Sejarah perkembangan Bahasa Melayu dari 5000 SM hingga berubah menjadi Bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang dibahas tuntas pada artikel ini.
“Siji, loro, telu, papat, lima”, seorang bocah di Pulau Jawa lagi mulai belajar berhitung. Di sudut belahan dunia yang lain, tepatnya di kota Antananarivo, ibukota Madagaskar, seorang bocah lain mulai belajar berhitung: “Iray, roa, telo, efatra, dimy”. Sementara itu di Kota Manila, Filipina, seorang bocah yang mulai belajar berhitung, berkata “Isa, dalawa, tatlo, apat, lima!”. Di sudut lain dunia, di negara Pulau Paskah (Easter Island), negara Chile, seorang bocah yang juga sedang belajar berhitung berujar dengan lantang: “Tahi, rua, toru, eha, rima!”.
Wow, sekilas bocah-bocah itu seperti bicara bahasa daerah di Indonesia yeh? Kesannya agak mirip-mirip walaupun ada sedikit perbedaan. Padahal yang lo baca di atas adalah bahasa-bahasa dari berbagai penjuru dunia yang jauuuh banget jaraknya dari Indonesia. Wah, terus kok bisa sih bahasa dari berbagai belahan dunia bisa mirip-mirip begitu? Dari daratan Pulau Jawa sampai Madagaskar, Filipina, sampai Chili itu kan jauh banget!! Bisa dibilang dari ujung dunia ke ujung dunia lain, kok bisa sih?
“Emang asal bahasa itu awalnya dari mana sih? Apakah nenek moyang kita zaman dulu ngomongnya juga pake Bahasa Indonesia yang kita gunakan di zaman modern sekarang?”
Nah, artikel Zenius Blog kali ini gua akan mengupas sejarah bahasa, khususnya Bahasa Melayu sebagai rumpun utama Bahasa Indonesia yang kita gunakan sehari-hari. Bisa dibilang, artikel ini adalah lanjutan dari tulisan gue sebelumnya tentang “Siapa sih penduduk asli Indonesia?”. Tapi kali ini gua akan bahas topik tersebut dari ranah bahasa yang dipake oleh para leluhur kita yang datang dari rumpun Austronesia, dan keturunan-keturunannya hingga sekarang.
“Lho emangnya Bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang berbeda dengan dengan bahasa yang digunakan nenek moyang kita ratusan tahun yang lalu?”
Seperti halnya mahluk hidup, bahasa juga mengalami perubahan secara lambat laun dalam kurun waktu tertentu. Sebuah kelompok manusia yang tadinya berkomunikasi dalam satu bahasa, gara-gara faktor lingkungan berubah jadi perbedaan dialek, dan ujung-ujungnya jadi bahasa yang bener-bener beda. Jadi, Bahasa Indonesia yang kita pake udah jauh beda sama yang dipake sama nenek moyang kita. Pertanyaannya, seberapa beda sih Bahasa Indonesia modern dengan bahasa nenek moyang kita?
Jawabannya akan gua bahas di bawah, tapi singkatnya bahasa kita ini udah ngalamin perubahan signifikan lima kali. Apa aja sih? Yuk kita bahas satu persatu deh!
1. Bahasa Proto-Austronesia (5000 SM)
Apaan tuh Bahasa Proto-Austronesia? Sebetulnya bahasa ini cuma istilah yang dibuat oleh para ahli bahasa untuk merujuk pada bahasa yang dulu pernah dipakai oleh orang-orang Austronesia awal yang hidup sekitar 5.000 tahun yang lalu.
Lho apa hubungannya orang-orang awal Austronesia dengan Bahasa Indonesia? Sekilas gua akan ingetin lo lagi dari tulisan gue sebelumnya tentang sejarah asal-usul penduduk asli di Indonesia. Pada dasarnya, orang-orang austronesia ini adalah salah satu rumpun yang merupakan pendatang di Bumi Nusantara ini sekitar 5.000 tahun yang lalu. Rumpun Austronesia ini sangatlah besar, mencakup suku Melayu, Formosan (Taiwan), Filipina, Polynesia (Hawaii, Selandia Baru, dsb). Muka bulet, idung lebar, rambut item tebal sedikit bergelombang, dan kulit kecoklatan merupakan ciri-ciri bersama satu rumpun Austronesia ini. Jadi sederhananya, rumpun Melayu-Austronesia ini adalah salah satu leluhur dari penduduk Indonesia, yang artinya Bahasa Indonesia juga merupakan salah satu penurunan dari bahasa yang dipakai oleh orang-orang Austronesia ini.
