Ada banyak trik dalam mencontek, kerjasama, dan budaya curang dalam ujian lainnya. Artikel ini membahas dan membuka ruang diskusi terkait fenomena ini.
Halo guys, gak terasa pelaksanaan UN tingkat SMA dan sederajat udah berlalu. Bagi kamu yang sekarang duduk di bangku SMP dan SD, berarti masih harus berjuang mempersiapkan UN 2016 di bulan Mei mendatang. Semangat yak!
Mumpung UN tingkat SMA/SMK sederajat baru saja berlalu, enaknya artikel blog kita kali ini ngomongin hal yang santai dan ringan-ringan dulu kali yak. Nah, pada artikel blog kali ini, gua ingin mengangkat topik diskusi yang setiap tahun selalu “panas” diangkat setelah UN selesai. Yak, topik tersebut adalah seputar budaya curang dalam ujian dalam dunia pendidikan kita. Baik itu berupa bocoran soal, kunci jawaban, upaya menyontek, kerjasama, dan berbagai bentuk kecurangan lainnya. Jadi, buat lo yang kemarin punya pengalaman atau cerita seru tentang tindak kecurangan yang terjadi di lingkungan lo, yuk kita nimbrung dan saling curhat di kolom diskusi bawah artikel ini!
Anyway, sebetulnya beberapa hari yang lalu (tepatnya 7 April 2016), akun twitter @zeniuseducation sempat iseng-iseng mengadakan polling seputar tindak kecurangan yang terjadi di lingkungan sekolah para follower-nya, berikut adalah hasilnya:
Walaupun jumlah voter-nya dikit, tapi dari 442 responden ini… setidaknya kita tahu bahwa ada 77% atau setidaknya 340 responden yang menyatakan bahwa terdapat kecurangan di sekolahnya. Ini baru dalam skala kecil iseng-isengan saja. Entah bagaimana jika sampelnya diperbanyak atau bahkan diperluas secara nasional.
Nah, karena gua makin penasaran lagi. Kemarin (14 April 2016) gua bikin survei yang sedikit mengupas tindak kecurangan pada UN SMA/SMK 2016 dengan lebih mendalam. Berikut adalah distribusi bentuk kecurangan berdasarkan responden dari sosial media @zeniuseducation:
Oke, berdasarkan polling & survei iseng-isengan Zenius, boleh dibilang >75% responden menyatakan melihat kecurangan UN di lingkungannya. Banyak amat yak? Iya, tapi sejujurnya gua gak heran sih, karena sebetulnya fenomena kecurangan ini bukan lagi hal yang aneh. Setiap tahun, setiap generasi, dan setiap angkatan… selalu saja ada bentuk budaya curang untuk mendapatkan nilai akademis yang bagus. Konteks kecurangan dalam dunia pendidikan juga bukan hanya terjadi dalam skala besar seperti UN, tapi juga dalam hal-hal kecil, seperti ulangan harian, quiz, bahkan tugas sekolah!
Ironisnya lagi, budaya curang ini juga tidak hanya dilakukan oleh para siswa saja, tapi dalam beberapa kasus juga melibatkan oknum PENGAWAS dan juga GURU. Berikut adalah beberapa screenshot dari curhatan responden survei zenius yang menyatakan keterlibatan oknum guru dan pengawas:
Miris banget ya ngeliatnya?? Contoh lain lagi bisa lo lihat dari curhatan salah seorang rekan guru kenalan gua yang membeberkan tindak kecurangan masal yang terjadi di Sekolahnya pada UN beberapa tahun lalu. Berikut screenshot-nya:
Nah lho, berdasarkan beberapa penggal curhat tersebut, kita bisa lihat bahwa bentuk budaya kecurangan di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh para siswa saja, bahkan sampai dilakukan oleh para oknum pengawas dan juga guru yang seharusnya menjadi panutan. Ironis banget yak!? Sebetulnya apa sih akar masalah dalam sistem pendidikan di Indonesia?
PS. Kalo lo mau lihat data keseluruhan survei di atas, lo bisa klik link data individual laporan kecurangan UN dan juga laporan summary kecurangan UN kemudian laporan jawaban terbuka seputar kecurangan UN.
Eh, tapi ternyata hal ini gak terjadi di negara kita aja lho. Hal yang tidak kalah ironis juga terjadi di Negara India. Pada Maret 2015, ada sebuah skandal di Sekolah Bihar India, dimana para orangtua rela mempertaruhkan nyawa memanjat dinding sekolah untuk membantu anak-anak mereka mengoper contekan mencontek saat ujian masuk universitas! Hal ini sempat menjadi berita yang menghebohkan dalam dunia pendidikan tahun lalu. Kalo lo penasaran ceritanya, coba tonton liputan singkatnya di bawah ini.
https://youtu.be/dpX3hWCHm5I
Wah, wah… gila banget ya? Ternyata budaya curang dalam ujian ini juga terjadi di berbagai belahan dunia lain, dimana yang terlibat dalam prosesnya bukan hanya siswa saja, tapi juga guru, bahkan orangtua!
Kalo dipikir-pikir, kenapa ya budaya curang ini terus mengakar dengan kuat? Sepenting itukah nilai akademis, dibandingkan dengan nilai-nilai integritas dan kejujuran? Apakah dunia pendidikan seolah-olah hanya menjadi panggung sandiwara dari para siswa, guru, dan orangtua untuk mendapatkan status sosial dan kesempatan karir yang lebih baik? Tentu budaya ini tidak bisa digeneralisir merata bagi setiap siswa, guru, apalagi orangtua. Gua percaya masih banyak siswa, guru, dan orangtua yang menginginkan pendidikan yang betul-betul berorientasi untuk meningkatkan kualitas diri menjadi lebih baik.
Terlepas dari itu, budaya curang untuk memperoleh nilai akademis ini memang kompleks dan rasanya sulit sekaliuntuk dibedah dalam 1 artikel ini. Oleh karena itu, gua mengundang para pembaca untuk berdiskusi dan berbagi cerita serta pengalaman terkait topik ini dalam kolom komentar di bawah artikel ini.
Sebagai pembukaan, gua akan coba berbagi opini pribadi terkait 2 hal, yaitu (1) Penyebab ; dan (2) Konsekuensinya. Kita mulai dulu dengan hal yang pertama:
A. Penyebab budaya curang dalam Ujian
Menurut pendapat gua, kecurangan dalam dunia pendidikan akan terus mengakar selama masyarakat (siswa/guru/orangtua) memiliki persepsi bahwa nilai akademis adalah tolak ukur prestasi, kebanggaan, serta satu-satunya indikator dan ‘jembatan’ dalam meraih jenjang karir, prospek kerja, dan kesuksesan finansial di masa mendatang.
Selama persepsi itu masih melekat dalam masyarakat: para orangtua akan cenderung menuntut anak-anaknya mendapat nilai akademis yang tinggi secara konsisten. Para guru akan fokus pada prestasi, nilai rata-rata UN, lomba/olimpiade dan hal-hal yang bisa menjadi simbol status sosial sekolah ketimbang berorientasi untuk bagaimana mengembangkan potensi serta pengalaman belajar siswa yang seru dan menyenangkan.
Ketika siswa melihat bahwa nilai akademis adalah hal yang krusial untuk dipersembahkan bagi orangtua, dan juga seolah-olah menjadi syarat mutlak untuk bisa ‘survive‘ di masa mendatang. Maka ukuran keberhasilan dari para pembelajar ini hanya berfokus pada nilai, bukan pada pemahaman disiplin ilmunya. Dalam perspektif seperti ini, tidak heran jika Indonesia kaya akan ‘prestasi’ dan sering memenangkan lomba olimpiade sains / cerdas cermat. Tapi jumlah kemenangan olimpiade itu tidak berimbang dengan jumlah putera-puteri Indonesia yang betul-betul berkarya dalam dunia ilmu pengetahuan. Dalam perspektif yang sama pula, tidak heran jika budaya curang untuk mendapatkan nilai akademis terus mengakar kuat di setiap angkatan pelajar.
B. Konsekuensi dari budaya curang dalam ujian.
Bicara soal konsekuensi, mungkin lo langsung kepikiran soal hukuman. Hukuman bagi mereka yang ketahuan curang, emang bisa “sadis” banget. Dari mulai nilai ujiannya nol, tidak boleh ikut ujian selanjutnya, dipanggil orangtua, bahkan yang paling ekstrim bisa dikeluarin dari sekolah/universitas. Tapi pada kenyataannya, walaupun hukumannya terbilang sadis, toh budaya nyontek dan kerja sama itu tetap marak terjadi.
Jadi gua pikir, daripada kita bicara soal ‘hukuman yang efektif’ atau berkampanye tentang nilai-nilai kejujuran dan integritas sebagai pelajar. Gua pikir akan lebih efektif jika kita membahas soal KONSEKUENSI jangka panjang dari kebiasaan contek-mencontek ini bagi kepentingan siswa itu sendiri ke depannya. Wah emang apaan sih konsekuensi jangka panjangnya? Sebelumnya, gua mau cerita dulu tentang salah satu murid zenius yang pernah curhat buka-bukaan sama gua…
Singkatnya, beberapa tahun yang lalu ada yang curhat sama gua (katakanlah namanya Tony) bahwa dari sejak SMP sampai kelas 12 SMA, dia bener-bener kecanduan nyontek dan nyalin PR, terutama dalam pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris. Menurut cerita dia, hampir setiap kali pr, ulangan, dia selalu nyari akal gimana caranya supaya bisa nyontek dan “lolos” dengan bagaimanapun caranya. Bahkan dalam UN SMP sekalipun, dia berhasil dapet bocoran soal dan kunci jawaban untuk bisa lolos UN SMP.
Nah, somehow dia akhirnya bisa menginjakan kaki di kelas 12 SMA dan mau gak mau harus berhadapan dengan SBMPTN dan Ujian Mandiri berbagai universitas yang kebanyakan soalnya menguji kemampuan matematika dan Bahasa Inggris. Pada moment itu, akhirnya dia sadar bahwa dia udah gak bisa lari kemana-mana lagi. Si Tony yang udah kelas 12 di umur 18 tahun, bahkan gak ngerti operasi hitung pecahan sederhana, dan bahkan gak bisa baca teks Bahasa Inggris sama sekali. Kacau banget yak!? Setelah udah gak bisa lari kemana-mana baru deh dia panik dan nyesel.
Itu baru konsekuensi dalam hal akademis. Hal yang lebih ngeri lagi adalah konsekuensi dalam kapasitas mental diri lo sendiri. Seseorang yang terbiasa untuk mensiasati sistem, mencari jalan pintas, menyogok, berkolusi… pada akhirnya membentuk pribadi dengan ingin serba instan, dan tidak terbiasa bekerja keras. Bagi mereka yang terbiasa curang sejak menjadi pelajar, akan tetap terus berada dalam pola pikir untuk bisa “lolos” dari masalah dengan cara yang tidak fair. Sampai pada akhirnya, suatu hari nanti mau gak mau lo akan tiba pada moment dimana lo harus membuktikan kemampuan lo.
