertawa terbahak-bahak. Hal yang sangat sulit diterima oleh lingkungan adat Jawa pada masa itu.
Semangat Kartini untuk mendobrak tatanan adat yang membuat wanita tidak bebas memperoleh pendidikan tinggi, kawin paksa, poligami, perceraian sepihak, dsb–juga diikuti oleh Roekmini dan Kardinah. Semangat mereka bertiga semakin menyala ketika 2 Mei 1898 sang ayah memutuskan membebaskan mereka dari pingitan. Keputusan Sosroningrat ini tidak lepas atas bujukan dari Pieter Sijthoff dan Nyonya Marie Ovink-Soer agar memperbolehkan Kartini dan adik-adiknya untuk menghadiri perayaan hari penobatan Ratu Wilhelmina di Semarang. Kegembiraan Kartini ia tuliskan dalam suratnya tak terbendung. Ini adalah hari paling membahagiakan bagi dirinya, hari pertama pembebasan itupun dirayakan dengan pengalaman pertama Kartini keluar Jepara dan melihat “dunia baru” di Semarang.
Terlepas dari Pingitan (1898-1903)
Setelah lepas dari pingitan, Kartini mendirikan sekolah pertama untuk perempuan pribumi di tanah Hindia Belanda. Awalnya, sekolah itu berisi hanya satu orang murid. Ide “menyekolahkan anak perempuan” itu adalah hal yang asing, aneh, dan radikal. Tidak menyerah, Kartini terus menyurati orangtua yang memiliki anak perempuan di seluruh Jepara untuk menjadi murid sekolah yang didirikannya. Lambat laun, murid-murid Kartini pun bertambah.
Kiprah Kartini yang mungkin bagi kita terkesan sederhana, tapi rupanya menjadi tonggak awal dan pendobrak pertama yang menguraikan ketidakadilan posisi wanita di Nusantara. Sebagai pelopor gagasan-gagasan yang radikal, ia secara tegas mengkritik adat istiadat yang tidak menjunjung tinggi kesetaraan. Bagi Kartini, kemajuan rakyat di Jawa (khususnya di Jepara) justru dihalang-halangi oleh kaum aristokratnya sendiri, yang menganggap dirinya paling mulia dalam masyarakat.
Bukan saja tercatat sebagai pendiri sekolah wanita pertama, Didi Kwartanada (sejarawan Yayasan Nabil) berpendapat bahwa Kartini juga bisa disebut sebagai jurnalis pertama sekaligus antropolog pertama Indonesia. Pada suatu kesempatan, Kartini menulis catatan dokumentasi perkawinan di tanah Koja dengan sangat detil. Sebelum Kartini, tidak ada tokoh nasional yang sampai melakukan observasi langsung dan mendokumentasikan tata cara perkawinan adat Jawa secara tertulis. Tanpa tulisan-tulisan Kartini, mungkin Bangsa Indonesia tidak pernah memiliki catatan sejarah tertulis yang jelas tentang kondisi masyarakat, budaya, dan adat istiadat Jawa di masa lampau.
Selain mengajar, Kartini juga aktif berkorespondensi (surat-menyurat) dengan banyak sahabat pena di Belanda. Kebiasaan itu dimulai dari saran sang Moedertje untuk meminta Johanna van Woude (redaksi majalah de hollandsche lelie) untuk menerbitkan iklan yang isinya permintaan Kartini untuk mendapatkan sahabat pena dan bertukar pikiran seputar budaya. Iklan 15 Maret 1899 itu disambut oleh seorang aktivis feminis Belanda yang 5 tahun lebih tua dari Kartini bernama Estelle Zeehandelaar (Stella). Maka sejak saat itu, dimulailah korespondensi antara 2 wanita berpikiran maju dari 2 dunia berbeda yang belum pernah bertemu. Dari rantai korespondensi ini pula, Kartini mengenal berbagai tokoh feminis Eropa seperti Abendanon, Rosa Manuela, Hendrik de Booy, Hilda Gerarda, Henri Hubert van Kol, dll… yang selalu membakar semangat Kartini untuk membuat perubahan di tanah Jawa.
Sampai pada suatu ketika, Kartini memiliki impian untuk kembali bersekolah dan melihat dunia. Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Namun nasib berkata lain, impiannya bersekolah di Eropa pupus kendati telah mengantongi beasiswa setelah permintaannya ditolak pada 24 Januari 1903 oleh J.H. Abendanon, seorang direktur departemen (setingkat menteri) pendidikan, agama, dan industri Hindia Belanda yang sudah dianggap ayah angkat oleh Kartini.