Nah, sekarang balik ke bahasa Proto-Austronesia yang jadi bahasa leluhur kita tadi. Sebenernya, bahasa Proto-Austronesia ini adalah bahasa hasil rekonstruksi para ahli linguistik yang merupakan hasil penelusuran dan perbandingan seluruh bahasa induk tersebut. Jadi bisa dibilang tingkat akurasi pengetahuan para ahli linguistik terhadap bahasa ini memang masih sangat terbatas dibandingkan bahasa lain yang lebih modern. Maklumlah, penyebutan bahasa ini udah tuuaaa banget (5 ribu tahun coy!) jadi emang rada susah menemukan bukti-bukti otentik penggunaan bahasa ini. Walaupun begitu, para ahli linguistik merekonstruksi bahasa ini dengan sangat hati-hati berdasarkan berbagai macam perbandingan bahasa dan asumsi bahwa “Pasti ada bahasa yang sebelumnya mendahului sebuah bahasa setelahnya”. Dari situlah para ahli mencoba merekonstruksi bahasa ini. Seperti apa bahasa hasil rekonstruksi para ahli tersebut? Yuk kita simak di bawah ini!
Nah, gitu lah perkiraan para ahli bahasa tentang gimana cara leluhur kita dulu berbicara sekitar 5000 tahun yang lalu. Tapi inget yeh, bahasa ini tuh ga diomongin di daerah Nusantara sekarang, tapi di sekitar Taiwan, tempat leluhur orang Melayu berasal. Gimana tuh menurut lo? Ternyata masih ada ya beberapa kata yang lumayan mirip dengan bahasa Indonesia modern seperti “i-aku”(aku), “balay (balai)”, “danaw (danau)”, “berngi (wengi)” dan bahkan ada yang sama persis seperti kata “bulan”.
Okeh, kita lanjut ya ke bahasa berikutnya. Eng ing eeengg!
2. Bahasa Proto Malayo-Polynesian (2000 SM)
Bahasa kedua yang sekarang kita bahas adalah turunan dari Bahasa Proto-Austronesia. Bahasa yang ini kira-kira mulai muncul setelah leluhur orang Melayu mulai keluar dari Taiwan dan nyebar ke kepulauan-kepulauan di selatan Taiwan. Bahasa Proto Malayo-Polynesian ini akhirnya lambat laun kepecah jadi bahasa-bahasa Polynesia (Hawaii, Rapa Nui, Tahiti, Samoa, dan sebagainya), dan bahasa-bahasa Melayu (Melayu Riau, Jawa, Batak, Minangkabau, Dayak, Madagaskar, dan sebagainya), kira-kira dalam rentang waktu 2.500 tahun yang lalu.
Bahasa Proto Melayu yang merupakan pecahan dari Malayo-Polynesian ini kemungkinan besar diucapkan pertama kali di daerah Borneo (Kalimantan) bagian utara-tengah, sebelum akhirnya berpencar ke penjuru Nusantara bagian barat dan tengah dan lambat laun mengalami perubahan menjadi bahasa Dayak, Melayu Riau, Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Bali, dan sebagainya.
Sayangnya, rekonstruksi bahasa Proto-Melayu ini belom final dan masih banyak yang sama seperti hasil rekonstruksi bahasa Proto-Austronesia. Jadinya yaah, kita kali ini ga bisa bermain dengan kata-kata deh seperti pada tabel sebelumnya. Tapi tenang aja, di bahasa selanjutnya kita bisa bermain lagi. Untuk menghibur hati elo sekalian, kita bisa banding-bandingin deh bahasa kita sama bahasa Tagalog, bahasa Madagaskar (Malagasy), bahasa Selandia Baru (Maori), dan bahasa Hawaii, yang satu rumpun sama bahasa kita.
Gimana guys? Nemu ga kesamaan-kesamaan di bahasa-bahasa tersebut? Banyaak banget kan!? Walaupun ada sedikit perbedaan-perbedaan di salah satu bahasa, tetapi sacara garis besar masih bisa kerasa kesamaannya. Nah, bahasa Proto Malayo-Polynesian ini yang akhirnya nyebar jadi bahasa-bahasa tersebut. Analoginya tuh kaya spesies hewan lah ya, dari famili pecah jadi beberapa genus dan akhirnya berbagai macam spesies. Bahasa Malayo-Polynesian itu bisa dianalogikan sebagai genus, sedangkan bahasa-bahasa yang di tabel itu bisa diibaratkan dengan spesies.
3. Bahasa Melayu Kuna (0 – 1400 M)
Sekarang, baru deh kita masuk ke cikal-bakal apa yang nantinya bakal kita sebut sebagai “Bahasa Indonesia”, yaitu bahasa Melayu. Berdasakan tarikhnya, Bahasa Melayu itu dibagi menjadi tiga periode besar yaitu: Bahasa Melayu Kuna, Bahasa Melayu Klasik, dan Bahasa Melayu Modern. Bahasa yang mau kita bahas ini, Bahasa Melayu Kuna, mengacu ke bahasa yang kira-kira diucapin sama orang-orang yang bermukim di daerah pesisir timur Sumatera, Semenanjung Malaya, dan pesisir barat Kalimantan.