Ingat, budaya curang dalam ujian mungkin hanyalah awal dari pengikisan prinsip dan integritas, tapi ketika kecurangan menjadi kebiasaan yang terus lo lakukan berulang kali, otak lo akan berpikir bahwa berbuat curang adalah hal yang lumrah. Di sisi lain, lo juga harus sadar bahwa ‘hukuman’ dari kecurangan akan semakin mengerikan seiring berjalannya waktu. Ketika masih pelajar, perbuatan mencontek itu paling hukumannya cuma dapet nilai nol. Tapi kelak jika dalam dunia profesi, konsekuensi dari bentuk kecurangan akan jauh lebih sadis lagi, bisa jadi dipecat dari pekerjaan, dikejar-kejar penagih hutang, bahkan bisa jadi masuk penjara.
Jadi menurut gua pribadi, budaya curang dalam dunia pendidikan bukan soal gak jujur pada nilai akademis saja, tapi soal kebiasaan memupuk masalah yang jauh lebih besar lagi di kemudian hari. Ujung-ujungnya, keputusan untuk jujur atau curang dalam jenjang akademis, pada akhirnya bukan demi siapa-siapa tapi untuk mengasah prinsip dan ketahanan mental lo untuk menghadapi masalah (baca: ujian yang jauh lebih besar) di masa depan.
****
Nah, demikianlah sedikit opini dan pendapat pribadi gua soal topik kali ini. Bagi para pembaca di sini yang juga ingin berbagi cerita, pengalaman, opini, serta pendapat seputar budaya curang dalam dunia akademis. Gua mengundang kalian semua untuk ikut nimbrung pada kolom diskusi di bawah artikel ini. Ditunggu komentarnya yak, dan sampai jumpa di artikel Zenius Blog berikutnya!
—————————CATATAN EDITOR—————————
Kalo ada di antara kamu yang mau ngobrol sama Glenn tentang topik diskusi kali ini, langsung aja tinggalin comment di bawah artikel ini ya. Jika ada di antara kamu yang berpendapat bahwa UN SMA/sederajat tahun 2016 tidak layak dijadikan penentu kelolosan seleksi SNMPTN 2016 karena banyak terdapat bentuk kecurangan, kamu bisa ikut serta menandatangani petisi Change.org berikut ini >> Petisi menuntut agar nilai UN SMA/SMK/MA 2016 tidak menjadi komponen penilaian untuk SNMPTN 2016.
Hmmm gw setuju banget sama opini lu Glen. Menurut gw, faktor yg paling mempengaruhi budaya tersebut adalah guru nya sendiri, di sini gw nggk mengeneralisir semua guru. Tapi menurut pengamatan gw di lingkungan pribadi, mostly guru melakukan hal yg memicu terjadinya budaya tersebut.
Apalagi sama konsep penilaian yg semakin rumit seperti di kurtilas yg mengharuskan guru untuk menilai siswa dari berbagai aspek. Terus juga terkadang kepala sekolah mengharuskan para guru agar memberikan nilai yg baik agar rating sekolahnya juga meningkat. Iya sih rating emang bagus, tapi kalo cara dapetin rating itu kurang tepat ya sama ajah.
Dari pengamatan gw, sebenernya banyak yg pengen ngungkap kecurangan itu, ato ingin meluruskan. Tapi nggk berani karena takut ntar malah di beri sangsi sosial dari lingkungannya. Gw jadi bingung sendiri siapa yg curang siapa yg beri sangsi sosial. Hmmm
Hmm gw jdi inget yg Sabda omongin, “Sbenernya tiap org itu punya niat yg baik, tapi trkadang caranya yg kurang tepat”.
Ya semoga saja kedepannya pemerintah bisa memberikan yg terbaik bagi pendidikan Indonesia, btw kalo si Sabda yg jadi menteri gimana ya.. kwkw
yang paling memiriskan lagi ketika selesai UN malah langsung coret2 baju -_-, Lulus gk murni aja bangga?
Wah bener juga lo. Sebetulnya gua juga heran sejak kapan budaya corat-coret baju ini ada. Terus terang gua dari dulu sekolah SD, SMP, SMA… gak pernah tuh ada budaya corat-coret baju. Biasanya baju anak kelas 12 disumbangkan untuk adik kelas yang kurang mampu.
kayaknya budaya corat-coret dimulai dari anak kelahiran tahun sekitar 92-95 itu…
gua lulusan tahun ini tapi sebenarnya belum lulus sih soalnya belum pengumuman hehe .. disekolah saya di cirebon sekolah ngelarang untuk mencorat-coret baju kalo ketahuan nanti ditindak lanjuti hehe
Soalnya menurut banyak orang nilai lebih berharga dari pendidikan itu sendiri
Beberapa hari yang lalu gw pernah baca artikel di sebuah majalah, si penulis artikel itu sedang melakukan penelitian pada Seni di Afrika khususnya pada ‘scarification and body piercings in sub-Saharan cultures’. Dan di artikelnya dia bilang “I used to think scarification was just a way to torture yourself,” she says, “But African people use it as a way to show social status” – rather like the college application process. Waktu baca paragraf itu jujur gw bingung antara mau ketawa atau sedih sendiri, anyway that’s not the point. From my point of view, cheating is just another kind of human struggle to crawl into the highest status in society and that happens almost every time in many places. Because, what kind of people don’t want a good life? Many peoples willing to do anything even if it means to torture themselves just for satisfy their needs. walaupun begitu, saya pikir budaya mencontek harus dihilangkan, dengan pertama-tama menyadari bahwa mencontek itu sendiri adalah hal yang wajar (or maybe human nature?) ketimbang suatu tindakan yang tidak bermoral. Baru setelah itu kita menawarkan suatu target yang lebih mulia dalam belajar (klo kata Feynman sih ” the kick in the discovery”) daripada mengejar sebuah angka2 yang tidak merepresentasikan diri kita sendiri.
Betul sekali Fio, dalam jenjang masyarakat yang ekstrim, pendidikan memang menjadi sarana sebagai ‘social climbing’. Bisa kita lihat juga dari contoh skandal ujian di India… hal yang menyebabkan para orangtua bisa sampai seperti itu karena memang mereka hidup dalam kondisi yang sangat miskin, sehingga peluang untuk bisa masuk universitas di Kota besar mereka pikir sebagai satu-satunya cara untuk bisa lepas dari rantai kemiskinan.
Menurut gw sih, mau gimana aja sistem tolak ukurnya, selama belum ada kesadaran kalau proses lebih berharga daripada hasil itu sendiri ya percumah. Nilai itu yang perlu ditanamkan dalam pendidikan. Tapi anehnya malah banyak guru-guru yang ngebolehin kecurangan itu sendiri.
Mungkin salah satu faktor yang bikin suka nyontek juga karena murid dibiarin ngga bisa/paham ilmu itu sendiri. Karena pas gw sekolah dulu kalau nilai di bawah kkm, perbaikan nilai pakenya pengumpulan tugas atau suruh beli barang macem-macem. Jadi otomatis pas ujian ya pada kesusahan sendiri, akhirnya ambil jalan pintas
Setuju dgn pendapat kamu. Gua pikir perlu ada satu mekanisme tersendiri yang membuat tolak ukur keberhasilan pendidikan bukan hanya dgn cara mengevaluasi pemahaman saja. Sebab jika tolak ukurnya hanya dari itu saja, jadinya semua elemen dlm dunia pendidikan bisa ambil jalan pintas dan hanya fokus pada nilai akademis.
*numpang curhat
dulu kelas 1 SMK setelah semester ganjil
pas ortuku pulang dari ambil rapot katanya aku ranking 10 😀
seneng bener dah…
trus pas aku liat daftar rankingnya
seketika senangnya ilang…
atas saya pencontek semua (hanya 4 orang yg murni gk contek/pintar)
semenjak itulah saya tidak percaya pada ranking dan nilai….
Ironis emang :’)
Rangking gue dibawahnya orang2 yang pencontek juga
bahkan salah satunya bilang gini ke gue:
“Yaaa kasiaan banyak yang remed”
dan gue hanya bisa tersenyum tipis
:’D
sakit pasti
kalo tempatku dengan bangganya bilang “wee belajar sampe jam 2 mlm he… gk sia2”
dan saya hanya bisa tersenyum dan berkata dlm hati
“kalo kau(pencotek) bsk hadepin soal sendiri gmn?
ntah itu sbmptn,sm,ataupun test tertulis masuk kerja, mau contek siapa?
hadepin sendiri tanpa ada siapapun dan waktu itu pasti akan tiba…”
dah gitu aja yg jelas “pokoknya aku harus bisa hadepin sendiri!”
Kamu mending cuma ranking. Tahun kemarin aku buat masuk SMA. Aku jujur sendiri. Akhirnya nilaiku ke tendang. Aku ga diterima dimana-mana
Sejujurnya sih sy sedr lebih nyaman ketendang dari pada lulus dari pada dpt nilai nggak bener
Nilai anda ketendang bukan karena ngak nyontek XD
coba toh yg nyontek itu ga nyontek. Mungkin pringkat 1 kali ahhahaha xD
Ini yang gua rasain. Persis bro, sedih banget
ironisnya, para pecontek nantilah yang ketrima SNMPTN.. Itulah yg bikin gw rada ga suka ama mekanisme SNMPTN
Yup.. bener bgt… Nyesek
iya yak kenapa budaya nyontek tuh merajalela bangett
dari SD sampai SMP nyontek itu kayaknya haram banget, bahkan kayaknya nulis rumus di buku aja udah dosa besar.
alhamdulilah UN SD sama UN SMP saya murni usaha sendiri.
sampai akhirnya saya menginjak bangku SMA.
UTS kelas 10 saya duduk sebangku dengan anak kelas 12.
dan herannya ketika saya sedang pusing menghitung rumus, kakak kelas itu malah asyik menatap ke bawah meja
ternyata dia main hape.
dan lewat sosial media dia meminta jawaban kepada temannya
ternyata tak hanya itu, saat pengawas lengah atau keluar kelas, mereka menukar soal.
teman sekelas saya pun begitu, saya sampai kaget karena disini ternyata mencontek merupakan hal yang lumrah.
yang lebih parahnya, saya IKUT TERBAWA, sering teman menanya jawaban apa saat ujian dan saya menjawab, kadang juga saya bertanya balik.
dioper kertas kunci jawaban, saya malah melihatnya.
padahal selama ini…. 9 tahun.. saya tak pernah mencontek, saya selalu berusaha sendiri.
iming-iming remedial atau nilai rapot merah selalu menjadi hal yang dihindari oleh semua murid, sehingga menghalalkan segala cara agar mendapat nilai bagus…
saya ingin sekali menghilangkan kebiasaan ini, saya ingin sekali agar tak ikut terjerumus, saya ingin sekali mengerjakan dengan jujur….
saat ujian mata pelajaran eksak, oke saya mengerjakan dengan kemampuan sendiri, saya masih mampu untuk belajar, bahasa inggris? tak masalah.
tapi pelajaran hapalan? bahasa arab?
hanya sedikit yang menempel di otak, memang saya bisa bahasa arab, tetapi terkadang saya tak bisa menghapal seluruh kosa kata.
kebiasaan ini akan buruk bila terus menerus dilakukan, saya tak ingin ini menjadi kebiasaan sehingga terbawa ketika sudah dewasa…
tapi kenapa?
orang-orang selalu saja melihat nilai daripada usahanya?
sabar aja…. emang sakit…
tetep berusaha saja
Ikthiar….
Yang paling parah itu UN terdiri dari 2 macam, PBT dan CBT. Siswa CBT bisa seenaknya ngerjain duluan soal2 dari siswa PBT. kalo gini kan sama aja nggk ujian.