Alasan penolakan ini menuai perdebatan beberapa versi di kalangan sejarawan. Namun secara garis besar, Abendanon menyatakan kekhawatirannya jika Kartini disekolahkan oleh Belanda, akan menuai persepsi negatif oleh masyarakat lokal. Sementara itu, sekolah yang didirikan Kartini sedang berkembang dan cukup mendapat simpatik dari masyarakat. Di sisi lain, kondisi kesehatan ayah Kartini kian memburuk dan semakin memberatkan niat keberangkatannya. Kegagalannya untuk dapat melanjutkan sekolah ke Eropa cukup membuat Kartini terpukul dan kecewa hingga beberapa minggu.
Nasib kurang beruntung Kartini ternyata belum berakhir pula. Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatnya untuk melanjutkan studi menjadi guru di Batavia juga terhalang oleh kedatangan sepucuk surat lamaran, dari Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Djojo Adhiningrat (selanjutnya disebut Djojoadhiningrat).
Polemik Pernikahan (1903-1904)
Kartini sangat kaget karena mendapat lamaran dari seorang Bupati Rembang yang telah memiliki 3 garwo ampil atau selir dengan 7 anak. Keheranan Kartini tidak hanya karena dilamar oleh pria yang sudah beristri, tetapi juga karena image seorang Kartini yang pada zaman itu dinilai sudah tidak “layak” dijadikan istri. Selain sudah berumur 24 tahun (waktu itu umur segitu dianggap perawan tua), Kartini juga dinilai sebagai kuda kore yang tidak mau diatur. Jelas bukan citra “istri yang ideal” pada zaman adat feodalisme masih sangat kental dalam masyarakat Jawa.
Di sisi lain, ayah Kartini yang awalnya keras memaksa Kartini untuk menempuh adat pingitan, sedikit banyak merasa bersalah. Oleh karenanya, Sosroningrat membebaskan puterinya membaca dan agak segan meminta puterinya lekas menikah dalam pingitan. Namun dalam tatanan masyarakat masa itu, tetap saja cibiran mengalir deras pada keluarga. Gagal mengawinkan anak gadisnya hingga menjadi perawan tua adalah sebuah “kegagalan” norma dalam tatanan adat Jawa. Akibatnya, Sosroningrat jatuh sakit dan mengalami gejala psikosomatis. Kartini yang sangat menyayangi ayahnya dan tidak ingin membuat ayahnya “menderita” lebih jauh, akhirnya mengalah dan mempertimbangkan lamaran Djojoadhiningrat.
Dalam proses penerimaan lamaran ini, Kartini melakukan banyak hal yang sangat tidak lazim bagi perempuan pada masa itu. Hal pertama adalah, Kartini menyelidiki latar belakang calon suaminya. Bagi tatanan masyarakat Jawa pada masa saat itu, seharusnya pihak wanita pasrah-pasrah saja menerima lamaran, tanpa ada hak untuk tahu, bertanya, apalagi mempertimbangkan. Hal berikutnya adalah, Kartini mengajukan syarat pernikahan kepada calon suaminya. Lagi-lagi ini adalah langkah yang sangat radikal dalam sejarah pernikahan bangsawan Jawa.
Syarat dari Kartini antara lain: Kartini ingin diberi kebebasan untuk membuka sekolah dan mengajar puteri-puteri pejabat Rembang, seperti yang telah dia lakukan di Jepara. Dalam prosesi pernikahan, Kartini tidak mau ada proses jalan jongkok, berlutut, menyembah kaki pria, dan gestur-gestur lain yang melambangkan ketidaksetaraan antar hubungan laki-laki dan perempuan. Syarat terakhir, Kartini minta untuk diperbolehkan berbicara dengan suaminya dengan bahasa Jawa ngoko, bukan kromo inggil.
Entah bagaimana kagetnya Djojoadiningrat sewaktu mendengar syarat-syarat sinting itu. Namun demikian, Djojoadhiningrat telah menerima wasiat salah seorang mendiang istrinya yang sangat mengagumi Kartini dan berpesan agar dirinya menikahi Kartini demi anak-anak mereka. Singkatnya, Djojoadhiningrat menerima lamaran Kartini dan mereka menikah pada tanggal 12 November 1903.
Meninggal dan Warisannya (1904-Sekarang)
Sepuluh bulan setelah pernikahannya, Kartini melahirkan anak semata wayang RM Soesalit Djojoadhiningrat. Kelak, putra tunggalnya itu menjadi seorang pejuang Indonesia melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Empat hari setelah proses melahirkan, kondisi tubuh Kartini drop secara mendadak dan meninggal dunia pada 17 september 1904. Kematian Kartini sangat mendadak dan mengagetkan banyak pihak, bahkan ada desas-desus Kartini meninggal karena diracun atau korban malpraktik dari dokter yang tidak cakap. Namun hingga kini, tidak ada bukti kuat yang bisa mengarahkan dugaan kita pada kemungkinan tersebut, selain dari kondisi fisik yang sangat rentan pasca-melahirkan.