Bedanya sama bahasa-bahasa yang sebelumnya kita bahas nih, mulai sejak Bahasa Melayu Kuna sampe seterusnya kita ga lagi pake bahasa rekonstruksi, tapi bahasa beneran yang digunain sama orang beneran di jaman itu. Tau dari mana? Ya tau dari bukti-bukti yang ditinggalin sama orang-orang di zaman itu. Artinya pada zaman Bahasa Melayu Kuna digunakan, masyarakatnya sudah bisa menggunakan media TULISAN sebagai alat berkomunikasi, yang untungnya sebagian dari tulisan itu tetap bertahan dalam bentuk prasasti dan kitab kuno hingga bisa kita teliti di zaman modern.
Nah sekarang kita ngomongin bukti dulu deh, bukti yang paling jelas bisa kita liat di prasasti-prasasti sejak abad 7-14 M. Tapi, apa semua prasasti yang ditemuin di jaman itu semuanya pake Bahasa Melayu Kuna? Ya nggak lah. Pas jaman itu, yang lagi happening di berbagai wilayah di Nusantara tuh ya Bahasa Sansekerta. Kenapa Sansekerta? Ya karena dulu orang-orang yang bisa nulis tuh cuma orang-orang yang belajar agama Hindu dan Buddha lewat manuskrip-manuskrip berbahasa Sansekerta.Tapi, untungnya, ada sekeluarga besar (baca: dinasti) manusia yang setia banget pake Bahasa Melayu buat nulis-nulis prasasti.
Dinasti yang dimaksud adalah Dinasti Sailendra. Dinasti yang diyakini para ahli sejarah berasal dari nama seorang yang bernama Dapunta Salendra yang bermukim di Sumatera ini membawahi dua kekaisaran yang kejayaannya meliputi setengah dari wilayah Indonesia sekarang. Dinasti ini sangat berkuasa pada zamannya sampai-sampai pengaruh diplomasinya mencakup seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke negeri Tiongkok! Sayangnya, 2 kekaisaran yang menjadi turunan dari dinasti ini suka berantem, yaitu Kekaisaran Sri Wijaya dan Kerajaan Medang.
banyak yang keliru menyebut K.Medang dengan sebutan Mataram Kuno.
Okeh, balik lagi ke bukti-bukti Bahasa Melayu Kuna. Gue bakal kupas satu per satu nama prasasti sekaligus kata-kata menarik yang ada di prasasti-prasasti tersebut. Sekarang kita bakal bahas mulai dari prasasti yang pertama:
A. Prasasti Sojomerto (akhir 600 M)
Prasasti ini merupakan prasasti paling awal yang menandai dipakainya Bahasa Melayu di tulisan-tulisan di Nusantara. Sementara itu, Prasasti-prasasti Kutai dan Tarumanagara yang waktunya lebih lampau itu tidak ditulis dengan bahasa Melayu melainkan dengan bahasa Sansekerta. Ini dia kutipan isi Prasasti Sojomerto:
“…Dapunta Salendra namah Santanu namanda bapanda Bhadravati namanda ayanda Sampula namanda vininda…”
Kebayang ga kira-kira isi prasasti ini sebelom gue kasih tau artinya? Antara kebaca sama nggak yah? Hehehe.. aslinya artinya begini:
“Dapunta Salendra namanya, Santanu nama bapaknya, Bhadrawati nama ibunya, Sampula nama istrinya”.
Kebayang jelas kan sekarang? Ada yang menarik tuh satu, kata “bapak” dari jaman dulu tuh “bapa”, sedangkan “ibu” jaman dulu tuh malah “aya”. Selain itu, ada tiga kata yang masih kekal hingga sekarang yaitu: “nama”, “bapa”, dan “vini (atau bini)”. Kita juga bisa melihat bahwa akhiran –nya yang kita pake dalam bahasa modern sekarang (kemungkinan besar) adalah hasil perubahan dari akhiran –nda.
B. Prasasti Kedukan Bukit (683 M)
Prasasti paling tua dari Kekaisaran Sri Wijaya ini dibuat atas perintah langsung dari kaisar pertamanya, yaitu Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Prasasti ini bercerita tentang keberhasilan Dapunta ketika mindahin pusat kerajaan dari Muara Tamuan ke Palembang. Beberapa kutipan menarik dari prasasti ini bakal gue kemukain di bawah ini:
“…Dapunta Hyang naik di sambau mangalap siddhayarta…”
“…Dapunta Hyang marlapas dari Minanga Tamwan mamawa jang bala dua laksa dangan dua ratus tsyara di sambau dangan jalan saribu tlu ratus sapuloh dua banyaknya…”
Nah, makin lama mulai makin kebaca kan kata-kata di atas? Terjemahannya yang bener kayak gini:
“…Dapunta Hyang naik sampan mengambil untung…”
“…Dapunta Hyang berlepas (berangkat) dari Muara Tamuan, membawa bala dua laksa (20 ribu) dengan dua ratus pawang di sampan (200 nahkoda) dan seribu tiga ratus sepuluh dua (1312) tentara jalan kaki (infanteri) banyaknya…”
Nah sekarang lo udah bisa mulai kebayang yah cara ngomong orang jaman dulu itu kayak gimana? Tapi jangan lo bayangin logatnya sama kaya kita sekarang yah. Kita semua yang pada beda provinsi aja bisa berbahasa Indonesia dengan logat yang beda-beda. Apalagi orang yang hidup di Sumatera kira-kira 1.300 tahun yang lalu?