Setuju! harusnya CBT sama PBT dibarengin, walau tetep aja masih ada yg nyontek sih.
sebenernya sih sistem kayak gini bagus juga loh kata menteri pendidikan mah soal yang di cbt beda ama pbt eh ga taunya banyak tuh temen2 saya yg pda bilang kalo kalo cbt dan pbt nya sama. coba kalo beda cbt yang di sif 1, 2, 3 dibedain maksudnya 20 type soal trus yang di pbt dibedain
Ya mau gimana lagi…zaman sekarang nilai akademis adalah segalanya..kalau nilai rendah dianggap merepotkan bg semua kalangan siswa,guru dan ortu…
Klo ingin mengubah tradisi curang sepertinya cukup sulit menurutku..harus menyadarkan kpd banyak junior2 yg jika di biasakan agar berpengaruh pd kehidupan masa depan mereka
Dan juga dr pihak guru ataupun ortu kurasa kurg tepat jika memaksakan anak harus nilai tinggi
Jadinya anak tidak “Learn” dalam pelajaran malah “cheat” dlm pelajaran..mereka akan melakukan apa saja asal nilai tinggi dan terhidar dr sanksi
So,, kejujuran itu seperti barang mahal (tidak sanggup utk dilakukan)
Menurut gw kesalahan ada pada kita dan sistem, kejujuran itu kesadaran dan sistem pendidikan mungkin harus mengedepankan potensi dan tidak mengutamakan nilai akademis
ayo!
menurut gue awalnya mereka kayak kemakan omongan orang tua. hampir semua ortu kalo nyuruh anak mereka belajar pasti ada embel-embelnya “Biar nilainya bagus, biar dampet ranking terus” otomatis pasti otak mereka isinya cuma nilai bagus & dapet ranking. belum lagi pas UN SD, jujur aja nih waktu gue SD, Wali kelas bahkan Kepsek kumpul buat bahas ‘stretegi UN’. mereka malah bantu gimana caranya biar nyontek tanpa pengetahuan pengawas, yg pinter kasih contekan ke temen yg kurang bisa. dan pas gue SMP temen” juga curhat kalo mereka semua ngalamin apa yg gue alamin pas SD. Nah kayaknya akarnya dari situ, makanya budaya curang ga ada abisnya. Dan kalo masalah kecurangan UN SMA. kemarin gue tanya temen gue nih kak, dia pinter tp masih pakai kunci.. pas gue tanya alasanya dia takut kalo nilai UN dia kalah sama anak yg nilainya dibawah dia, jadi dia kayak gak trima gitu
Nah itu juga yang gw heran. Kepsek suka begitu. Entah karena pengen bagusin reputasi atau apa. Ada guru gw yang pernah bilang, “Generasi kalian sekarang itu kasian, pergi kesekolah buat jadi pinter, tapi malah dibuat jadi bodoh karena kepentingan perseorangan.”
Karena dulu gw tukang contek, awalnya mah kontra banget sama ini guru. Sekarang baru kerasa omongannya itu bener hehe
mungkin Kepseknya jadi ikutan beban mental apa gimana gitu ya, tapi menurut gue tetep aja salah. Ini aja kepsek uda ga bener gimana mau nyetak generasi yg jujur
Gw paling ga suka tiap temen gw nyontek alasannya :
“Ah karena hasil selalu lebih dihargai daripada proses”
Tai. Kalo emang niat nyontek emang selalu aja ada alasannya. Apalagi yang diatas itu, klise. Menurut gw sih, temen – temen gw terlalu terlena sama paradigma “SMA adalah masa paling indah”. Jadi pada ngabisin waktunya buat maen2 terus kaga pernah belajar. Sekalinya dihadapin waktu yang emang nuntut dia kudu belajar, ada aja alasannya. Manja aja sih, gak pada mau usaha gitu loh. Ironisnya, entah kenapa di daerah gw yang anak2 kek gt kebanyakan anak – anak orang yg “berpunya”. Jadi udah kebiasa hidup di zona aman. Ya gitu, masuk kuliah universitas pas2 an doang, kalo bapaknya ada jabatan, juga gampang cari kerjaan. Ah entahlah. Damn, I love Indonesia.
Iya tuh kak glen kemaren saya UN lah banyak siswa yg bawa hp ke kelas tapi pengawasnya acuh tak acuh gitu. Menurut saya faktor banyak kecurangan selain ambisi juga labelling yang disebut kak Glen bilang nilai menjadi salah satu tolak ukur kecerdasan menurut guru/orang tua, siswa banyak yg berambisi mengejar angka tinggi hanya untuk “prestise”. Memang sulit menghapus budaya yg mengakar harus ditanam dari kecil dan dari diri sendiri serta klaim masyarakat bahwa “mencontek” bukan hal lumrah. .
Saya setuju dengan opini Anda pak, yg membuat saya sedih adalah UN tahun ini dijadikan pertimbangan masuk PTN, padahal UN tahun ini banyak terjadi kebocoran. Sungguh, saya dan teman2 saya merasa terdzalimi dengan adanya bocoran, kami sudah belajar sungguh2 selama 3 tahun, dengan adanya bocoran kami merasa terdzalimi pak. Apalagi kalau UN dijadikan pertimbangan masuk PTN, menurut saya tidak adil pak, byangkan saja jika orang yg berprestasi diskolah selama 3 tahun berturut turut dan bljr sungguh2, nilai UN nya terbalap dengan orang yg curang pak, enak atuh orang yg curang bisa masuk ptn melalui snmptn tanpa usaha jujurnya, dimanakah letak keadilan?
Wah kebetulan banget nih ada petisi yang memperjuangkan nilai UN agar tidak dijadikan komponen penilaian SNMPTN, jika kamu setuju dgn petisi tsb, kamu bisa ikut tanda tangan di sini >> https://www.change.org/p/soal-un-tersebar-revisi-pertimbangan-un-untuk-snmptn-2016
Kalau misal UN gak jadiin komponen penilaian SNMPTN juga sama aja sih, nilai di rapor itu sendiri bisa didapet pake cara nyontek atau macem-macem. Sama-sama enak mereka
Ya beda kak, kalau peserta didik tsb berprestasi, belajar bersungguh sungguh, tlah memahami ilmu yg diberikan guru, mengajarkan temannya jika ada temannya yg belum paham, belajar siang-malam sebelum un hingga lupa makan. ya kasian jika tiba2 nilai un nya terbalap dengan orang yg curang.
Beda lagi kalau orang yg meraih nilai rapot hasil nyontek, biasanya Tuhan akan menunjukkan mana orang yg jujur dan mana yg tidak jujur, karena hasil instan itu gak berbekas, lekas mengelupas. Kali aja orang yg meraih nilai rapot hasil nyontek tsb dia kuliahnya berhenti ditengah jalan karna gak sanggup atau gak terbiasa belajar bersungguh sungguh
Sekarang gini, okelah kita anggep UN gak dipake buat penilaian, berarti sekarang tinggal rapor. Andai ada siswa yang rapornya murni bagus, ada yang lebih bagus tapi hasil curang. Kan jatuhnya si curang diuntungkan di sini, kemungkinan besar si curang lolos SNMPTN.
Kalau masalah si curang keteteran di dunia perkuliahan, ya itu mah dampak dia curang buat bagusin data seleksi. Masalahnya si jujur ini udah tersisih dari SNMPTN.
Menurut gw sih, mungkin SNMPTN udah gak efektif lagi diterapin mengingat banyak yang ngelakuin kecurangan buat ngebagusin nilai rapor dengan instan. Mungkin seleksi ke universitas emang sebaiknya jalur tulis yang kemungkinan curangnya jauh lebih kecil dibanding SNMPTN itu sendiri
setuju brooo
kalau dari artikel yg pernah saya baca sih memang siswa yg masuk lwt snmptn tidak sebaik siswa yg melalui sbmtpn
lagipula mana ada guru mau kasih nilai jelek ke muridnya
ada juga lho, guru yang membeda-bedakan murid…
Buat bro and sis petisi hapuskan snmptn
Artikel yang gue tunggu-tunggu.
Gue sedikit pengen curhat soal budaya menyontek
Gue memegang prinsip pantang untuk menyontek. Pernah gue dapet nilai 0,5 , iya nilai gue cuma “0,5”dari 20 soal jawaban gue yang bener cuma 1. Nilai gue paling rendah di kelas sementara nilai temen-temen gue tinggi” gue tau mereka semua kompak dan saling kerja sama bahkan gue ditawarin contekan tapi gue tolak alhasil nilai gue segitu
Sedikit opini gue tentang menyontek
Gue setuju sama pendpatnya kak glen memang salah satu oenyebab budaya menyontek tumbuh subur di jalangan siswasiswa adalah karena pendidikan sekarang berorientasi pada nilai contoh pada waktu gue un SMP katanya nilai un tidak menentukan kelulusan, memang! Namun saat gue mendaftar di sma favorit yang diperhitungkan masih nilai un bukan nilai rapor
Kemudian buat SNPTN lagi lagi yang diperhitungkan adalah nilai. Tak jarang sekolah merekayasa nilai siswa nya buat tembus SNPTN
Gue rasa selama sistem pendidikan kita masih melihat sesuatu berdasarkan nilai akademik maka budaya menyontek akan tetap tumbuh subur.
Yang gue takutkan nantinya akan lahir koruptor koruptor baru yang akan mengerogoti bangsa ini ingat “Indonesia tidak kekurangan orang cerdas namun kekurangan orang jujur”
Setuju banget., waktu UN kemaren gue juga sebel banget liat yang nyontek sementara gue belajar mati”an, Dan itupun gue gak yakin hasilnya bakalan bagus, sementara mereka yang pake kunjaw mungkin udah rada tenang sekarang, tapi gue sih mikirnya positif aja, lagian nilai UN Bukan penentu kesuksesan, tapi miris sih liat guru2 pengawas yang seolah olah cuma pajangan aja waktu UN, jadi selama UN pengawasnya tuh diem aja terus didepan, tanpa bereaksi kalo ada yang curang
Kalo orangnya beragama, mungkin rasa “dilihat sama Yg Diatas” nya kurang kali ya.
kalo dari hasil “survei” iseng aku ke anak-anak pemakai bocoran sih penyebabnya karena mereka gamau ikut un remedial, atau mau cari aman aja, atau emg gangerti sama sekali matpelnya (kyk fisika/mtk), atau karena katanya beberapa universitas/kedinasan mempertimbangkan un (bahkan ada yg bilang dipertimbangin buat skripsi, kalo ada yg tau kebenarannya tolong konfirmasinya)
aku lebih setuju kalo un diapus aja atau gak soal un jadiin essay daripada pg jd meminimalisir kecurangan dan bisa lebih menunjukkan sejauh mana kemampuan kita dan un tetap jd pertimbangan snmptn karena kalo un gajadi pertimbangan trs apalagi yg bisa dipertimbangkan? kecurangan pada nilai rapot lebih parah dr un, kyk katrol nilai misalnya… hehe dah ah itu aja, nnti kepanjangan :v
mas glen? keren banget opininya!!! keccccceeeeee!, minta opininya juga buat KEMAJUAN SEBUAH NEGARA dong..hahaha,itu juga ga kalah penting loh,soalnya kalo cuma satu-dua anak yang kena “mental instan” kaya tadi sih,ga masalah,masih banyak yang bisa ngebenerin,nah ini kalo satu kampung?,satu kota?,satu provinsi? satu pulau?..mau dibawa kemana bangsa ini? (cielah..)