Setelah Kartini wafat, J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini bikin geger Amsterdam ketika diterbitkan pertama kali tahun 1911. Sejak saat itu, suara Kartini terdengar jauh hingga ke seluruh Eropa dan Hindia, sebagai sosok perempuan pertama yang memecah keheningan dan menjadi suara inspirasi sekaligus pelopor dari revolusi budaya di tanah Nusantara, menuju kesetaraan hak antar lelaki dan perempuan. Dari kesempatan yang sama untuk menimba ilmu, persamaan hak untuk mendapatkan kesempatan berkembang, hingga kebebasan berpendapat dan mengambil keputusan.
Hingga pada akhirnya, Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Terinspirasi oleh semangat Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini“. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Penutup
Belakangan ini, ada sebagian kalangan (termasuk sejarawan) yang memperdebatkan gelar Pahlawan Nasional Kartini. Ada banyak alasan yang menjadi dasar kritik pemberian gelar pahlawan Kartini, salah satunya karena Kartini dalam hidupnya tidak pernah mengenal istilah negara Indonesia. Di sisi lain, ada sebagian kalangan intelektual juga menyebut Kartini “dibesarkan penjajah” dan tidak konsisten pada prinsipnya dan memutuskan menikah dengan pria yang sudah beristri. Terlebih lagi, Kartini juga tidak secara aktif mengangkat senjata melawan penjajah dan hanya bergelut dengan ide dan pemikiran abstrak saja.
Dalam perspektif tersebut, sebetulnya gua juga setuju bahwa gelar kepahlawanan Kartini layak dipertanyakan. Namun di sisi lain, gua pribadi berpendapat bahwa memang bukan di situ cara memandang karya hidup Kartini. Kartini bisa jadi bukan pahlawan (yang bahkan sangat mungkin dia sendiri tidak suka diberi gelar itu). Tapi terlepas dari ada atau tidaknya gelar kepahlawanan, Kartini adalah sosok yang menjadi tonggak pertama dari sebuah perjuangan sekaligus pendobrak awal dari sistem yang menjerat peran wanita di Nusantara selama entah ratusan atau bahkan ribuan tahun.
Dengan hidupnya yang singkat, skala pencapaian Kartini memang relatif tidak besar. Bisa jadi, ada banyak sosok perempuan lain yang lebih layak dijadikan simbol perempuan nasional Indonesia. Tapi yang menjadikannya istimewa, karena Kartini adalah pemikir modern pertama di tanah Nusantara yang menuliskan pemikirannya secara runut dan detail. Tanpa tulisan-tulisan dan surat asli dari Kartini, penyusunan sejarah modern Indonesia akan sangat sulit dilakukan. Tidak bisa dipungkiri pula, Kartini adalah penggerak gigi roda pertama yang mendobrak kemakluman atas represi gender. Dialah inspirasi pertama dari perjuangan rakyat (terutama wanita) untuk memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan atas status sosial dan hukum.
112 tahun berlalu setelah kepergian Kartini, saat ini bukan hanya tidak ada lagi seorang istri yang mlaku ndodok ngesot di depan suami dan anak sendiri. Tapi kini bangsa kita sudah dalam sebuah masa, di mana perempuan sama-sama memiliki hak yang setara di hadapan hukum, sama-sama memiliki kesempatan belajar setinggi-tingginya, dan bisa memberikan hak suara politik dalam sistem demokrasi. Sebuah kondisi yang mungkin sangat sulit dibayangkan oleh masyarakat di Nusantara yang hidup 112 tahun yang lalu.
Demikian sedikit persembahan gua di Hari Kartini ini. Gua harap melalui tulisan singkat ini, semangat Kartini kembali diestafetkan pada generasi mendatang. Jangan sampai, Kartini hanya diidentikan pada kebaya atau acara seremonial adat, tapi pada semangat untuk berkarya sebebas-bebasnya, menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dan keadilan bagi semua orang tanpa terkecuali. Selamat Hari Kartini!
Referensi :
Ananta Toer, Pramoedya. 2015. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta Timur: Lentera Dipantara.
Kartini, RA. 1997. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartini, RA. 2014. Emansipasi: Surat-Surat Kepada Bangsanya. Yogyakarta : Jalasutra.