C. Kitab Hukum Tanjung Tanah (1377 M)
Kitab yang juga sering disebut sebagai “Naskah Tanjung Tanah” ini bertarikh tahun 1377 M. Kitab ini dikeluarkan oleh Kerajaan Melayu untuk masyarakat Tanjung Tanah, Kerinci, yang waktu itu sedang berada di bawah pimpinan Raja Adityawarman. Sekadar info, Kerajaan Melayu waktu itu lagi jadi kerajaan bawahannya Kekaisaran Majapahit. Nah, yang bikin naskah ini jadi unik adalah karena naskah ini merupakan naskah tertua di Nusantara yang ditulis pake medium kertas. Berikut adalah kutipannya:
“…Maling kambing, maling babi danda sapuluh mas. Maling anjing lima mas, anjing basaja, maling anjing mawu sapuluh mas, anjing dipati puan sakian.
Anjing raja satahil sapaha
Maling hayam sahaya urang, bagi esa pulang dua
Hayam benua saikur pulang tiga…”
“…Maling telur hayam, itik, perapati, ditumbuk tujuh tumbuk lima tumbuk urang manangahi, dua tumbuk tuhannya, mukanya dihusap dangan tahi hayam tida tarisi sakian tengah tiga mas dandanya”
Jadi, isi dari Naskah Tanjung Tanah ini sebenernya hukuman-hukuman buat berbagai macem maling yang ada di Tanah Kerinci di bawah pemerintahan Adityawarman. Kira-kira bisa lo tebak ga tuh isi dari tulisan di atas? Hayoo dicoba duluu…
Nah, kalo udah pada nyerah nyoba, baru deh nih gue kasih tau terjemahannya. Makin tahun ke sini makin mirip sama Bahasa Indonesia yang kita pake sekarang yeh. Berikut ini terjemahannya:
“…Maling kambing, maling babi dendanya sepuluh mas. Maling anjing lima mas, kalau anjing biasa (kampung). Kalau anjing Mawu (terlatih) sepuluh mas, anjing dipati pun sekian
Anjing raja satu seperempat tahil.
Maling ayam orang biasa, untuk satu ekor kembalikan dua
Maling ayam negeri, untuk seekor kembalikan tiga…”
“…Maling telur ayam, itik, merpati dipukul tujuh pukulan, lima pukulan oleh yang mergokin, dua pukulan dari yang punya unggas, dan mukanya diusap tai ayam abis itu. Kalau tidak dipenuhi, dendanya dua setengah mas”
Sadis yeeeeh, kebayang gak lo 700 tahun yang lalu kalo ketahuan maling ayam digebukin dulu habis itu mukanya ditemplokin kotoran ayam?? Huahaha…Okay, sekarang kita harus beralih ke bahasa yang lebih modern lagi yaitu Bahasa Melayu Klasik.
4. Bahasa Melayu Klasik (1400 – 1800 an)
Sebelum kita lanjut, ada hal penting yang harus lo ketahui supaya bisa gampang ngebedain antara Bahasa Melayu Kuna, Klasik, dan Modern. Jadi intinya, perbedaan yang paling mencolok dari ketiga bahasa ini adalah penyerapan kata-kata dari bahasa asing yang berbeda-beda dan juga aksara yang dipake pas nulis.
Pada Melayu Kuna, seperti yang udah dijelasin di atas, banyak banget serapan dari bahasa Sanskerta dan menggunakan aksara Pallawa dan Pre-Nagari. Nah, pada bahasa Melayu Klasik, seiring dengan berkembangnya agama Islam di Nusantara, kata-kata serapan yang banyak diambil juga berasal dari bahasa Arab dan aksara Arab (yang waktu itu dikenal dengan aksara “Jawi”).
Ketika nanti Nusantara mulai kedatangan orang-orang Eropa, Bahasa Melayu juga mengalami transformasi besar-besaran dalam bentuknya yang terakhir yaitu Bahasa Melayu Modern. Nah gara-gara orang Eropa itu tadi, makanya yang dominan itu jadinya banyak kata serapan dari Portugis dan Belanda.Trus udah gitu aksaranya berubah jadi aksara Latin.
Oke sekarang kita lanjut bahas Bahasa Melayu Klasik. Kaya gimana sih emangnya? Jadi gini, Bahasa Melayu Klasik itu mengacu ke bahasa yang dipake oleh para pujangga Melayu pas jaman kesultanan-kesultanan di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di mulai dari ditemukannya Prasasti Trengganu sampe ke kisah-kisah hikayat Melayu dan karya-karya pujangga macem Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar Raniry.