Opini yang bagus kak Glenn (y) . Btw, aku juga mau cerita tentang UN di sekolahku.
Hari pertama mapel basindo UN disini lancar .
Pas hari kedua mapel kimia , byk yang ngeluh soal susah tp kabarnya ada bbrp anak yg bilang gampang krn dpt bocoran PBT dn byk yg keluar.
Alhasil hari ketiga pas matematika skala persebaran bocoran meluas. Pagi itu aku berangkat agak gasik buat bahas” soal kyk biasa (Btw aku sesi 2) , dan pas sampe kelas ketemu temen supaya bahas soal matematika. Awalnya biasa aja smpe aku sadar kok di atas ada tulisan “Dokumen Negara Sangat Rahasia” , terus aku tanya ini soal apa, dengan gampangnya jwb “udah kerjain aja, ini soal PBT” (Di hati? Hah emang boleh kesebar nih soal PBT? belum kelar juga kan yang CBT? ) karena aku mikir paling ga keluar juga ya aku kerjain biasa kyk soal” yg lain. Pas di ruangan , aku kaget dan ga percaya kok bisa soal yang tadi ditanyain keluar semua. (Menurutku nih soal yang td aku kerjain tergolong soal” kategori sulit). Pulang-pulang masih ga percaya aja sm UN yang kayak tadi.
Pas hari ke empat puncaknya gan, mapel biologi, siapa yang mau susah” nghafalin materi yang bejibun gini, alhasil bocoran nyebar hampir ke anak” 1 angkatan. Sampe di bahas juga per kelas. Aku yang masih ga percaya brgkt kyk biasa buat bahas” soal yg jelasnya ada soal PBT juga disitu. Pas di ruang tes soal yang keluar >50% soal” yg d bahas dan notabene yang keluar itu soal sulit yang udah sempet di browsing sebelum UN. Pulangnya nyesel gan , rasanya belajar 3 tahun kok jadinya gini di akhir.
Pas nonton berita di TV ternyata kabar UN bocor dan dri situ baru sadar ternyata beneran bhkn skala nasional bocornya. Coba cek di internet juga kabarnya gtu bahkan aku sempet lihat Petisi tentang kecurangan UN . Itu udah byk yang dukung bhkn smpe ribuan, dan disitulah aku sadar. Trnyata masih byk orang – orang jujur, itu yg ngebuat aku tergerak untuk hargai usaha mereka dan pastinya usahaku selama ini. Aku putusin buat jujur dan apa adanya di 2 mapel terakhir.
Udah gitu kak ternyata kabarnya mereka dapet dari salah satu bimbel disini (G*) dan itu match sm perkataan Anies Baswedan yang bilang ada bimbel yang sengaja bocorin soal PBT ke anak CBT.
Terus juga guru disini pada dukung kita supaya nyari bocorannya, bilangnya gini ” Itu kan udh diujikan, anggap aja latihan soal” .Buset dah pikirku, latihan soal kok mirip banget sm yang keluar bahkan opsi A B C D E smpe titik koma sama semua.
Tapi dengan masih byk orang – orang jujur seperti kalian semua aku bangga dan salut. Aku kutip kata” mtiara Anies Baswedan : “Orang – orang baik tumbang bukan hanya karena banyaknya orang jahat, tetapi karena banyaknya orang – orang baik yang diam dan mendiamkan”. Contoh kecilnya seperti dalam video ini https://www.youtube.com/watch?v=H_jw1szAZzk
Jadi tetaplah pegang kejujuran, usaha kita selalu dimuliakan Tuhan tepat pada waktunya.
Salam untuk Indonesia yang lebih baik !
Opini yang bagus kak Glenn (y) . Btw, aku juga mau cerita tentang UN di sekolahku.
Hari pertama mapel basindo UN disini lancar .
Pas hari kedua mapel kimia , byk yang ngeluh soal susah tp kabarnya ada bbrp anak yg bilang gampang krn dpt bocoran PBT dn byk yg keluar.
Alhasil hari ketiga pas matematika skala persebaran bocoran meluas. Pagi itu aku berangkat agak gasik buat bahas” soal kyk biasa (Btw aku sesi 2) , dan pas sampe kelas ketemu temen supaya bahas soal matematika. Awalnya biasa aja smpe aku sadar kok di atas ada tulisan “Dokumen Negara Sangat Rahasia” , terus aku tanya ini soal apa, dengan gampangnya jwb “udah kerjain aja, ini soal PBT” (Di hati? Hah emang boleh kesebar nih soal PBT? belum kelar juga kan yang CBT? ) karena aku mikir paling ga keluar juga ya aku kerjain biasa kyk soal” yg lain. Pas di ruangan , aku kaget dan ga percaya kok bisa soal yang tadi ditanyain keluar semua. (Menurutku nih soal yang td aku kerjain tergolong soal” kategori sulit). Pulang-pulang masih ga percaya aja sm UN yang kayak tadi.
Pas hari ke empat puncaknya gan, mapel biologi, siapa yang mau susah” nghafalin materi yang bejibun gini, alhasil bocoran nyebar hampir ke anak” 1 angkatan. Sampe di bahas juga per kelas. Aku yang masih ga percaya brgkt kyk biasa buat bahas” soal yg jelasnya ada soal PBT juga disitu. Pas di ruang tes soal yang keluar >50% soal” yg d bahas dan notabene yang keluar itu soal sulit yang udah sempet di browsing sebelum UN. Pulangnya nyesel gan , rasanya belajar 3 tahun kok jadinya gini di akhir.
Pas nonton berita di TV ternyata kabar UN bocor dan dri situ baru sadar ternyata beneran bhkn skala nasional bocornya. Coba cek di internet juga kabarnya gtu bahkan aku sempet lihat Petisi tentang kecurangan UN . Itu udah byk yang dukung bhkn smpe ribuan, dan disitulah aku sadar. Trnyata masih byk orang – orang jujur, itu yg ngebuat aku tergerak untuk hargai usaha mereka dan pastinya usahaku selama ini. Aku putusin buat jujur dan apa adanya di 2 mapel terakhir.
Udah gitu kak ternyata kabarnya mereka dapet dari salah satu bimbel disini (G*) dan itu match sm perkataan Anies Baswedan yang bilang ada bimbel yang sengaja bocorin soal PBT ke anak CBT.
Terus juga guru disini pada dukung kita supaya nyari bocorannya, bilangnya gini ” Itu kan udh diujikan, anggap aja latihan soal” .Buset dah pikirku, latihan soal kok mirip banget sm yang keluar bahkan opsi A B C D E smpe titik koma sama semua.
Tapi dengan masih byk orang – orang jujur seperti kalian semua aku bangga dan salut. Aku kutip kata” mutiara Bapak Anies Baswedan : “Orang – orang baik tumbang bukan hanya karena banyaknya orang jahat, tetapi karena banyaknya orang – orang baik yang diam dan mendiamkan”. Contoh kecilnya seperti dalam video ini gan https://www.youtube.com/watch?v=H_jw1szAZzk
Jadi tetaplah pegang kejujuran, usaha kita selalu dimuliakan Tuhan tepat pada waktunya.
Salam untuk Indonesia yang lebih baik !
wah, saya juga mengalami hal yg sama ketika soal PBT kimia tersebar,
jujur sampai sekarang saya masih nyesel udh liat soal PBT, saya kira g bakal keluar, ternyata banyak banget soal serupa
gue les di bimbel G* itu tp g dapet bocoran apa”, kalo di daerah gue sih soal pbt yg kesebar itu lewat line dan entah siapa yg nyebarin.
Yap, emang paling ngeselin sih masalah ginian..
Apalagi kalau temen2 tuh nganggep nyontek itu adalah wujud solidaritas -_-
Jadi yang ga ikut nyontek dibilang sombong, egois, dimusuhin, digibahin di belakang :3
seakan – akan nyontek adalah hal yang lumrah, yg wajar aja buat dilakuin.
Ada yg bilang ini karena materi2 yg diajarin di sekolah itu bukan passion-nya, jadinya dia males belajar, & akhirnya terpaksa nyontek.
Logikanya, trus ngapain sekolah?!! -_-
Entah gimana cara buat ngubahnya, tapi emang pasti bakal ribet..
Pengalaman gua waktu un kemarin jg gak ngenakin, di kelas pengawasnya malah makan dan ngajak bercanda,bikin ketawa,siswa jg bebas ke kamar mandi,bahkan di kelas ujian gua, ada yg hp nya bunyi tapi di biarin aja.
(Temen” gua udh pada nyiapin uang buat patungan beli kj, Dan gokilnya, yg gk pake kj malah di judge)
budaya mencontek yang terjadi di indonesia memang terjadi karena stigma masyarakat yang jika ingin berhasil, nilai harus bagus.. sudah dari dulu stigma seperti itu tertanam sehingga sudah mengakar dan sangat sulit untuk dihilangkan, untuk merubah stigma seperti itu jujur, susaaahhhh banget dan harus secara perlahan.. saya setuju dengan pernyataan diatas.. dan pernyataan bahwa di indonesia prestasi > nilai juga benar adanya.. sebagai bukti mengapa orang indonesia cerdas, kreatif yang berkarya justru malah kabur ke luar negeri??.. untuk keadaan seperti ini, tidak ada yang bisa dikambinghitamkan.. semua salah dari guru, masyarakat, hingga siswa itu sendiri
Pengalaman sih,
Saya dulu ngikutin arus percontekan pas saat Saya di jenjang SD-SMP, mungkin karena gak niat untuk sekolah saat itu. Tapi Saya gak begitu menikmati bocoran itu. kecuali Matematika saat itu yang bikin Saya nggak ngerti sama sekali.
Pas SMK, dicap pinter oleh se-kelas dalam urusan praktik. Teman-teman malah minta jawaban test-block hingga ujian teori praktik ke Saya, Alasannya beragam. Antara lupa, nggak tau, males, dan punya kegiatan lain jadinya gak gitu fokus. Tapi Saya tidak terlalu mikir saat itu, jadinya bagi2 aja jawaban Saya. Malah pake kode jari tangan untuk mempresentasikan pilihan ganda.
Masih saja nggak gitu niat sekolah sampe nyontek gak cuma buat Matematika. Hingga ketika UN CBT 2015, Saya pertama kalinya untuk jujur pada pelajaran Bahasa Indonesia begitu Saya disuruh pindah bilik utk ngerjain itu soal UN. Walhasil kerjain cepet gak peduli situasi, dibilang pelit gak peduli, hingga dalam durasi 2 jam hanya 17 menit untuk nyelesaiin. tapi untuk Bahasa Inggris dan Matematika Saya berdiskusi di ruangan. padahal UN bukan untuk itu ya ahahah.
Walhasil di ijazah, Bahasa Indonesia Saya 70,40. cukup besar Saya rasa. kecuali Bahasa Inggris, Matematika, dan Teori Praktik (dimana Teori Praktiknya memakai soal yang diluar perkiraan, walhasil googling di tempat), namun keknya itu belum memuaskan Saya hingga bagi SKHU saja Saya ragu. dan tidak percaya nilai Bahasa Indonesia Saya segitu. Mungkin Saya harus berterima kasih kepada guru Bahasa Indonesia Saya di Kelas 10.