Tim Buku Tempo. 2013. Gelap-Terang Hidup Kartini. Jakarta: KPG.
****
PS. Sebetulnya nih, masih ada sangat banyak sisi kehidupan Kartini yang menarik, tapi karena khawatir artikel ini nanti jadi terlalu panjang, jadi tidak mungkin gua tuliskan semuanya. Bagi lo semua yang terinspirasi untuk membaca langsung karya-karya Kartini, gua merekomendasikan lo untuk membaca kumpulan surat-surat Kartini yang telah terdokumentasikan secara lengkap. Banyak kalangan umum yang menduga bahwa pemikiran Kartini hanya direpresentasikan pada buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Padahal justru ada banyak sekali pemikiran Kartini yang tidak tercatat dalam buku itu. Sebagai gambaran, ini adalah perbandingan antar buku Habis Gelap terbitlah terang, dengan buku Emansipasi yang berisi 119 surat-surat dan pemikiran Kartini:
==========CATATAN EDITOR===========
Kalo ada di antara kamu yang mau ngobrol sama Glenn tentang kehidupan dan pemikiran Kartini, langsung aja tinggalin comment di bawah artikel ini ya.
Mungkin kalo zaman dulu gw ketemu Kartini, gw bakal terheran-heran kayak Minke pertama kali bertemu Nyai Ontosoroh. haha
Nice Artikel, really like it…
Ngomong2 soal Minke dalam Tetralogi Buru. Sebetulnya Pram membentuk karakter Minke berdasarkan tokoh pers nasional yaitu RM Tirto Adhi Soerjo, dimana RM Tirto ini adalah sosok yang dikagumi oleh Kartini dan cerita hidupnya berkali2 disebut Kartini dengan anekdot “si pemuda berkulit coklat”, salah satunya pada suratnya kpd Stella 12 januari 1900.
wah jaman dulu cewek tidak mendapatkan kesetaraan, hak, derajat yang sama dengan laki2 dalam kultur jawa khususnya. dan kartini adalah kuda liar (baru tau saya) yang pemikiran, gagasannya dalam memperjuangkan wanita. bang saya pengen nanya nih kalo gitu kenapa di indonesia yg diperingati itu cma gitu doang, kenapa kta ga memperingati perjuangan, gagasan dan pemikirannya yg pada zaman itu hal itu melenceng dari budaya
Wah pertanyaan yang bagus, tapi jawabannya tidak mudah. Jadi secara garis besar begini. Pada masa pemerintahan Soekarno, sosok Kartini seringkali menginspirasi kaum progresif kiri Indonesia untuk menjadi wanita mandiri. Semboyannya, wanita ga boleh berciri perilaku nrimo ing pandum (menerima nasib gitu aja) – tetapi harus mandiri, berdiri tegak sejajar dengan para rekan laki-laki dalam segala bidang.
Namun setelah pergantian rezim menjadi Orde Baru, perjuangan lawan politik (kiri) menjadi dikerdilkan, salah satunya adalah dengan pembelokan dari image Kartini. Di pelajaran sekolah era era Orde Baru, Kartini tidak lagi digambarkan sebagai sosok wanita yang tangkas, berdiri tegak sejajar dengan laki-laki, dan selalu memberontak terhadap ketidakadilan – melainkan justru sosok perempuan yang berbaju kebaya, rambut dikonde, anggun, lembut, tenang, setia dan patuh pada suaminya. Pembelokan image ‘wanita ideal’ ini sangat bertolak belakang pada era Soekarno, dimana perempuan digambarkan harus seperti Srikandi, yakni perempuan yang tegar, pemberani, dan mandiri.
Oleh karena itulah sejak di bawah rezim Orde Baru, Hari Kartini dirayakan hanya sebatas pada upacara, perlombaan, karnaval, dll. Sayangnya budaya itu terus bergulir hingga sekarang kendati Orde Baru sudah lewat 18 tahun yang lalu.
jadi pengen belajar sejarah nih tapi pentingin SBMPTN saintek dulu aja deh yang pokoknya. bang boleh request lagu ga eh salah maksudnya artikel tentang sejarah zenius, mulai dari dapet ilhamnya bang sabda dari mana trs perjuangan zenius dari awal sampe sekarang. itu jga kalo boleh sih
up
iyanihh.. kita2 kan juga pengen tau sejarah zeniusss 😀 ayolah bangg.. belum ada kan? terutama penasaran gmana bang sabda awalnya ndapetin pengajar2 yangg woww 😀
‘Panggil Aku Kartini Saja’ itu reliable nggak? Soalnya kata guruku, banyak fakta sejarah yang agak melenceng di buku tersebut.