Pada Bahasa Melayu Klasik, banyak banget kata-kata yang mirip dengan yang kita gunakan sekarang. Hal yang unik pada bahasa ini adalah: hampir seluruh kalimat yang nongol di syair, puisi, kisah-kisah dan naskah-naskah BERUPA KALIMAT PASIF. Selain itu, pujangga-pujangga Melayu jaman klasik kayaknya kurang afdol kalo pingin ngomong sesuatu tapi gak panjang. Mereka tuh zaman dulu kalo nguomong puaanjaaang baangeet. Nih gue kasih contoh satu:
“Maka apabila dibawalah akan mereka itu ke penghadapan Tajul Muluk, demi terpandang akan anak si peladang itu, mesralah ke dalam hatinya, diberinya wang yang tiada berhisab banyaknya serta disuruh perbela akan dia baik-baik.”
Ga tau deh tuh orang biasa ngomongnya juga pada belibet kaya gitu atau cuma pujangga-pujangga doang, tapi ya memang begitulah ciri tersendiri bahasa Melayu Klasik. Satu lagi ciri unik dari Bahasa Melayu Klasik adalah penggunaan kata-kata sambung yang mungkin udah langka di jaman sekarang, macam: Syahdan, Alkisah, Hatta, Kata Sahibul Hikayat, dan sebagainya.
Nah, sekarang gue mau kasih contoh dua buah naskah Melayu Klasik yang beda jaman, sekaligus ngasih lo gambaran perubahan yang terjadi di dalam Bahasa Melayu Klasik itu sendiri. Ada dua naskah yang bakal kita bahas yaitu Prasasti Terengganu (1300 an) dan Kitab Bustan As Salatin (Bustanus Salatin) karya Nuruddin Ar Raniry (1636 M).
A. Prasasti Terengganu (±1300 M)
Ditemukan di daerah Terengganu, Malaysia. Prasasti Terengganu ini adalah prasasti yang pertama menggunakan aksara Jawi, dan juga prasasti pertama yang nyeritain bagaimana Islam diajarkan di Nusantara (dalam hal ini Semenanjung Malaya). Karena ditulis pas abad 14M, jangan kaget kalo bahasanya masih banyak pake kata-kata serapan dari Sanskerta. Uniknya lagi, masyarakat Melayu waktu itu menggunakan frase “Dewata Mulia Raya” sebagai frase pengganti “Allah SWT”, tetapi tetap make kata “Rasul Allah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallama” sebagai sebutan Muhammad SAW. Jadi gini nih kira-kira petikan isinya:
“…Beri hamba Dewata Mulia Raya di benuaku ini penentu agama Rasul Allah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallama Raja mandalika yang benar bicara Dewata Mulia Raya di dalam Bhumi.”
“…Keenam darma, barang orang berbuat balacara laki-laki perempuan setitah Dewata Mulia Raya jika merdeka bujang palu seratus rautan. Jika merdeka beristeri atawa perempuan bersuami ditanam hinggan pinggang dihembalang dengan batu, matikan.”
Gimana kira-kira? Jelas banget yeh kalo ini makin mirip sama bahasa kita sekarang. Yah, paling ada satu dua kata yang udah ga kepake lagi macam mandalika (gubernur), Dewata Mulia Raya (Allah SWT), balacara (bersenonoh), palu (pukul), rautan (rotan), dihembalang (disakiti). Sisanya pasti lo udah ngerti lah ya. 🙂
B. Kitab Bustan As Salatin (1636 M)
Kitab yang punya judul asli Bustan as Salatin fi Dhikr al Awwalin wa’l Akhirin ini adalah karya terbesar penyair sekaligus ulama Aceh kelahiran Ranir (India) yang bernama Nuruddin Ar Raniry. Karya ini sebenernya tuh merupakan permintaan dari Sultan Iskandar Al Thani, menantu dari Sultan terbesar Aceh, Sultan Iskandar Muda.
Kitab ini nyeritain tentang asal usul alam semesta hingga sejarah raja-raja Sumatera menurut kacamata Ar Raniry. Dari kitab ini, lo bakal ngeliat gimana Bahasa Melayu itu berkembang terus sampai akhirnya makin mirip sama yang kita pake sekarang. Langsung aja deh kita bahas kutipan dari kitab ini.
“Kata sahibul-hikayat: Tatkala itulah Paduka Raja bermohon kembali. Maka terlalulah banyak kurnia Paduka Seri Sultan Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah akan Raja Johor, daripada cincin intan, dan kucing intan, dan anting-anting intan, terlalu amat indah perbuatannya, dan beberapa daripada pakaian keemasan yang tuhaifah perusahannya dan beberapa ekor kuda tizi dan keledai.”