Oke kita coba tarik dulu soal UN. Pas kelas 11, Saya pernah jadi tukang kasih contekan ketika ada tugas Kewirausahaan. modal LKS. Saya yang belum ngerti bener tentang Kewirausahaan di SMK saat itu tinggal kasih aja, demi tenggang rasa dengan temen sekelas. Namun akhirnya sekelas dapat nilai jeblok semua. gara-gara Saya. ahahah.
Dibalik semua cerita lalu itu,
Saya setuju dengan pendapat agan Fio dimana mencontek itu adalah kewajaran. Namun pas Saya ngikutin Zenius dengan benar pas Oktober tahun kemaren, baru kali ini Saya merasa galau antara menyesal dengan menemukan jawaban atas niat untuk sekolah. Selaras dengan statement ‘menawarkan target yang lebih mulia dalam belajar’.
Sosial dalam kehidupan sekolah Saya tidak begitu bagus karena menjadi bahan bully orang-orang kebanyakan saat itu ketika SMP adalah masa-masa terburuk Saya saat itu. Mungkin itu jadi alasan mencontek Saya namun akhirnya jadi habit, tapi Saya masih tidak benar-benar menikmati itu. Makanya social climbing rasanya tidak begitu berlaku buat Saya. Karena sedari dini Saya seperti orang malas dan masih kayak autis (tetapi memang kenyataannya Saya penderita autisme ringan/sedang, ortu bilang Saya baru bisa bicara saat berumur 5 tahun.)
Jadi Saya merasa antara harus bersyukur dengan menyesal karena tahu hal itu di umur yang mau 20thn ntar lagi.
Mungkin opini Saya,
Anak-anak sedari dini sekolah hanya untuk memenuhi tuntutan dari ortunya hingga reputasi sosial. meskipun tidak semua. dan banyak gembel (anak miskin) yang sangat pengen sekolah meskipun umurnya seperti anak kelas 4 SD. bukan untuk dirinya sendiri. bukan menjadi nature bagi kita untuk mencari tahu tentang dunia dimana kita dilahirkan. Mungkin ini alasan yang sepele buat kebanyakan ortu tetapi mereka seperti menjauhi maksud mereka melahirkan anak yang dimana itu adalah perwujudan cinta. Keinget puisinya Khalil Gibran sih.
Saya gak terlalu ngkritisi dengan hal yang mainstream kayak “mentingin hasil daripada proses” tetapi Saya ingin mengkritisi semua siswa sekolah di Indonesia ini dengan menanyakan kembali diri mereka. “Buat apa kita sekolah?”, “Buat apa kita belajar?”, “Buat apa kita Pintar?” dsb, berkesan filsafat memang. tetapi itu kunci buat belajar seutuhnya. dan itu masih ampuh saya rasa.
Mungkin para siswa di negara kita kurang begitu menghargai dirinya karena hal-hal ini tidak dikritisi. Apakah ini bisa jadi solusi? Saya kurang tahu.
wah, beruntung banget ada orang yang sama. Saya juga penderita autis (mulai bicara sekitar 4-5 tahun), bener lo, kak, masa SMP dan SD (sebut aja X) adalah masa yang terburuk bagi saya. Waktu itu, saya juga jadi bahan tertawaan, dibully, bahkan guru gue pun menghina gue, bahkan ngomongin saya autis, bayangkan, sakit hati saya pada waktu itu.
waktu SMA kelas 10 sm1 yang paling menyedihkan lagi.Padahal saya ga nyontek sama sekali, malahan teman saya mengadu sama guru saya kalo saya nyontek, padahal teman saya udah nyontek duluan. Bahkan, saya diusir dari SMA X. Saya pindah ke SMA (inisial P) pada waktu semester2 inilah saya mulai dapat teman-teman yang baik (yang tipe agak jahat juga ada, sih, tapi ga banyak).
Di sekolah gue AFAIK gak ada kecurangan UN. But gue kurang suka aja pengawasnya suka keluar ruangan gitu, peserta UN-nya kan jadi bisa nanya-nanya. Gue UN CBT.
Setujuuu banget sama Kak Glenn. Padahal UN itu kan tujuannya cuma tes evaluasi, mengevaluasi sejauh mana kita paham sama pelajaran2 pas sekolah, terus sekolah udah berusaha ngadain “pendalaman materi” buat menghadapi UN dengan mengulas materi2 UN tahun lalu, juga pemerintah ngeluarin SKL (kisi-kisi) UN yg dari tahun ke tahun sebenernya sama aja tipe2 soalnya. Jadi, buat apa nyontek, beli KJ (kunci jawaban), atau perbuatan curang lain. Intinya yaa… budaya curang dalam ujian tidak mencerminkan pendidikan karakter indonesia.
Setuju banget. Di satu sisi, tes ‘evaluasi’ memang malah menjadi ajang kecurangan daripada tes ‘seleksi’. Kenapa bs gitu? Krn hasil dari tes evaluasi itu digunakan utk menilai sekolah & para guru. Jadinya, para oknum guru malahcenderung terlibat dlm bentuk kecurangan agar image sekolah & akreditasi tetap bagus.
Nice bang glenn.
pak menteri harus baca ini :v
di sekolah gw gurunya ga menegur keras tuh. bahkan H-1 UN di grup sekolah ga ada yang posting sesuatu sampai gw posting foto pak Anies yg ada quotenya tentang kejujuran, dan ga ada yg respon tuh. gw yakin guru tahu kalo ada kecurangan, tapi pura-pura gatau. wong asisten labkom aja tau kok kalau temen-temen pada dapet soal PBT. *aku sebagai peserta CBT aja ngerasa ga fair, apalagi anak PBT* udah gitu soal-soalnya dikerjain di bimbel. sebel sih
gw rasa ini juga faktor lingkungan. berhubung gw sekolah di negeri selama 3 masa, udah biasa lliatin fenomena kaya gitu. coba kalau di SMAIT, SMAK, dan sekolah lain dgn basic keagamaan yg bagus pasti konsekuensi buat yg curang bener bener berat, atau bahkan saking religiusnya malah ga ada yg curang.
Pada akhirnya mereka yang serba instan akan ended up with no skill, dan ketika mereka dihadapkan dengan dunia kerja yaa mau kerja apa? wong ujian aja nyontek, gak punya skill apa-apa selain cari cara untuk nyontek.
Exactly. Byk banget kok temen gua yg dulu jaman sekolahnya tkg nyontek, skrg pas di dunia profesi kelabakan. Bukan dari sisi “no skill” yg paling terasa. Tapi dari mental ingin serba instan & ga mau kerja kerasnya itu.
nahh, kalau saya sih mending hiraukan aja orang2 kayak gitu. Kalo di kasih tau bilangnya sok alim lah, jadi males ngingetinnya juga. Lebih baik pikirin diri sendiri aja lah …
Kemaren skolahku trmasuk skolah yg udh make sistem CBT untk UN..banyak temen yg komentar “kaya gaberasa UN”..aku pribadi jg ngrasain hal yg sama,mulai dr ujian yg pemgawasannya longgar bgt…temen yg nyontek dengan leluasa (mereka terang”an buka hp untk nyari jawaban dan liat KJ yg udh mereka beli..
Dan ruang ujian bener” ga kondusif karna semuanya diskusi..
Aku walau gaminta jawaban..ga nyontek..ga diskusi tp ttp aja ditanyain jawaban sama temen sebelah..klo gadikasih digangguin..blm lagi layar komputer yg besar dan gaada sekat pembatas anatar murid bkin jd leluasa bgt deh nyontek…
Bahkan waktu slsai ujianpun ada yg ngasih tau jwaban trang”an d dapan pengawas…
Gaada teguran dll…
Emang heran sih…sekan budaya nyontek udh jd hal yg alami..
Aku pernah tanya sam guru BK dlu ttg topik ini..dia bilang “ada seleksi alam dimana yg benar dan yg curang akan keliatan di dunia pekerjaan nnti”
mmm.. mudah2 an bisa membantu. mungkn agak OOT. aku termasuk anak yang suka nyontek jugak. tapi untunglah dikelas 12 ini apalagi di UN, tiba2 bisa jujur, dan kalau banyak anak yang nyontek emang bener sih karna ortu dan guru nuntut nilai, tapi kalo boleh bilang guru sendiri sekarang jugak banyak ngajarnya males2 an. jujur aja disekolahku ada tuh guru masuk nerangin materinya hampir gak pernah, kebaknyakan malah tiap masuk cuman gosip in guru lain, dan banyak jugak yang kek gitu gk cuman 1 atau 2 dan ada jugak guru yang niattt banget ngajar dan junjung kejujuran tapi cara ngajarnya jugak gk enak banget. siswa dituntut buat ngapal dan tiap power point dari presentasinya harus dicatet sama siswa dan kalau ulangan emang dia selalu bilang “mending nilai kamu jelek jujur dr pada bagus nyontek” lah tep aja yg nilainya jelek nanti dimarah2 in, disindir2 -___-. jadi gimana yaa, aku sendiri jugak nyontek dulu ya karna ngerasa gk dapet materi belajar apa2. dan sempet mikir mau belajar sendiri sih, tapi susah jugak belajar dari buku. dan emang kesannya hafalan dan ngerasa mapel ny gk penting jd males belajar. dan ternyata banyak temen ku yg ngerasa kek gitu akhirnya jadi ngerasa mau gk mau harus nyontek.
tapi, ada beberapa mata pelajaran yang aku suka, jadi walau ada materi yg belum aku kuasai di mapel itu, waktu ulangan harian, mid kek, aku nggak nyontek sama sekali utk mapel itu. karna aku sendiri jugak pengen ngetes kemampuanku sama mapel itu., dan ternyata aku juga punya temen yang sering nyontek, tapi dia suka sama pelajaran tertentu dan utk pelajaran yg diminatinya itu dia sama sekali gk nyontek, tapi kalo sama pelajaran yg dibencinya kyak “mtk” dia tu udh berusaha belajar tetep aja gk bisa, karna dia pikir mtk tu kesannya cuman ngafalin rumus dan gk ada gunanya di dunia nyata. dan akhirnya dia untuk pelajaran mtk nyontek terusss…
Gua rasa selama mereka ga berpikir bahwa menyontek adalah candu yang bisa mempengaruhi masa depannya, percaya bahwa kesuksesan bisa diraih dengan instan, dan suka lari dari tanggung jawab mereka akan tetap menyontek. Ditambah kondisi yang mendukung buat menyontek (guru cuek, ujian hapalan dadakan, takut remedial). Seandainya ada suatu sistem yang bisa merubah pola pikir tersebut, lol.