‘Panggil Aku Kartini Saja’ memang sebuah bentuk penalaran dari Pramoedya Ananta Toer thd tokoh Kartini. Ada beberapa pendapat pribadi yang dia berikan di situ. Tapi sejauh yang gua baca, penggambarannya cukup ‘apa adanya’, dalam arti kalau Pram merasa bahwa pada beberapa bagian dia tidak punya dokumentasi secara jelas, dia akan terus terang pada tulisannya. Berdasarkan hal itu, gua pikir buku itu cukup fair menggambarkan Kartini, sebagaimana Pram sendiri memiliki beberapa sumber yang lebih ‘asli’ karena lebih dekat dengan jaman Kartini daripada kita yang di zaman modern. Besar kemungkinan, ada banyak sumber catatan asli Kartini yang tercecer atau sudah dimusnahkan pada era orde baru, salah satunya dokumentasi Pram pd jilid 3 & 4 buku tsb.
bang glen tolong coment yang di http://disq.us/9juftx juga di balas.. hehehe.. banyak yang nunggu saran dari bang glen.. thanks bang glen..
Yang sangat saya sayangkan, anda tidak mencamtumkan guru agama R.A.Kartini, padahal dia sangat dekat dengan gurunya, bahkan selama dikurung oleh ayahnya, gurunya yang merayu ayahnya untuk membebaskannya, akhirnya dia dibebaskan lalu dia membuat sekolah.
Masih banyak lagi jasa gurunya, kenapa ga ada yang terekspos. Nama guru agamanya adalah Kyai Soleh Darat Semarang, juga guru dari seorang guru besar, Hadratus Syeikh Mbah Hasyim Asy’ari. Mbah Soleh telah mencetak murid-murid yang berjasa buat negara, apa ada yang tahu itu, mungkin sedikit yang tau, padahal Mbah Soleh termasuk berjasa besar atas NKRI, tapi apa ada yang mengenang jasanya?
Hanya Sibuk Di Salon Kecantikan dalam Memperingati Hari Kartini
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hinggaHamengkubuwana VI. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Surat Curhat Galau
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
Bertemu Kyai Sholeh Darat
Kalau membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf.
Mengapa? Karena dalam surat surat RA Kartini yang notabene sudah diedit dan dalam pengawasan Abendanon yang notabene merupakan aparat pemerintah kolonial Belanda plus Orientalis itu, dalam surat surat Kartini beliu sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat. Alhamdullilah, Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, tergerak menuliskan kisah ini.
Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.
Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.
Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Dalam pertemuan itu RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
{inilah dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari sekumpulan surat menyurat beliau,.. sejarah telah di simpangkan, (penulis red)}.
Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:
Orang-orang beriman dibimbing Alloh dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqoroh: 257).
Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.
Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Siapa Simbah Kyai Sholeh Darat Semarang itu?
Salah ulama’ yang merupakan embahnya para ulama di Jawa adalah Kyai Saleh Darat, seorang waliyullah yg menjadi guru dari ulama-ulama’ yang mendirikan NU dan Muhammadiyyah, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH Mahfuzd (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Idris (pendiri Ponpes Jamsaren, Solo), KH Sya’ban (ulama ahli falaq dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan), dan Kiai Moenawir (Krapyak Yogyakarta), selain itu beliau juga merupakan guru spiritualitas RA. Kartini. Dengan demikian dapat dikatakan, Kiai Saleh Darat merupakan guru bagi ulama-ulama besar di Tanah Jawa. Bahkan Nusantara. Memang, Kiai Saleh Darat tak sepopuler tokoh lain. Ironis? Tentu saja. Sebab semasa hidupnya, Kiai Saleh Darat mashur di seantero Tanah Jawa, Nusantara, bahkan Asia Tenggara sebagai penulis kitab-kitab fikih, teologi, tassawuf, serta ilmu falak dengan gaya pegon (berhuruf Arab dengan bahasa Jawa).
Perjalanan Intelektual Beliau KH.Soleh Darat merupakan sosok ulama yang memilki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara jawa Khususnnya di Semarang. Kiai Saleh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820 dengan nama Muhammad Shalih. Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia acap menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih ibn Umar Alsamarani. pemberian nama Darat diselempangkan ke pundak beliau karena tinggal di kawasan dekat pantai utara Semarang yakni, tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Jawa. Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.
Ayahnya, KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Saleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).