“Kata Bendahara Paduka Raja yang mengarang Sulalat al Salatin, ia mendengar daripada bapanya, ia mendengar daripada nininya, datuknya, tatkala Hijrah an-Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam seribu dua puluh esa, pada bulan Rabi’ul Awwal, pada hari Ahad, ia mengarang hikayat pada menyatakan peraturan segala raja-raja yang di kerajaan Negeri Melaka, dan Johor, dan Pahang, dan menyatukan bangsa dan silsilah mereka itu daripada Sultan Iskandar Dzulkarnain.”
Ternyata jarak 300 tahun antara Prasasti Terengganu 1300M dengan Bustan As Salatin (1636) membuat perkembangan sebuah bahasa menjadi terus berubah yah. Dari yang struktur bahasanya formal dan sederhana menjadi bersyair dan panjang-lebar. Emang sih, Kitab Bustan as Salatin ditulis pas banget masa keemasan para pujangga/filsuf/ulama Melayu Klasik. Makanya jadinya terlihat indah seperti puisi, yang menjadi ciri penting Bahasa Melayu Klasik.
Tapi, nothing lasts forever. Kejayaan aksara Jawi dan kegemaran orang Melayu untuk bersyair berpantun harus berhadapan dengan sebuah kebudayaan baru yang mengedepankan efisiensi dalam bertutur, pentingnya kejelasan informasi tanpa perlu ada embel-embel seni, serta membawa sebuah aksara baru, yaitu karakter latin. Di titik inilah kita beralih ke bahasa selanjutnya, yaitu Bahasa Melayu Modern.
5. Bahasa Melayu Modern (1800 – Sekarang)
Setelah berasyik-masyuk dengan sajak-sajak berhiaskan untaian manikam, datanglah segerombolan orang-orang bule berbahasa aneh untuk berdagang di Nusantara. Di titik ini, Bahasa Melayu udah menjadi bahasa “internasional” buat perdagangan di kawasan Nusantara. Kapur barus dari Sumatera dijual di Jawa pake Bahasa Melayu. Cengkeh dari Ambon dijual di Makassar pake Bahasa Melayu. Emas dari Jawa dijual di Lombok pake Bahasa Melayu. Intinya, dari Sabang, Pahang, Borneo, Sabah, Sulawesi, Bali, hingga Semenanjung Kepala Burung di Papua, hampir semua orang saling bicara dengan suku lain pake Bahasa Melayu.
Begitu juga dengan orang-orang bule ini, sama-sama pake Bahasa Melayu untuk bisa dapet harga termurah dari sebuah komoditi di suatu tempat di Nusantara. Sampai akhirnya, pertukaran budaya membawa pertukaran teknologi dan pastinya pertukaran bahasa pun terjadi. Banyak istilah benda-benda yang diserap sama para leluhur kita dulu dari budaya barat. Buat lo yg pingin tau apa aja sih kata-kata “asing” yang diserap sama leluhur kita dulu, bisa baca di artikel Kak Fajar sebelumnya tentang kata-kata serapan bahasa asing dalam Bahasa Indonesia.
Seperti yang gue sebutin pada bagian sebelumnya, ciri utama Bahasa Melayu Modern adalah kalimatnya yang meringkas, penggunaan kata-kata serapan dari Eropa, serta penggunaan aksara Latin. Oleh karena itu, contoh-contoh yang bakal gue ambil buat bagian ini berasal dari naskah-naskah surat kabar mulai dari abad 19 sampai naskah lainnya pada jaman pergerakan dan perjuangan. Kita mulai dari contoh pertama yang mayan tua:
Koran Slompret Melajoe (1884 M)
“Soerat Kabar dan Advertentie, Kloewar saben hari Selasa, Kemis, dan Saptoe”
“Ongkosnja Advertentie: jang masoek doewa kali, f1(satu gulden) di dalem 10 perkataan. Apabila katiga kalinja sehingga lebieh, maka sekali-sekali baijar satengah harga”
“…Orang jang matie tida sembajang sampei diboewang di kali, itoe tida ada atoeran Igama Islam begitoe, dia njata sekali pakei dia poenja olo-olo boekan pakei atoeran Igama boleh di bilang itoe anak moerid IMANPOERO…”
Gimana, pusing gak bacanya? Hehehe. Kata-kata yang gue tebelin itu adalah kata serapan dari Bahasa Belanda. Di artikel di atas lo bisa liat ihwal surat kabar tersebut terbit hari apa aja, terus ada juga tarif buat ngiklan di situ, dan satu lagi petikan artikel sebuah kejadian aktual yang baru aja kejadian pas hari itu.
Nah sekarang gimana dong sejarah bahasa dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia? Nah untuk topik yang satu itu, Kak Fajar sudah pernah bahas dengan seru proses peralihan ejaan Bahasa Indonesia dari mulai dari 1901 sampe sekarang di artikel Zenius sebelumnya. Di situ lo bisa dapet info panjang lebar dan menarik soal perkembangan Bahasa, terutama ejaan penulisan yang kejadian dari zaman Hindia Belanda sampe zaman sekarang!