Sebenarnya saya sangat prihatin, saya baru ngrasain ujian dari SD sampai SMA kecurangan benar-benar jelas mulai dari dapat bocoran, bisa googling, pengawasnya pergi, saya hanya bisa diam di meja saya. Semoga UN atau ujian apaapun pengawasnya mau disumpah.
sebetulnya yg gua heran, anak2 sekolah jaman sekarang kok bisa2nya ya buka hape pas lagi ujian. Jaman gua sekolah dulu, tiap kali ujian hape selalu harus disimpen di loker/tas, terus tas semua ditaruh di depan kelas. 😀
gue orangnya sangat menghindari namnya mencontek dan penggunaan kalkulator. kalaupun gue buntu biasanya gue nanya temen sih. hal itu gue llatih sejak kelas 1SMA dalam langkah menuju SBM yang lebih baik. Gue rasa akar permasalahan ini kan berasal dari ketidakpercayadirian siswa/i akan usahanya sendiri, padahal menerut gue guru2 di SMA gue yak, itu canggih2 bener dah, cerdas ya mungkin cara dia mengajar saja yang kurang cocok di murid. Tapi dari situ gue ambil kesimpulan, bahwa muridlah yang harus memahami gurunya, sulit bagi guru untuk memahami karakteristik murid yang emosinya labil dan jumlahnya yang banyak. Nah karna murid biasanya labil jadi suka males2an yang akhirnya buat otak dodol. Otak dodol itu sering start dari SD, yang ngebuat untuk masuk SMPN favorit daerahnya aja nyuap ampe jutaan, bahkan rela buka kelas baru gapeduli itu E, F atau G yang seharusnya SMP itu buka sampe kelas 7E, yang penting anaknya bisa masuk negeri. Kejadian ini juga melibatkan orang tua yang gengsian bro. Nah, saya jadi bingun deh. kejadian itu terus berulang sampai masuk SMA, alhasil guru di SMA kewalahan ngajarin murid otak dodol yang gatau operasi pecahan kaya Tony, bahkan suka bolos, cabut, mabuk, nge roko dipojokan, dll. Kasihanilah nasib orang seperti saya yang saat penyeleksian namanya ketimpa-timpa oleh uang dari orang otak dodol yang akhirnya gue gamasuk SMP favorit. Dan asal tau aja nih, gue bodo amat ama NIM SMA gue, soalnya gue fokus SBM, sampe guru2 SMA gue heran nilai UN gue rendah banget, padahal gue juara kelas, hehe. Yang iyanya anak2 seperti tony lah yang nilai UN nya rata dapet 85.
1) Sontek-menyontek. Karena pengawasnya cuma satu, jadi peserta yg lain dengan mudah bertanya dengan peserta lainya dan yang sangat disayangkan soalnya kebanyakan sama cuma beberapa beda dan diacak, itu masih memungkinkan untuk saling sontek-menyontek.Katanya cuma 5 paket aja gak 20 paket lagi.
2) Membawa Handphone. Sama seperti no 1 karena pengawasnya cuma 1 ditambah proktor 1 ditambah ruangan yang gede, jadi dengan HP inilah mereka bisa leluasa berkomunikasi dengan “dunia luar” membagikan soal-soalnya di chat grub kelas.
3) Setiap harinya ada saja yang membagikan soal PBT dan kuncinya yang ternyata soal PBT itulah yang kebanyakan keluar di UNBK.
Seinget gw, dulunya gw gk pernah nyontek dari TK, SD, sampai SMP, gw mulai ikut nyontek pas SMA (gk inget semester 1/2, kayaknya 2 deh), sampai kelas 12 gw mulai berubah, karena gw sadar dapet ranking bagus dengan hasil gitu gk ada kebanggaannya banget, apalagi ada seleksi masuk ptn yg bernama SBMPTN. Gw nyontek itu karena ilmu rasanya susah masuk, metode guru yg ngejelasin gk masuk” , jadi nyontek aja deh buat nutupin nilai yg jeblok itu. Ada juga kepikiran buat belajar kembali tapi bingung gimana belajarnya orang gw gk paham (kenapa gk dari dulu aja gw kenal zenius.net).
Menurut gw orang itu nyontek mungkin karena menurutnya nilai itu menentukan masa depan, gimana enggak, semuanya bergantung ama nilai, supaya gak nyusahin diri (remed) dilihat dari nilai, kenaikan kelas dilihat dari nilai, nyambung sekolah dilihat dari nilai, masuk PT ada yang dilihat dari nilai. Dari ortu juga kalau misalkan nilainya jelek semua udah gitu rankingnya x<30, pasti ortunya bilang "mau jadi apa kau nak dengan nilai begini?" Dengan begitu menanamkan mindset bahwa dengan nilai kita akan berhasil, kaya, sukses dsb
Peran dari para pendidik sangat dibutuhkan untuk mengubah itu dan menjadikan "bagaimana mengembangkan potensi serta pengalaman belajar siswa yang seru dan menyenangkan" -zenius.
1) Sontek-menyontek. Karena pengawasnya cuma satu, jadi peserta yg lain dengan mudah bertanya dengan peserta lainya dan yang sangat disayangkan soalnya kebanyakan sama cuma beberapa beda dan diacak, itu masih memungkinkan untuk saling sontek-menyontek.Katanya cuma 5 paket aja gak 20 paket lagi.
2) Membawa Handphone. Sama seperti no 1 karena pengawasnya cuma 1 ditambah proktor 1 ditambah ruangan yang gede, jadi dengan HP inilah mereka bisa leluasa berkomunikasi dengan “dunia luar” membagikan soal-soalnya di chat grub kelas.
3) Setiap harinya ada saja yang membagikan soal PBT dan kuncinya yang ternyata soal PBT itulah yang kebanyakan keluar di UNBK.
Padahalkan UN untuk mengevaluasi pendidikan disuatu daerah itu bagus atau enggak, gk dijadiin penentu kelulusan lagikan? kecuali ada sih beberapa dijadiin tes masuk PT dan beberapa dari PTN SNMPTN jadi penilaian. Jadi, pemerintah bisa mengevaluasi, kalau semua curang gimana jadinya?.
Seinget gw, dulunya gw gk pernah nyontek dari TK, SD, sampai SMP, gw mulai ikut nyontek pas SMA (gk inget semester 1/2, kayaknya 2 deh), sampai kelas 12 gw mulai berubah, karena gw sadar dapet ranking bagus dengan hasil gitu gk ada kebanggaannya banget, apalagi ada seleksi masuk ptn yg bernama SBMPTN. Gw nyontek itu karena ilmu rasanya susah masuk, metode guru yg ngejelasin gk masuk” , jadi nyontek aja deh buat nutupin nilai yg jeblok itu. Ada juga kepikiran buat belajar kembali tapi bingung gimana belajarnya orang gw gk paham (kenapa gk dari dulu aja gw kenal zenius.net).
Menurut gw orang itu nyontek mungkin karena menurutnya nilai itu menentukan masa depan, gimana enggak, semuanya bergantung ama nilai, supaya gak nyusahin diri (remed) dilihat dari nilai, kenaikan kelas dilihat dari nilai, nyambung sekolah dilihat dari nilai, masuk PT ada yang dilihat dari nilai. Dari ortu juga kalau misalkan nilainya jelek semua udah gitu rankingnya x<30, pasti ortunya bilang "mau jadi apa kau nak dengan nilai begini?" Dengan begitu menanamkan mindset bahwa dengan nilai kita akan berhasil, kaya, sukses dsb
Peran dari para pendidik sangat dibutuhkan untuk mengubah itu dan menjadikan "bagaimana mengembangkan potensi serta pengalaman belajar siswa yang seru dan menyenangkan" -zenius.
Sorry nih bang glen, gue OOT dikit. Emang bener ya kalau misalkan kita mau masuk jurusan Kedokteran, yg harus dikuatin berarti biologi sama kimia, yg berhubungan sama jurusan itu? Begitu juga dengan jurusan yang lain?
Wah pas banget nih bang.. Gue mau share pengalaman nih. Setahun yang lalu Ketika UN gue pernah di suruh guru bk untuk mata matain oknum siswa sekolah gue yang melakukan kecurangan di UN (keren kan hehehe). Jadi menurut pengmatan gue, ketika hari pertama UN kecurangannya belom seberapa, yah palingan cuman anak anak yang emang dikenal gak pernah belajar aja. Tapi ketika hari ke dua UN. Beeeh.. Hampir semua temen gue nyontek. Bahkan yang pinter pinter juga. Yang enggak nyontek cuman dikit banget. Dan setelah gue lapor guru, eh gak ada tindakan apapun.
Gue simpulkan kecurangan ini terjadi karena fear. Ketakutan akan nilai yang ancur lah, gak dapet ptn lah, nama sekolah jadi jelek lah banyak deh
Dan kesimpulan yang lain, temen temen gue yang gak nyontek emang sedikit, tapi intergeritas dan karakter mereka luar biasa. dan ahirnya ada juga yang sekarang dapat kampus keren di jepang.
Jujur itu emang kadang menyakitkan, tapi itulah yang membentuk mental kita jadi luar biasa.
wah keren banget cerita lu, Dam. Di satu sisi emang ada tekanan dari pihak luar utk berkompetisi dalam nilai, itulah yang menyebabkan anak2 yg pinter juga ikut2an curang. Padahal sih harusnya mereka jujur2 aja, toh kecil banget kemungkinan gak lulus UN. Tapi ya masalahnya kalo UN dijadikan patokan utk masuk universitas (SNMPTN) anak2 yang jujur juga jadi terpaksa ikutan curang gara2 gak mau kalah bersaing dgn anak2 yg males tapi main curang.
Menurut saya, Kak kalo judulnya aja udah “budaya curang” harus di lestarikan hehehehe… ….
Di sekolah gw banyak yg pake, bahkan temen gw yg jujur sampe nyindir ( baca : nyepet ) temen-temennya yg nyontek di TL line, instagram, and fb saking kesel nya wkwk
Saya rasa UNBK malah memaksa siswa buat nyontek. Karena tempatnya antarsiswa tidak disekat, jadi tidak ada privasi dalam menjawab soal dan kita pun mau nggak mau ngeliat jawaban teman, kan nggak mungkin juga kita dua jam mantengin monitor mulu, ini mata capek juga kali. Belum lagi ada yang jual kunci dimana yang beli itu mayoritas, belum lagi pengawas yang membiarkan mencontek, dan soalnya tuh banyak yang sama/paketnya kurang banyak. Pokoknya saya kecewa berat dengan UNBK tahun 2016 ini, setidaknya di sekolah saya seperti itu…
Lagipula kalo kita belajar gak ada ruginya tuh.. belajar itu gak harus dapet nil9ai akademis yg tinggi, yang penting ilmunya. ilmu lebih bernilai dr nilai akademis. Ya, walaupun agak nyakit ketika kita capek2 belajar buat ngerti dan berguna untuk ujian, eh temen2 sekelas pada nyontek. Tapi dampak kedepannya kan beda. Biasanya yg gak nyontek tetep lebih unggul.
Kalo gue sih setiap ujian gak mau ngeliatin temen2 gue, ntar gue kesel sendiri, dan gak fokus pula.
Padahal ujian itu simple. Kerjakan, tawakal dan lupakan.
menurut saya lingkungan sangat berpengaruh, di ruang ujian saya terdiri dari 20 org anak dr kls saya, dan 5 dari kelas lain,anak kls saya yg memang tdk membudayakan curang jadi mempengaruhi kls lain yg hendak berbuat curang, saya tau beberapa kali ada siswa yg mau mencontek tp tdk jadi karena malu dantakut sama ank kls saya yang mendominasi ruangan
sementara kenalan saya yg d ruang lain justru dihujat dan dijauhi gara” mengingatkan tmnnya yg mencontek
Menurut gua ini udah bukan masalah sistem. Setau gua sekarang nilai-nilai kayak UN udah bukan buat kelulusan lagi, itu udah diserahkan ke sekolah. Ini udah bener masalah mental. Tahun kemarin gue inget banget mereka ngomong “Masa sekolah 3 tahun hanya dinilai dengan ujian selama 4 hari.”, giliran syarat kelulusan diganti tetep aja nyontek. Masih banyak orang-orang yang bermental instan, rintangan hidup dikit kayak gini udah melakukan segala cara agar “survive”. Gua yakin banget sama kata kak Glenn, suatu saat kita bener-bener harus membuktikan kemampuan kita
sejujurnya gua juga pernah terlibat dalam kegiatan percontekan sejak kelas 2 SMA. padahal dari kecil gua ga biasa nyontek. ya ini semua karna faktor lingkungan dan kemudahan yang ada di jaman sekarang, misalnya gadget. gua yakin kebanyakan sekolah yang ada di negeri ini pasti para siswanya punya gadget dan itu bisa banget dijadiin alat nyontek pas uji blok bahkan UNAS (btw gua bukan pengguna smarthphone/gadget).
intinya kegiatan nyontek itu merajalela banget, apalagi ditambah adanya smartphone sebagai alatnya
tapi syukur sekarang gua udah tobat dan ga mau menyontek lagi
Menurut gue, yang membedakan pembelajar sejati, biasa2, dan abal2 adalah motivasinya.