Kyai Saleh Darat menimba ilmu di pesantren-pesantren pada jamannya, ia banyak berjumpa dengan kyai-kyai masyhur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin, dan kemudian menjadi gurunya. Di antara nama kondang tersebut salah satunya adalah K.H. M. Sahid yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama asal Desa Kajen, Margoyoso, Pati Jawa Tengah yang hidup di jaman Mataram Kartosuro pada sekitar abad ke-18. Dari Syaikhnya itulah, ia belajar beberapa kitab fiqh, seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim dan, Syarh al-Khatib. Terdapat catatan bahwa, karena kitab-kitab tersebut bukanlah “kelas” pengantar, maka mempelajarinya tak pelak membutuhkan waktu relatif lama. Safari perjalanan keilmuannya berlanjut kepada Kyai Raden Haji Muhammad Salih ibn Asnawi, di Kudus. Dari padanya beliau mengkaji Kitab Al-Jalalain al-Suyuti. Di Semarang beliau mendalami nahwu dan sharaf dari Kyai Iskak Damaran, kemudian belajar ilmu falak dari Kyai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni. Berlanjut kepada Ahmad Bafaqih Ba’lawi demi mengkritisi kajian Jauharah at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin karya Al-Ghazali.
Masih di kota loenpia, Semarang-lah, Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke- 19, dicernanya dengan tuntas dari Syaikh Abdul al-Ghani. Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri kepada Kyai Syada’ dan Kyai Murtadla’ pun dijalaninya yang kemudian menjadikannya sebagai menantu.
Setelah menikah, Sholeh Darat merantau ke Mekkah, Di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri serta Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Beberapa santri seangkatannya, antara lain KH Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.
Sepulang dari Makkah, Muhammad Saleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya KH Murtadlo. Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat. Di pesantren inilah ulama’-ulama’ seperti ; KH Sya’ban, Kiai Moenawir, KH Ahmad Dahlan, KH Idris, KH. Hasyim Asy’ari, KH Mahfuzd menuntut ilmu kepada beliau.
Kepribadian beliau Beliau adalah sosok yang sederhana dan bersahaja, Kesederhanaan yang ditopang kebersahajaan pribadinya, membuatnya selalu merendah dan menyebut dirinya sendiri sebagai orang Jawa yang tak faham seluk-beluk centang-perenang bahasa Arab. İni terlihat dari karangan-karangan beliau dimana pada setiap prolog selalu tertulis, “buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya”. Dalam Terjemahan Matan al-Hikam pada pendahuluannya tertera begini, “Ini kitab ringkasan dari Matan al-Hikam karya Al-Alamah al-Arif billah Asy-Syaikh Ahmad Ibn Ata’illah, saya ringkas sepertiga dari asal, agar memudahkan terhadap orang awam seperti saya, saya terjemahkan dengan bahasa Jawa agar cepat paham bagi orang yang belajar agama atau mengaji. Ternyata, basis pemikiran sederhana ini, justru memotivasinya untuk melahirkan beragam karya intelektual yang bertujuan terarah yakni, pembelajaran murah-meriah dan sederhana kepada orang Jawa yang tak mengerti benar bahasa Arab. Niat tulus inilah yang di kemudian hari diwujudkannya dalam bentuk buku tafsir atas kitab berbahasa Arab yang telah disuntingnya ke dalam bahasa Jawa.
Pemikiran dan ajaran beliau Kyai Saleh Darat dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Ia adalah pendukung paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya terhadap paham ini jelas kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-’Abid ‘ala Jauhar at-Tauhid. Dalam buku ini, ia mengemukakan penafsirannya terhadap sabda Rasulillah SAW mengenai terpecahnya umat islam menjadi 73 golongan sepeninggal Beliau, dan hanya satu golongan yang selamat. Menurut Saleh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah Waljamaah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Beliau juga mengajak masyarakat untuk gemar menuntut ilmu. Kyai Saleh Darat selalu menekankan kepada para muridnya untuk giat menuntut ilmu. Beliau berkata “Inti sari Alquran adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan akhirat”. Kiai Saleh Darat memperingatkan kepada orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dalam keimanannya, bahwa ia akan jatuh pada paham atau keyakinan sesat. Dalam Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, KH Sholeh Darat menasehati bahwa, orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan sama sekali dalam keimanannya, akan jatuh pada paham dan pemahaman yang sesat. Sebagai misal, paham kebatinan menegaskan bahwa amal yang diterima oleh Allah Ta ’Ala adalah amaliyah hati yang dipararelkan dengan paham manunggaling kawulo Gusti-nya Syaikh Siti Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taklid buta. Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin, demikian tegasnya. Lebih jauh diperingatkan juga, agar masyarakat awam tak terpesona oleh kelakuan orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan amalan-amalan syariat lainnya, seperti sholat dan amalan fardhu lainnya.
Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan, demikian inti petuah religius beliau. Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan.
Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama ini terus dikembangkan hingga akhir hayatnya. Karangan-karangan beliau KH Saleh darat banyak menulis kitab-kitab dengan menggunakan bahasa PEGON ( hurup Arab dengan menggunakan Bahasa Jawa). Bahkan Dialah pelopor penulisan buku-buku agama dalam bahasa Jawa. Beliau pula yg menterjemahkan Alquran yakni Kitab Faid ar-Rahman yang merupakan Tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dengan Hurup Pegon, Terjemahan Alquran dalam aneka versi bahasa, bukan hal asing lagi sekarang. Tapi, tidak di era akhir tahun 1800-an. Penjajah Belanda tidak melarang orang mempelajari Alquran, asal jangan diterjemahkan. Beliau menabrak larangan tak tertulis itu dengan mengakalinya, yakni dengan menulisnya menggunakan arab jawa atau Pegon sehingga tidak diketahui oleh belanda. Kitab inilah yang beliau hadiahkan kepada RA Kartini sebagai Kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat yang menjabat sebagai bupati Rembang. Kartini sungguh girang menerima hadiah itu.
”Selama ini surat Al Fatihah gelap bagi saya, saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekali pun, karena Romo Kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami” demikian Kartini berujar saat ia mengikuti pengajian Saleh Darat di pendopo Kesultanan Demak.
Karya karya beliau lainnya adalah Kitab Majmu’ah asy-Syariah, Al Kafiyah li al-’Awwam (Buku Kumpulan Syariat yang Pantas bagi Orang Awam), dan kitab Munjiyat (Buku tentang Penyelamat) yang merupakan saduran dari buku Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya Imam Al Ghazali, Kitab Al Hikam (Buku tentang Hikmah), Kitab Lata’if at-Taharah (Buku tentang Rahasia Bersuci), Kitab Manasik al-Hajj, Kitab Pasalatan, Tarjamah Sabil Al-’Abid ‘ala Jauharah at-Tauhid, Mursyid al Wajiz, Minhaj al-Atqiya’, Kitab hadis al-Mi’raj, dan Kitab Asrar as-Salah.Hingga kini Karya-karya beliau masih di baca di pondok-pondok pesantren Di jawa.
Wafatnya Beliau Kyai Saleh Darat wafat di Semarang pada hari “Jum’at Wage” tanggal 28 Ramadan 1321 H/ 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum “Bergota” Semarang. dalam usia 83 tahun. Meski demikian, haul-nya dilaksanakan baru pada 10 Syawal. Itu semata-mata agar masyarakat bisa mengikutinya dengan leluasa, setelah merayakan Lebaran dan Syawalan. Pada hari itu masyarakat dari berbagai penjuru kota menghadiri haul Kiai Saleh Darat di kompleks pemakaman umum Bergota Semarang. Banyaknya umat yang hadir dalam acara itu, seolah menjadi tengara kebesaran namanya. Tak dapat dipungkiri, ulama akbar itu memang telah menjadi ikon Semarang di masa lalu.
Disadur dari Api Sejarah ya ini?
ini komentar ato nambahin :v
Halo Ridho, memang sejujur ada banyak sekali hal yang tidak sempat saya sampaikan dalam artikel ini. Karena memang pada dasarnya mustahil merangkum seluruh kehidupan seseorang hanya dalam sebuah artikel. Ada banyak sekali tokoh penting dalam hidup Kartini yang tidak sempat saya bahas detail seperti salah satu contohnya Syeikh Mbah Hasyim Asy’ari, Raden Mas Panji Sosrokartono, Nyonya H.G de Booij-Boissevain, Dr N.Adriani, dll…
tapi karena saya lihat artikel ini sudah hampir 4000 kata, saya putuskan untuk menyajikan cerita singkat kehidupan Kartini hanya sebatas pada bentuk perjuangannya. Sementara hal2 pribadi lainnya silakan ditelusuri lebih dalam oleh audience dengan membaca surat2nya secara langsung.
Kak, di sekolah saya, OSIS dan teman-teman ingin sekali mengadakan perayaan hari kartini, tapi wakil kesiswaan tidak meng-acc dengan alasan itu tidak penting, bukan hari nasional dan sebagainya. padahal dia perempuan
tidak apa2 Fitri, perayaan hari Kartini memang menjadi perdebatan perspektif hingga saat ini. Ada sebagian kalangan yang menganggapnya penting, ada juga yang menganggapnya tidak penting. Menurut gue pribadi, perayaan kartini bisa jadi penting jika moment itu dijadikan refleksi bagi kita untuk memperjuangkan kesetaraan serta kebebasan untuk menentukan masa depan. Tapi kalo bentuk perayaannya hanya sebatas seremonial, pemakaian kebaya, bazar, dsb… memang sebetulnya kurang tepat dengan perjuangan hidup Kartini.