****
Okay, demikianlah ulasan “singkat” dari gue tentang sejarah perkembangan Bahasa Melayu yang kini kita kenal sebagai Bahasa Indonesia. Moga-moga artikel ini bisa bermanfaat dan menambah pengetahuan lo semua, terutama bagi lo yang tertarik pada bidang sastra, linguistik, dan bahasa. Gua harap dengan artikel ini, lo juga bisa memandang ilmu bahasa sebagai sebuah topik yang menarik, gak ngebosenin, dan bisa jadi seru banget apalagi kalo kita kaitkan dengan sejarah, psikologi, sosiologi, dan antropologi. Karena biar bagaimanapun juga bahasa adalah bentuk ekspresi manusia pada zamannya yang mencerminkan bagaimana mereka berpikir, berkomunikasi, menyatakan pendapat, bertukar pikiran, mencerna ilmu pengetahuan. Sampai jumpa di artikel gue yang berikutnya yak!
Referensi:
Ar Raniry, N. Bustan As Salatin, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1992
Cœdès, G.; Damais, L.; Kulke, H.; Manguin, Y. Kedatuan Sriwijaya, EFEO – Komunitas Bambu, 2014
Cœdès, G. Asia Tenggara Masa Hindu Buddha, EFEO – KPG, 2010
Collins, J. Bahasa Melayu Bahasa Dunia, Yayasan Obor Indonesia, 2005
Diamond, J. Guns, Germs, and Steel: A Short History of Everybody for the Last 13,000 Years, Vintage, 2005
Kozok, U. Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu Yang Tertua, Yayasan Obor Indonesia, 2006
http://pacling.anu.edu.au/materials/Blust2013Austronesian.pdf
http://press.anu.edu.au/wp-content/uploads/2011/05/ch0246.pdf
http://language.psy.auckland.ac.nz/austronesian/language.php?id=280
http://language.psy.auckland.ac.nz/austronesian/language.php?id=269
https://en.wikipedia.org/wiki/Proto-Austronesian_language
http://language.psy.auckland.ac.nz/austronesian/language.php?id=269
http://assignment.oum.edu.my/uploadasg/HBML4103SMP/18764/680408055358_128442_final.pdf
—————————CATATAN EDITOR—————————
Kalo ada di antara kamu yang mau nanya atau diskusi dengan Faisal terkait perkembangan sejarah Bahasa Melayu, langsung aja tinggalin comment di bawah artikel ini ya.
wah makasih banyak kak udah menjawab pertanyaan saya yang tempo hari.
jadi bersyukur, untung jaman sekarang kita gak pake bahasa melayu kuno atau klasik. kalo pake bahasa itu mau ngobrol aja pasti ribet banget
Sama Safira.. Makasih juga udah baca
Hehehe orang Sri Wijaya klo diidupin lagi juga ribet pasti denger bahasa kita sekarang 😀
Cobain sejam ngobrol kaya gitu sama temen nongkrong, feel like anak jaman klasik-sta
Sumpah keren bgt….
Makasih Didaa
terima kasih, satu penerangan ringkas yang bagus. walaupun penerangan dalam bahasa indonesia dialek betawi (tak silap saya), tapi ia mudah difahami.
Bapak orang Semenanjung? Penulis menggunakan Bahasa Indonesia dengan dialek pergaulan Jakarta atau biasa disebut Bahasa Gaul, pak. Agak berbeda dengan dialek Betawi. Contoh: Dialek Betawi untuk kata tidak adalah “kagak” sedangkan bhasa gaul dipersingkat menjadi “gak” atau “nggak”.
Benar, saya orang semenanjung. Terima kasih atas penerangan saudara
Sama-sama, Pak.
Mohon maaf saya menggunakan Bahasa Indonesia jenis Bahasa Gaul Jakarta karena sejatinya untuk konsumsi anak-anak SMA. Mudah-mudahan tulisan ini membantu
Kitab Sulalatus Salatin gak kesebut gan? Ini padahal salah satu sastra terbaik Melayu Klasik
Cuma boleh maksimal 3800 kata broh. Hehehe lain kali yak. Makasiihh
“…Orang jang matie tida sembajang sampei diboewang di kali, itoe tida ada atoeran Igama Islam begitoe, dia njata sekali pakei dia poenja olo-olo boekan pakei atoeran Igama boleh di bilang itoe anak moerid IMANPOERO…”
Kalau benar itu adalah surat kabar maka kalimat itu harus bener2 di teliti mas… saya kaget, apakah perkembangan Islam saat itu memang mengalami hal yang sperti itu..?bahwa ada orang yang mati tidak sembahyang sampai di buang ke kali…? Dan yang membuat aturan itu di tuduhkan kepada murid Iman Poero… coba googling siapa Iman Poero, ternyata seorang Kiayi…apakah itu hanya fitnah kepada murid2 Iman Poero atau pada saat itu juga memang ada aturan2 sesat yg memerintahkan orang yang tidak sembahyang mayatnya di buang ke kali…? Wallahualam…
santai bro namanya juga surat kabar,kan esensi yang kita ambil dari surat kabar ini kan cuma perkembangan lingusitiknya aja. kalo masalah berita dari dulu yang namanya pers emang gitu adanya.. peace
Ada tambahan dari saya iaitu Batu Bersurat Terengganu atau disebut disini Prasasti Terengganu mengenai pernyataan.