1. Pembelajar sejati suka belajar krn memang belajar itu mengasyikan. Soal reward kayak nilai, piala, status sosial, dll. itu gak terlalu pengaruh. Meskipun gak dikasih reward, pembelajar akan tetap semangat belajar sepanjang hidupnya.
2. Pembelajar biasa2 belajar krn pengen reward, cthnya supaya ranking 1, dikasih hadiah sm ortu, nyenengin ortu, atau reward external lain. Pembelajar ini gak pernah nyontek, tapi kadang cara belajarnya kurang tepat. Yak, menghafal doang.
3. Pembelajar abal2 belajar karena pengen reward external atau sekedar ngikutin arus doang. Motivasinya ‘hampir’ sama kayak yg pembelajar biasa2. Bedanya yg ini menghalalkan segala cara buat dapetin rewardnya. :))
Jujur gua “manfaatin” kondisi ini juga slama sma gua karna kpepet ngejer materi UN yg emang gabakal bisa dikejer dlm beberapa bln. Kalo mnurut gua pribadi,ujian akhir emang perlu,tapi gak perlu sampe skala nasional,cukup skala daerah ato bahkan skolah itu aja yg berwewenang demi mengurangi “pemain”.
rata2 sih yg sering nyontek itu pas mapel mtk atau gak fisika, tp alhamdulillah gua murni kerjain sendiri pas UN kmrn, walaupun gua gk begitu ahli di 2 bidang itu…
klo kata gua sih, pemicu nyontek itu, lo benci sama mapel tertentu, katakanlah fisika, trs lo jg ngumpulnya sama tmn2 yg sama2 benci mapel itu jg, ya alhasil tiap ujian nyontek mulu, kerjasama nyari kj, ntah beli, ntah ada bocoran dr sklh atau kls lain, dari sananya aja udh ne-think duluan sm mapel tertentu ya gimana lo mau bljr yg bnr2, alhasil tiap aja ujian nyontek mulu, sekalipun ujiannya skala nasional jg…
intinya sih, pikir lagi klo mau nyontek, okelah lo gk suka, atau lo blm bisa nguasain mapel tertentu, tapi apa salahnya klo lo usaha sendiri, gk nyontek, emg lo mau makan uang haram pas udh kerja, karena ilmu yg lo dpt jg haram karena nyontek…
bukan dari gurunya aja sebenernya, tapi dari siswanya juga. dan itu yang gue alamin sendiri, ngeliat temen curang bukannya ditegur malah dibiarin aja karena takut dikira iri or whatever lah. parahnya lagi, bisa bisa orang itu dibully kaya yang tahun lalu ngelaporin bocoran soal sampe masuk tv itu.
gw mau share pengalaman gw waktu UNBK kemarin, mekanisme UNBK dibagi menjadi 3 sesi, dan gw dapet sesi pertama, lalu apa aja kelemahan di UNBK ini ?
walaupun tidak ada bocoran, tp kecuranganpun masih bisa dilakukan di sesi 2 dan 3 (dgn cara salah satu perserta di sesi 1 memfoto soal-soal yang udh dikerjakan, lalu foto tersebut di kirimkan untuk dikerjakan bareng-bareng (dikerjakan guru). setelah itu ? para peserta disesi 2 dan 3 nilainya pasti mantaps lah wkwk.
klo yang sistem PBT malah tambah parah lagi, gw dapet cerita dari tmn gw klo
1. dapet bocoran
2. pihak bimbel dan guru sangat merekomendasikan kecurang” yang ada
3. gatau kenapa banyak kasus kecurangan dengan cara begini : peserta UN klo yang ga dapet bocoran/bocorannya ga keluar jalan kedua yang dilakukan adalah dengan cara (foto soal -> kirim keguru/bimbel -> done)
so, gw sih tenang karena gw percaya bahwa proses itu lebih works wkwk :3
ini artikel yg aku tunggu tunggu. *numpang curhat*
UN kemarin ruangan aku cuma 11 orang dan aku satu-satunya orang yang gak megang kunci dan gak pake kunci sama sekali. pas tiap pelajaran UN udah kelar aku mah apa dicuekin abis-abisan. temenku bilang sm aku hati-hati masuk parit gak pake kunci. sebenernya sakit hati juga dikacangin satu kelas grgr cuma gak pake kunci. mereka yang pake kunci ngerasa udah hebat dan udah percaya diri kalo knc nya udah bener. guru aku pernah bilang dia kadang kalau ngawas tau ada anak yang nyontek pas ujian, tapi dibiarin aja krn gak mau cari masalah sm anak yang itu. kesal sih denger ada guru yang ky gitu, sm aja dia gak mau memperbaiki akhlak anak bangsa ini. aku sih percaya aja tiap yang dilakui dengan jujur pasti ada berkahnya sendiri.
jadi setelah gua baca diskusi di tulisan lu ini bang, emang ternyata anak-anak yang ga nyontek dan berusaha menyadarkan temannya untuk ga nyontek malah di asingkan, atau dianggap seakan-akan ga nyontek itu adalah perbuatan yang salah bang. karena nyontek ini udah jadi budaya. tahun lalu pas sebelum un gua juga ngerasain sih disaat gua coba untuk menyadarkan temen gua kalo nyontek itu salah ya malah gua yang di asingin. ya, gua si emang kenal nyontek dari SMP karena emang lingkungan ujian di SMP pun nyontek itu udah pada “pro” bang. gimana yang SMA? mungkin ada juga yang ngerasain kaya gua gini disaat temen yang kerjaannya nyontek doang dan masuk peringkat 10 besar dan kerennya lagi pas SNMPTN masuk PTN favorit. sedangkan emang yang berusaha ada temen gua malah harus ngulang ikut tes PTN di tahun selanjutnya. sakit hati bang hayati lelah *wkwkwk. dan gua tanya ke ade kelas gua yang ikut UN tahun ini pun ya emang mendewakan nyontek itu lebih keren bang, ada yang ngumpetin hp di celana dalem dsb. dan yang paling miris menurut gua sih ada deh, salah satu ade kelas gua yg un tahun ini bilang “awas aja kalo gua sampe tau ada yang ngebocorin kalo kita nyontek, gua basmi orangnya. orang kaya gitu haru dibasmi.” bayangin aja mereka ingin membasmi orang yang bertindak baik. mau jadi apa masa depan negara ini kalo orang kaya gitu udah jadi mayoritas bang. dan gua pernah denger dari guru SMP temen gua “jangan nyontek, jangan belajar untuk jadi koruptor” kalo dipikirin sejenak mungkin ga nyambung, tapi kalo diresapin sih menurut gua nyambung banget korelasi antara menyontek dan belajar buat jadi …… ya ini sekedar sharing aja bang
kadang suka kessel kalau liat tmn nyontek, tp kasian juga. :3 udah dikasih tau bla-bla-bla, tetep aja dianggep angin lalu. Parahnya lagi, yg mereka pikirin cuma gimana dapet nilai dan peringkat yg bagus paham gak paham mah urusan belakang -_-
Alhamdulillah nih kak, sekolahku baru aja dapet piagam penghargaan dari Menteri pendidikan sebagai sekolah Terjujur dalam Ujian Nasional, hehe ^^
pinter tapi ga paham disiplin ilmu yang ditekuni adalah suatu kesia-siaan yang menyedihkan. boong sih kalo bilang aku ngga pernah nyontek, tapi semenjak masuk SMA untung udah sadar duluan, sudah tobat. hehehee.
pas kuliah, ada temenku yang kaget malah pas ngeliat kami ujian tanpa nyontek, karena biasanya di tempat dia dulu pada nyontek semua kecuali dia. sekalipun pas ujian itu kami tau ada kemungkinan nilai jelek didapat karena kurangnya persiapan.
integritas dan kejujuran, kualitas diri yang butuh perjuangan buat dijaga.
nice writing, bang. 😀
masalah ini emang udah akut banget, gue jadi inget setaun yg lalu pas gue UN sempet diskusi sama temen gue, gue spontan kepikirin ‘mengahapus sistem penilaian di sekolah’ ,abis tobat waktu itu lol, asumsi gue sih sebabnya karna ‘nilai’ bukan cuma nilai yang ada di kertas, yg paling akut ialah penilain orang2 terhadap nilai di kertas itu, so menurut gue harus banget ancurin nilai yg merugikan itu…… dri #mantan tukang contek, hehehe
untungnya, salah satu siswa di kelasku ( perwakilan kelas ) gak ngedapetin “bantuan” .. so? ranking yang sesungguhnya akan terlihat .. yay ..
di sekolah gue, jangankan UN. Saat ujian blok aja bnyk yg nyebarin jawabannya via line ke temen”nya dan hasilnya nilai rapor mereka tinggi”. Awalnya gue kira guru pasti bisa bedain dong mana yg nilai sehari hari bagus, mana yg cuman bagus pas ujian blok. Eh ternyata pemikiran gue salah besar. Nilai rapor temen” gue yg nyontek itu gila tinggi” banget. Gue baru nyadar pas menjelang pendaftaran snmptn. Temen gue yg g pernh bisa apa” di mapel mtk, tau” nilai rapor nya 3.70 gara” tiap ujian blok dpt score nyaris 100 terus. Dan akhirnya gue yg selalu berusaha jujur, g masuk kuota snmptn :”) But it’s okay.