Kartini telah mendobrak tatanan budaya jawa yang feudal dan patriarki. Lantas kenapa kita merayakannya dengan mengenakan baju adat? Gak nyambung banget
gue copy dari jawaban bang glenn
Wah pertanyaan yang bagus, tapi jawabannya tidak mudah. Jadi secara
garis besar begini. Pada masa pemerintahan Soekarno, sosok Kartini
seringkali menginspirasi kaum progresif kiri Indonesia untuk menjadi
wanita mandiri. Semboyannya, wanita ga boleh berciri perilaku nrimo ing
pandum (menerima nasib gitu aja) – tetapi harus mandiri, berdiri tegak
sejajar dengan para rekan laki-laki dalam segala bidang.
Namun
setelah pergantian rezim menjadi Orde Baru, perjuangan lawan politik
(kiri) menjadi dikerdilkan, salah satunya adalah dengan pembelokan dari
image Kartini. Di pelajaran sekolah era era Orde Baru, Kartini tidak
lagi digambarkan sebagai sosok wanita yang tangkas, berdiri tegak
sejajar dengan laki-laki, dan selalu memberontak terhadap ketidakadilan –
melainkan justru sosok perempuan yang berbaju kebaya, rambut dikonde,
anggun, lembut, tenang, setia dan patuh pada suaminya. Pembelokan image
‘wanita ideal’ ini sangat bertolak belakang pada era Soekarno, dimana
perempuan digambarkan harus seperti Srikandi, yakni perempuan yang
tegar, pemberani, dan mandiri.
Oleh karena itulah sejak di bawah
rezim Orde Baru, Hari Kartini dirayakan hanya sebatas pada upacara,
perlombaan, karnaval, dll. Sayangnya budaya itu terus bergulir hingga
sekarang kendati Orde Baru sudah lewat 18 tahun yang lalu.
” Kartini adalah sosok yang menjadi tonggak pertama dari sebuah perjuangan sekaligus pendobrak awal dari sistem yang menjerat peran wanita di Nusantara”
Argumentasi ini terlalu di paksakan, krn apa?
kita tau Nusantara itu bukan masyarakat jawa semua
Lebih tepatnya Kartini pahlawan emansipasi bagi wanita adat ningrat jawa saja ,, krn adat ningrat jawa tidak sama dng adat2 suku di Nusantara lainnya, Indonesia pun belum ada pada masa kartini
Dan mengenai wanita pendiri sekolah pertama di Nusantara ?
Dewi Sartika di Bandung mendirikan sekolah kautamaan istri ( 16 Januari 1904 ) lebih duluan dari Kartini ( 1918 )
Jadi terlalu di paksakan utk pahlawan nasional,
Pahlawan “ya” utk emansipasi wanita adat ningrat jawa
mohon maaf bukan pahlawan bagi non Java
Kajian yang bermanfaat semoga dapat menambah wawasan dan ilmu untuk kita semua.
PT. AROFAH GALANG MULIA
RELIGIOUS TRAVEL & TOURISM
D/116 D/363
RUKO TANGCITY BUSINESS PARK E/21
JL. JENDRAL SUDIRMAN, BABAKAN – TANGERANG
BANTEN 15117
TELP. +6221 292 39701, +6221 292 39702
http://arofahgalangmulia.blogspot.co.id
e-mail : arofahgalangmulia@gmail.com
https://plus.google.com/111725674733759697308
Facebook : @arofahgalang
Twitter : @arofahgalang
Ibu Kartini memang mantap
dalam memperjuangkan harkat dan martabat untuk kaum wanita agar bisa disetarakan dan tidak dianggap rendah atau dipandang sebelah mata, kartini rela berjuang mati-matian untuk itu. bersyukurlah untuk para kaum wanita di jaman sekarang, berkat R.A kartini harkat dan martabat kita sebagai perempuan tidak hanya sekedar mengurus dapur dan rumah tetapi kita juga bisa menuntut ilmu setinggi mungkin dan sebanyak mungkin. semangatt!!
dalam memperjuangkan harkat dan martabat untuk para kaum wanita agar bisa disetarakan, tidak dipandang sebelah mata dan bisa menuntut ilmu, kartini rela berjuang mati-matian untuk itu. maka beryukurlah untuk para kaum wanita di jaman sekarang, berkat perjuangan dan kegigihan kartini kita tidak mengalami fase menyedihkan itu.