“…Beri hamba Dewata Mulia Raya di benuaku ini penentu agama Rasul Allah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallama Raja mandalika yang benar bicara Dewata Mulia Raya di dalam Bhumi.”
Sebenarnya frasa “Dewata Mulia Raya” pada zaman sekarang ialah kata ganti bagi “Tuhan”. Pada masa itu frasa “Tuhan” belum wujud lagi. Disini dinyatakan bagi kata ganti “Allah S.WT” adalah kurang tepat sebab ada catatan menyebut “Allah Subhanahu Wa Ta’ala” dalam kandungan Batu Bersurat tersebut.
Terima kasih Encik Syafie, dari sumber yang saya baca, keempat sisi dari Batu Bersurat Terengganu tidak menyebut Allah Subhanahu Wa Ta’la
hmm… saya bukan mahu membantah atau menyanggah kenyataan saudara Faisal. Cubalah saudara Faisal sendiri membaca preskripsi prasasti itu sendiri secara langsung bukan melalui sumber kedua atau ketiga. Kadang2, mungkin ada keciciran maklumat dari pengarang. Saya pernah membacanya di Muzium Terengganu walaupun dgn kepayahan membacanya dalam bentuk ejaan jawi lama. nasib baiklah ada translasi dalam huruf rumi (roman). Kita sama-sama belajar mohon harap jangan sangkakan ini perdebatan
. Wallahua’lam bissawaab..
Maaf sebelumnya. kalau menurut saya kata Tuhan sebelumnya sudah wujud. bisa dilihat di bagian pembahasan Kitab Hukum Tanjung Tanah yang menyebutkan kata “Tuhan” yang artinya “pemilik”
ka faisal kalo rumpun bahasa austro-asiatik sama bahasanya orang champa sejarahnya singkatnya gimana?
Orang Champa masuk ke rumpun Austronesia, dengan kekerabatan paling dekat dengan Bahasa Aceh. Kalau rumpun Austro-Asiatik kemungkinan besar pecahan dari Sino-Tibetan dengan sedikit fitur-fitur Austronesia
“Sekiranya dikau menambah angka dua dengan angka dua lagi, maka sepatutnya jumlahnya tak akan kurang ataupun lebih dari angka empat”
Mungkin bakalan gitu ya klo gaya sastra melayu klasik masih dipakai untuk penulisan materi belajar jaman sekarang, bakal berasa kaya baca prasasti gitu hhe 🙂
Ngomongin sejarah bahasa, gak luput ngomongin kebudayaan dan sejarahnya secara total, hingga asal-usul manusianya sendiri
“adapun seberapa jauh beza laju seekor kuda ditambahkan, ditambahkan pula kekuatan kuda tersebut, adapun seberapa berat sang kuda ditentukan akan beza laju kuda tersebut”
mohon maaf kalau penggunaan Bahasa Melayu Klasiknya masih salah karena sedikit dicampur sama Bahasa Indonesia Modern hehehe
ijin copas sama di edit dikit buat tugas boleh? *puppy eyes* boleh ya?
biasakan kalo utk tugas, jangan asal kopas-edit dari artikel di internet, termasuk dari blog zenius. Kamu coba banyak baca dari berbagai sumber, lalu kamu sintesa sendiri mana yang menurut kamu masuk akal dan bisa dipercaya faktanya. Dengan begitu, sebuah ilmu dan informasi akan berkembang, bukan cuma copas dari informasi sebelumnya.
Suku aku Suku Gayo
Masih pakai Kata ‘Ama Sebagai Ayah’
Dan Ibu sebagai Ine bukan Ina Sih 😀
Thanks info nya kk
Menyambung pertanyaannya sebelumnya di artikel “nenek moyang…” adalah gue masih bingung dgn sumber bahasa yg sama kok bisa tercipta begitu banyak bahasa daerah yg berbeda2 satu sama lain. Bukan hanya bahasanya tapi juga dialek, intonasi dll. Contoh (cmiiw) : dalam bahasa jawa diucapkan dgn sangat halus “panjenengan badhe tindhak pundhi” sementara dalam bahasa banjar (saya suku banjar) diucapkan “handak kamana garang pian”…terlalu jauh bedanya tp sumbernya sama. Asli gue masih bingung bagaimana prosesnya ?
Video asal usul Melayu – https://www.youtube.com/watch?v=9GH1_h0AZD4
Artikelnya SANGAT BERGUNA untuk tambahan bahan mengajar