@glenn_ardi:disqusada baiknya kalo setiap latihan soal dibuat 5 soal dengan tipe yang sama tetapi terdiferensiasi…
Akhirnya tulisan “saya mengerjakan ini dengan jujur” cuma jadi pemanis LJK aja -_-
salam, hallo kak Glen, suka bgt deh dg artikel2 kakak. motivasi bgt! makasih ya kak ^^. btw aku mau cerita ni, aku tu lulusan MA yang belajarnya full agama, nah skrg aku kan ikut bimbel tapi skor to ku masih aja 500, pdhl tmn2 ku yang lain byk yang sudah melakukan mobilitas vertikal naik huhu, gmn ya kak? mhn bantu ya kak
wkowkowk. siswa menyontek mengapa? emang nilai lebih berharga dari proses? kalo ujung-ujungnya nilai lebih berharga, ya bener. kalo di tempat aku ni yaa, sering banget ngukur mana yg pinter sama yang kurang. terkadang aku di kelas liat kalo kerja kelompok yg pinter ya deket2 sama yang pinter. bahkan ada yg terang-terangan bilangnya gini “salah mereka lah ga bisa kerjain” . hmm, bayangin aja deh kalian g punya apa2 bersaing dengan yg kuat dah. masing-masing siswa punya jiwa kompetisi. yang aku tau dari sd emang nilai segalanya 😀 . aku juga yakin kok ga mungkin 1 kelas semuanya kerja sendiri, perfect banget dah kalo ada yang gitu. pasti ada saja yang nilai udah diusahain tapi masih belum menyaingi. ok lah yg udah mampu cari nilai bagus ngatain ya belajar kalo mau nilai bagus. 1 lagi nih, semua yang nyontek nga ganggu hidup aku :D. itu pendapat aku xixixi
nah dari sd nih, guru-guru sering bilang “cari nilai yang tinggi-tinggi ya…” .lah yang mereka tau un penting banget kan? menurut aku juga kelulusan hak penuh guru nya. karena emang guru lah yang tau siswa nya gimana. soalnya nilai un tuuuuu juga sering dibanding-bandingin. kenapa au bahas dari sd? karena penyakit saat SMA mungkin bibit nya dari sd.
menurut saya, saat ini orang yang curang menganggap curang itu adalah pilihan dan hak mereka. mereka curang tanpa mempedulikan orang-orang yang secara langsung ia rugikan. orang jujur berjuang sekuat mereka walau hasilnya selalu dibawah orang curang. saya sangat sedih pada UNBK kali ini. soal bocoran dimana-mana, kunci jawaban, guru yang membantu (oh mungkin sudah gak pantas disebut guru), saling membantu dll. bahkan nama guru yang seharusnya mendidik malah menjadikan siswanya curang. contohnya selain membantu UN, ada beberapa guru sekolah yang membuka les dengan harga tinggi dan menjamin nilai anak lesnya. rupanya anak les itu mendapat bocoran ulangan bahkan jawabannya. parahnya, hal itu sudah dianggap hal biasa. orang jujur malah dihina, dibilang cepu, dibilang sok suci, dibilang ikut campur hak orang lain. mereka gak mikirin dampak bagi orang jujur. mungkin nilai saya tidak terlalu tinggi, saya juga tidak pernah berada di ranking 5 keatas sekalipun, tapi saya ingin kejujuran dan mengajak teman” saya untuk jujur. namun, saya berada di kelompok minoritas di sekolah. bahkan teman” dekat saya sendiri curang, bahkan peraih ranking 1 seangkatan juga curang. saya tidak percaya siapapun saat itu. sekarang saya hanya mempercayakannya pada Allah. pasti Dia akan menyiapkan suatu balasan yang setimpal. saya juga berdoa semoga negeri ini kedepannya semakin jujur walau sangat sulit. saya harap ini bukan hanya mimpi. saya ingin kejujuran terwujud. setidaknya segala kecurangan busuk ini berkurang dan lama kelamaan habis. agar negeri ini maju. maaf ini curhatan saya selama ini. saya sangat muak saat itu. miris sekali.
how about “kuliah” , apakah sama realitanya ?
Hmmmm.. Menurut gue mereka yang curang itu gak tau arti dirinya. Kita ada kan untuk jadi berkat. Kalau kita sadar akan itu ya kita akan mengusahakan diri kita agar jadi berguna. Kita belajar dengan sukacita, disiplin sejak awal, pokoknya mengembangkan diri hingga suatu saat timbul keinginan untuk ‘nolong’ sesuatu yang ‘terjebak’, ‘memperbaiki’ sesuatu yang ‘belum efektif’ (yang kita jadikan sebagai cita2). :’)
gue mahasiswa tingkat 3 di PTS Bandung jurusan Teknik Kimia , sepanjang pengalaman gue kuliah sering bgt gue ngejumpain temen gue nyontek di UAS ya menurut gue sih dari sudut pandang lain menyontek terjadi karena memang mata kuliah susah,untuk lulus dpt C saja sudah ngos ngosan intinya sih ditekan keadaan supaya lulus dan tidak ngulang di tahun depan , bahkan ada temen gue sampai buat statement jujur di ujian itu tak ada artinya kalau tidak lulus buset sih tp emang realitanya seperti itu.jadi terkadang sistem pendidikan yang menyebabkan penyimpangan itu sih itu aja kalau opini gue mah.
“Jujur di ujian itu tidak ada artinya kalau tidak lulus.” salah besar gan. Yang bener “lulus itu tidak ada artinya kalau tidak jujur”
sorry bro tp realitanya rata2 di era sekarang memang seperti itu. idealisme tak berlaku
Menurut saya kenapa banyak yang menyontek krn kenyataanya nilai dan peringkat lebih dihargai masyarakat dari pada jujur. Sedikit nyindir buat pencontek” ngakunya anti korupsi tapi ujian nyontek baru di goda nilai saja udah menghalalkan segala cara. apalagi digoda uang rakyat pfff”
Kak gimana menurut lo tentang beberapa upaya ‘rekayasa’ nilai di rapot dgn alasan biar memudahkan lolos di snmptn. Maksudnya nilai yg ditulis itu ga sesuai sama nilai asli yg seharusnya
Tbh nyontek di sekolah gw udah jadi tradisi..bisa dibilang kalo belum dapet nilai 100 mereka belum puas..tapi mereka kerja sama pas ujian :’))))
ada pas saat aku ulhar kimia nilai paling jeblok sendiri sedangkan yang lain dapet 100 dan mereka mandang rendah banget, sumpah geraam banget ;”)
apalagi dari 10 besar di sekolah, SEMUANYA (kecuali ranking 1 sih) mencontek bahkan menganggap mencontek itu tindakan wajar (ya karna waktu itu gw bilang sama mereka gini)
aku: Gapapa toh aku ngerjain semuanya jujur..
x : Eh gapapa toh nyontek buktinya tanteku dulu juga gitu bisa sukses sekarang
sukses gundullu peang batin gw grr ;’))))))))))
Belum lagi pas ulangan geografi gw dapet pas2an dan temen gw(si pecontek handal) lewat sambil bilang
“yah cuma 95…”
..oke cuma curhat
ps: dan yang beneran pinter yang gw tau itu yang jujur pun malah jarang dapet 100 tapi sebelum masuk sma dia terkenal pinter banget dan malah tenggelam sama genk siswa pecontek..miris
Kak Glenn gue punya cerita nih
Waktu itu gue dapet rangking dibawah 10 (sebelasan), trus dimarahin oleh nyokap bokap gue (waktu itu semester 1 kelas 11). Gue juga sempat putus asa kalo gue ga bakalan lulus undangan (snmptn) pada waktu itu. Nah, pas waktu semester 2 inilah gue jadi lebih sering menyontek daripada ngerjain sendiri.Setelahnya, malah rangking gue naik jadi 9. Gue heran kenapa kalo orang yang selalu nyontek selalu dapet nilai yang bagus sedangkan kalo yang nyari sendiri kadang2 dibawah oleh si tukang nyontek tadi.
Tapi, pas kelas 12, gue jadi benar2 lupa dengan ilmu2 dari sekolah tadi. Dari situlah gue nyesel dengan rangking gue yang 10 besar tapi hasil nyontek.
Sebenarnya rangking itu penting ga sih di sekolah ? apa cuma untuk mempertahankan harga diri ?
Thks kak
Dari sekian tes tes yang dilakuin di sma temn seruangan gw mana ada yang ngerjain sendiri ada yang malah diskusi keras keras tengok kanan kiri Bawa contekan lah tapi gw selalu mencoba menggunakan otak keringat dan kerja keras gw sendiri alhasil pasti nilai gw selalu yang terendah. Sebenarnya tindakkan gw untuk jujur dalam ulhar itu gimana.. ?
Gue sebenarnya dari SD udah pernah melakukan hal itu. Seinget gue hal curang yang pertama kali gue lakukan itu adalah nyuruh ortu gue buatin tugas ngambar gue (ketahuan gak bisa ngegambar, wkwkwk) tapi setelah itu gue sadar itu salah dan malah sekarng gue agak rada nyesel juga sih karena kemampuan gambar gue nol besar. Abis itu gue bertekad buat gak pernah curang lagi.
Eh malah pas ujian nasional SD gue dijadiin center buat nyontek sama kepsek dan guru” gue. Lah gue sadar wktu itu gue dpet juara kelas tapi gue protes ga gitu juga lah, smpe no absen gue ditukar segala biar bisa di ruangan yg mayoritas (katanya) siswa dg kemampuan kurang. Gue ksel setengah mati, terus disuruh jangan bongkar rahasia ini walaupun nanti udah lulus SMA biar para guru yg ngebantu aman (lah apa pulak ini). Waktu itu sebagai anak kecil imut nan baik gue nurut aja. Tapi sekarang gue geli aja inget itu, heheh.
Terus pas SMP gue udah rada idealis dikit, ga bakalan nyontek tapi ada waktu titik-titik tertentu gue takut pride gue rusak karena nilai gue jelek yah gue nyontek jadinya seinget gue pelajaran IPS, jawaban yag sebenarnya salah eh dibenerin ama guru gue alhasil nilai gue gede, pas gue periksa kalo dibenerin nilai gue cuma 50 kalo gak salah tapi ditulis 80, temen” gue protes tapi gue diem aja dan marah ga jelas sma temen gue.
Dan SMA paling parah pas UN gue ga belajar sama sekali. Utk pelajaran fis, kim gue ga baca soal sama sekali. Gue cuma hitemin buletan gue dengan jawaban orang” di grup gue cari aja jawaban apa yag dijawab paling banyak. Mat, bio, dll gitu juga tapi gue bacalah soalnya. Gue malu lulus dg cara begitu. Dan gue nyesel sekarang gue ngerasa lulus dengan kemampuan yang nol. Big shame. Jangan ditiru, hasilnya nyesel.
Intinya belajar dari pengalaman gue. Nyontek = nyesel di kemudian hari. Udah gitu aja, kalo mau nyontek pikirin dulu dikit enakan enaknya sekarang atau belakangan? Inget pepatah bersakit” dahulu bersenang” kemudian. Nikmati sakitnya belajar, nikmati ilmunya kemudian. Keep learning 🙂
MAU JADI SEPERTI APA NEGARA INI KALO CURANG AJA DIJADIKAN BUDAYA??!!!
Kesadaran orangnya negeri ini tuh penting, tapi yang biasa terjadi malah dijadikan alasan, “ya biasalah semua juga pada kaya gitu.” dengan santainya orang itu bilang ‘gitu’ pengen gue hajar da. Jika kalimat intinya orang-orang percaya bahwa angka itu tolak ukur dari semuanya, kapan kamu mengetahui bahwa angka itu tuh ga penting untuk kamu yang mau sukses, dapet pekerjaan lah, dan hal yang lain yang menurut lo itu semua pake angka. Saya pernah dengar curang itu ketidakhalalan dari sebagian yang haram. Misal mereka mendapatkan sebuah pekerjaan yang nantinya mendapatkan uang, uang yang mereka terima itu hasil dari sebuah kecurangan, adakah orang yang sadar akan hal itu, uang yang mereka dapatkan itu ada nilai sejarah yang jelek pada dirinya.
Gua seneng sama diskusi ini. Walaupun telat setahun, setidaknya gua tau, masih ada orang-orang yang berusaha jujur. Jadi bakal ada yang ngingetin gua kalau mulai khilaf, “Lo ga sendiri kok, masih ada orang-orang jujur di dunia ini. Tetep jujur, jangan takut.”
Sepakat sekali dg artikel ini, terkadang disayangkan bahwa org2 yg nyontek malah dpt pekerjaan yg baik/ketrima di univ favorit…
Hal itu membuat org semakin berpikir bahwa g ada ruginya org mencontek